Post on 16-Oct-2021
cakradonyaDENTAL JOURNAL Vol.10, No.2, Agustus 2018
pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720
Diterbitkan Atas KerjasamaFakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala Dengan Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia
DENTAL JOURNAL
pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720Pelindung
Dr. drg. Cut Soraya, Sp. KGDekan Fakultas Kedokteran Gigi Unsyiah
Penanggung Jawabdrg. Sri Rezeki, Sp. PM
Wakil Dekan I Fakultas Kedokteran Gigi UnsyiahKetua Penyunting
Dr. drg. Munifah, MARS.Wakil Ketua Penyunting
drg. Rachmi Fanani Hakim, M.SiPenyunting Ahli
Prof. drg. Bambang Irawan, Ph.DProf. Dr. drg. Narlan Sumawinata, Sp. KG
Prof. Boy M. Bachtiar, Ph.DProf. Dr. drg. Eki S. Soemantri, Sp. Ortho
Dr. drg. Rasmi Rikmasri, Sp. Pros (K)Prof. Dr. Coen Pramono, Sp. BM
Prof. Dr. drg. Dewi Nurul, MS, Sp. Periodrg. Gus Permana Subita, Ph.D, Sp. PM
Prof. Dr. drg. Hanna H. B. Iskandar, Sp. RKGProf . Dr. drg. Retno Hayati, Sp. KGA
Penyunting Pelaksanadrg. Dewi Saputri, Sp. Perio
drg. Sartikadrg. Citra Feriana Putridrg. Meutia An Najmi
drg. Nurul HusnaDesain Grafis dan IT
Rizkan Harizan, ST
SEKRETARIAT REDAKSI:Cakradonya Dental JournalFakultas Kedokteran GigiUniversitas Syiah KualaDarussalam Banda Aceh
Aceh-Indonesia23211
TELEPHONE/ FAX:0651 7555183
EMAIL:cdj.fkg@unsyiah.ac.id
WEBSITE:jurnal.unsyiah.ac.id/cdj
DENTAL JOURNAL
cakradonya
cakradonya
From Editor’s Desk
Cakradonya Dental Journal (CDJ) diterbitkan oleh Fakultas Kedokteran Gigi sebagai media
komunikasi ilmiah untuk pemajuan dan perkembangan intelektualitas civitas akademika antar
perguruan tinggi, peneliti dan stakeholder yang mengetengahkan tentang kesehatan gigi dan
mulut serta keilmuan lain yang terkait. CDJ terbit dalam dua versi yaitu versi cetak dan versi
online melalui Open Journal System (OJS) Unsyiah dilengkapi dengan Digital Object Identifier
(DOI) sehingga makin menarik dan mudah diakses, menyuguhkan informasi-informasi terkini
mengenai kesehatan rongga mulut dan tubuh secara sistemik.
Naskah yang tampil dalam volume 10 no 2 ini berbentuk laporan penelitian, laporan kasus dan
tinjauan pustaka mengenai pengembangan kedokteran gigi dan korelasi ilmu kesehatan integrasi
mencakup bidang; Konservasi, Kesehatan Masyarakat, Radiologi, Penyakit Mulut, Prostodonsia,
Dental Material, dan Periodonsia. Kali ini serasa makin lengkap dengan naskah dari FK Unsyiah
bagian neurologi yang dikaitkan dengan kedokteran gigi. Semoga informasi yang CDJ
ketengahkan pada edisi ini dapat menambah hasanah pengetahuan Anda.
We hope that researchers, academicians, professionals, students, faculty, colleges and
universities will extend their ongoing support for future editions. In the spirit of
continuous improvement, any constructive input on streamlining our processes is very
welcome.
With Best Wishes and Season’s Greetings,
Dr.drg Munifah Abdat, MARS
Editor In Chief
pISSN: 2085-546X eISSN: 2622-4720
Cakradonya Dental Journal
DAFTAR ISI
Apoptosis: Mekanisme Molekuler Kematian Sel: Tinjauan Pustaka .................................... 65-70
Liza Meutia Sari Hubungan Antara Status Periodontal Dan Status Gigi Geligi Usia Dewasa
Masyarakat Kelurahan Malino Kabupaten Gowa ......................................................................... 71-77
Ayub Iemadani Anwar, Asti Puspita Adnan, Aldy Anzhari Ayub
Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Pasien Pada Unit Radiologi
Rumah Sakit Gigi Dan Mulut Unsyiah ..................................................................................... 78-85
Kemala Hayati, Rachmi Fanani Hakim, Miftahul Jannah E
Tata laksana tetanus generalisata dengan karies gigi: Laporan Kasus ......................... 86-95
Wati Safrida, Syahrul Gambaran Scanning Electron Microscope (SEM) Mikrostruktur Permukaan Resin
Komposit Nanofiler Setelah Perendaman Dalam Kopi Arabika Gayo ....................... 96-101
Viona Diansari, Iin Sundari, Noniza Deswitri
Gambaran Tingkat Kepuasan Estetik dan Fonetik Pada Pemakai
Gigi Tiruan Lengkap Di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti ............................. 102-106
Niko Falatehan, Eddy Kusumah
Gambaran pH Saliva dari Perokok Aktif dan Pasif pada Masyarakat
Kecamatan Mesjid Raya Aceh Besar ........................................................................................ 107-112
Dewi Saputri, Diana Setya Ningsih, Ridha Rosmarna Dewi
Apeksifikasi dan Intracoronal Bleaching pada Gigi Insisivus
Sentral Kanan Maksila: Laporan Kasus .................................................................................. 113-120
Reni Nofika Perbandingan Tingkat Kebocoran Mikro Antara Resin Komposit dan
Glass Ionomer Cement Sebagai Bahan Penutupan Fisura
(Evaluasi In-Vitro Setelah Satu Bulan Aplikasi) ..................................................................... 121-128 Iin Sundari, Viona Diansari, Eka Julianti
Pengaruh Teknik Pencetakan Fisiologis Terhadap Cacat Permukaan Cetakan .................. 129-133
Putri Welda Utami Ritonga, Nafsani Fauzia
Volume 10 Agustus 2018 Nomor 2
Cakradonya Dent J; 10(2): 65-70
65 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
APOPTOSIS: MEKANISME MOLEKULER KEMATIAN SEL
(Tinjauan Pustaka)
APOPTOSIS: MOLECULAR MECHANISMS OF CELLULAR DEATH
(Literature Review)
Liza Meutia Sari
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala
Correspondence email to: lizameutiasari@unsyiah.ac.id
Abstrak
Apoptosis merupakan proses aktif yang diatur dengan sangat baik yang ditandai oleh perubahan
morfologis dan biokimia. Signifikansi dalam memahami rangkaian mekanisme apoptosis ini mutlak
dibutuhkan karena apoptosis merupakan gabungan komponen baik dalam proses fisiologis maupun
patologis. Apoptosis dapat distimulasi oleh kondisi fisiologis dan patologis serta memegang peranan
penting dalam menjaga homeostasis normal dan patogenesis beberapa penyakit. Sinyal untuk
apoptosis terjadi melalui jalur caspase dependen dan independen yang diawali oleh kejadian yang
memicunya dari dalam sel atau dari luar sel melalui ikatan reseptor kematian. Tinjauan pustaka ini
bertujuan untuk menyediakan pandangan yang berkaitan dengan apoptosis, karakteristik morfologis
dan biokimia, serta mekanismenya.
Kata Kunci: Apoptosis, reseptor kematian, mitokondria, caspase
Abstract
Apoptosis is considered as a tighly regulated active process signified by specific morphological and
biochemical. The significance of understanding the apoptosis cascade mechanism is imperative as
apoptosis being component of both physiological and pathological process. Apoptosis can be
stimulated by both physiological and pathological conditions and hence play a role in maintenance of
normal homeostasis and in pathogenesis of several diseases. Signaling for apoptosis occurs via
caspase dependent and independent pathways that are initiated either from triggering events within
the cell or from outside the cell by ligation of death receptors. Present review aims to provide an
overview regarding apoptosis, its morphological and biochemical characteristics, and its mechanism.
Keyword: Apoptosis, death reseptor, mitochondria, caspase
Cakradonya Dent J; 10(2): 65-70
66 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
PENDAHULUAN
Kata apoptosis berasal dari bahasa Yunani
yang berarti gugurnya kelopak bunga atau daun
dari pohon.1 Istilah ini pertama kali dikenalkan
oleh Kerr, Wyllie, dan Currie tahun 1972 untuk
menggambarkan kematian sel yang terprogram
atau lebih dikenal dengan Programmed Cell
Death (PCD).2 Kematian sel, khususnya
apoptosis merupakan salah satu proses yang
penting karena apoptosis tidak hanya
menggambarkan patogenesis suatu penyakit,
namun juga dapat memberikan petunjuk cara
pengobatan penyakit.3 Penyebab apoptosis
terbagi atas dua, yakni penyebab fisiologis,
seperti pada perkembangan embrionik saat
pembentukan jaringan, involusi fisiologis seperti
luruhnya endometrium saat menstruasi,
kehancuran sel epitel normal yang diiringi
penggantian proliferasi sel kulit baru, involusi
kelenjar timus saat usia kanak-kanak.3,4
Penyebab patologis diantaranya obat anti
kanker, graft versus host disease, kematian sel
CD-4 dalam Acquired Immunodeficiency
Syndrome (AIDS), virus yang memicu kematian
sel seperti Hepatitis B atau C, radiasi, hipoksia,
degenerasi sel seperti Alzheimer dan Parkinson,
serta kematian sel akibat infark miokardium.3, 4
Perubahan Morfologis dan Kimia dalam
Apoptosis
Perubahan morfologis yang terjadi saat
apoptosis adalah kondensasi kromatin dan
fragmentasi nuklear di dalam inti sel diiringi
pengurangan volume sel (piknosis), dan retraksi
pseudopoda.5 Tahap awal apoptosis, kromatin
pecah, namun membran sel masih utuh
(karioheksis). Tahap akhir apoptosis, terjadi
penonjolan membran, modifikasi ultrastruktural
organel sitoplasma, dan integritas membran
hilang.5 Biasanya sel-sel fagosit seperti sel
epitel, makrofag, dan fibroblas akan memakan
sel apotosis sebelum badan apoptotik terbentuk.
Sel apoptosis yang tidak difagosit seperti dalam
proses kultur sel di laboratorium, maka akan
mengalami degradasi yang mirip nekrosis
sehingga disebut nekrosis sekunder.5
Tiga ciri utama perubahan biokimia dalam
apoptosis, yakni aktivasi caspase, pecahnya
DNA dan protein, dan perubahan pada membran
sehingga dapat dikenali oleh sel-sel fagosit.6
Tahap awal apoptosis ditandai ekspresi
Phosphatidylserine (PS) yang terlempar keluar
dari lapisan dalam ke lapisan luar membran sel.
Badan apoptotik yang terbentuk di akhir
apoptosis menyebabkan sel mati ini dapat
dikenali oleh makrofag tanpa dilepaskannya
komponen pro-inflamatori selular. Pemecahan
DNA membentuk 50 hingga 300 kilobasa
bagian.6 Tahap akhir apoptosis menimbulkan
pemecahan DNA internukleosomal menjadi
oligonukleosomal dari 80 hingga 200 pasangan
dasar oleh endonuklease.6 Gambaran khas
apoptosis lain adalah aktivasi caspase.6 Huruf
“c” atau Cys dari caspase menunjukkan protease
sistein, sedangkan “aspase” berarti bagian unik
enzim yang membelah pada terminal C pada
residu Asp.6 Aktivasi caspase menyebabkan
keluarnya protein vital selular dan memecah
perancah nuklear serta kerangka dinding sel.
Regulator apoptosis yang lain adalah anggota
famili Bcl-2.6 Saat ini ada 18 anggota famili Bcl-
2 yang telah diidentifikasi, dan dibagi ke dalam
dua grup berdasarkan strukturnya.7 Anggota
grup pertama diwakili oleh Bcl-2 dan Bcl-xL
yang berfungsi sebagai protein anti-apoptosis.7
Anggota grup kedua diwakili oleh subfamili Bax
dan Bcl-2 associated killer (Bak), serta subfamili
a novel BH3 domain-only death agonist (Bid)
dan the Bcl-2 associated death molecule (Bad),
sebagai protein pro-apoptosis.6, 7
Mekanisme apoptosis sangat kompleks
dan rumit. Secara garis besar apoptosis dibagi
menjadi empat tahap, yakni adanya sinyal
kematian (penginduksi apoptosis) yang bersifat
fisiologis (hormon dan sitokin), biologis (virus,
bakteri, parasit), kimia (obat), atau fisik (radiasi
dan toksin).8 Tahap kedua adalah tahap integrasi
atau pengaturan (transduksi signal, induksi gen
apoptosis yang berhubungan), selanjutnya
adalah tahap pelaksanaan apoptosis yakni terjadi
perubahan morfologi dan kimia (degradasi DNA,
pembongkaran sel, pembentukan badan
apoptotik).8 Tahap terakhir adalah tahap
fagositosis atau eliminasi oleh makrofag,
dendritik atau sel yang berdekatan dengan sel
apoptosis.8 Peristiwa apoptosis melibatkan
adanya pemadatan inti sel, pemadatan dan
pembagian sitoplasma ke dalam selaput ikat
badan apoptotis, dan kerusakan kromosom ke
dalam fragmen yang berisi berbagai nukleosom.
Cakradonya Dent J; 10(2): 65-70
67 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Target protein pada umumnya melibatkan
protein lain, suatu DNA endonuklease.8 Ketika
protein target pecah, DNAase bebas untuk
berpindah tempat ke inti dan mulai pelaksanaan.
Perubahan dalam apoptosis terjadi ketika
caspase-3 membelah gelsolin, yakni suatu
protein pemelihara morfologi sel. Gelsolin akan
membelah actin filamen di dalam sel. Protein
yang lain diperlukan untuk membentuk badan
apopotik adalah p21-activated kinase 2 (PAK-2).
Kinase ini diaktifkan oleh caspase-3 dengan
proteolisis terbatas. Caspase-3 juga berfungsi
untuk membelah sitokeratin terutama
cytokeratin 18 (CK18), dimana epitop baru pada
CK18 tampak dominan saat apoptosis awal.9
Jalur Caspase Dependen (Jalur Ekstrinsik
dan Intrinsik)
Apoptosis dipicu oleh berbagai jalur
sinyal dan diatur oleh ligan ekstrinsik dan
intrinsik yang kompleks.10
Terdapat dua jalur
apoptosis utama yakni melibatkan fungsi
caspase dan tanpa caspase. Mitokondria
bertindak sebagai crosstalk organelles yakni
organel yang berperan pada kedua jalur
apoptosis yang berbeda tersebut. Jalur apoptosis
terbagi dua yaitu caspase dependen dan
independen.10
Sinyal apoptosis jalur caspase
dependen bisa terjadi secara intraseluler dan
ekstraseluler.10
Jalur ekstrinsik (ekstraseluler)
diinisiasi stimulasi reseptor kematian sedangkan
jalur intrinsik diinisiasi oleh pelepasan faktor
sinyal dari mitokondria dalam sel.10
Apoptosis jalur ekstrinsik dimulai dari
adanya pelepasan molekul sinyal disebut ligan,
oleh sel lain bukan berasal dari sel yang akan
mengalami apoptosis.10
Ligan tersebut berikatan
dengan reseptor kematian yang terletak pada
transmembran sel target yang menginduksi
apoptosis.10
Reseptor kematian yang terletak di
permukaan sel adalah famili reseptor Tumor
Necrosis Factor (TNF), yang meliputi TNF-R1,
CD 95 (Fas), dan TNF-Related apoptosis
inducing ligan (TRAIL)-R1 dan R2. Ligan yang
berikatan dengan reseptor tersebut
mengakibatkan caspase inisiator 8 membentuk
trimer dengan adaptor protein FADD.
Reseptor CD 95, TRAIL-R1 dan R2 terikat
dengan FADD, sedangkan TNF-R1 terikat secara
tidak langsung dengan molekul adaptor lain,
yaitu TNF-Reseptor Associated Death Domain
(TRADD). Kompleks yang terbentuk antara
ligan-reseptor dan reseptor kematian FADD
disebut DISC.10
Kompleks ini akan menginisiasi
pro caspase-8 yang mengaktifkan caspase
eksekutor.10
Caspase-8 bekerja dengan cara memotong
anggota famili Bcl-2 yaitu Bid.11, 12
Bid yang
terpotong pada bagian ujungnya akan
menginduksi insersi Bax ke dalam membran
mitokondria dan melepaskan molekul
proapoptotik seperti sitokrom c, Samc/Diablo,
Apoptotic Inducing Factor (AIF), dan
omi/Htr2.11
Adanya dATP akan terbentuk
kompleks antara sitokrom c, Apaf-1, dan
caspase-9 yang disebut apoptosom. Caspase-9
akan mengaktifkan aliran procaspase-3.11
Protein caspase-3 yang aktif memecah berbagai
macam substrat, diantaranya enzim perbaikan
DNA seperti poly-ADP Ribose Polymerase
(PARP), dan DNA protein kinase yaitu protein
struktural seluler dan nukleus, termasuk aparatus
mitotik inti, lamina nukleus, dan aktin serta
endonuklease, seperti Inhibitor Caspase-
Activated Deoxyribonuklease (ICAD) dan
konstituen seluler lainnya.11
Caspase-3 juga mempunyai kemampuan
untuk mengaktifkan caspase lainnya, seperti pro-
caspase-6 dan 7 yang memberikan amplifikasi
terhadap kerusakan seluler.8 Adanya stres seluler
meningkatkan ekspresi dari protein p53 yang
mengakibatkan terjadinya G1 arrest atau
apoptosis.8 Anggota dari Apoptosis Stimulating
Protein p53 (ASPP) yaitu ASPP 1 dan ASPP 2
secara spesifik menstimulasi fungsi transaktivasi
p53 pada promotor gen pro-apoptotik seperti
Bax dan p53 inducible gene 3 (PIG 3), tapi tidak
pada promotor gen yang menyebabkan
hambatan siklus sel, yaitu p21 dan mdm2.8
Stres mitokondria yang menginduksi apoptosis
jalur intrinsik disebabkan oleh senyawa kimia
atau kehilangan faktor pertumbuhan, sehingga
menyebabkan gangguan pada mitokondria dan
terjadi pelepasan sitokrom c dari intermembran
mitokondria.11
Sitokrom c adalah suatu heme
protein yang bertindak sebagai suatu pembawa
elektron dalam fosforilasi oksidasi mitokondria,
pemberhenti elektron sitokrom c oksidase,
keluar intermembran dan mengikat protein
sitoplasmik yang disebut Apaf-1. Protein ini
Cakradonya Dent J; 10(2): 65-70
68 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
akan mengaktifkan inisiator caspase-9 di
sitoplasma.8 Protein ini keluar dari mitokondria
setelah terjadi perubahan potensiasi elektrokimia
di membrane yang menyebabkan terbukanya
suatu kanal yang nonspesifik dalam membran
yang permeabel, terdiri atas dua protein selaput
bagian dalam yakni Adenine Nucleotide
Translocator (ANT) dan protein bagian luar
yakni porin; Voltage Dependent Anion Channel
(VDAC). Protein ini bertindak bersama-sama,
pada sisi luar dan sisi dalam terjadi kontak.
Saluran ini dapat dilewati zat yang memiliki
bobot molekular kurang dari 1500. Perubahan
pada gradien proton menyebabkan oksidasi dan
foforilasi di mitokondria dan perubahan ion
menyebabkan pembengkakan matriks. Sisi
bagian dalam sangat kusut dan memiliki luas
permukaan jauh lebih besar dibanding selaput
yang luar, bengkak pada matriks mengarah
rusaknya sisi luar, sehingga sitokrom c dan
Apaf-1 keluar masuk sitoplasma. Jalur ini biasa
diaktifkan dalam respon stimulus letal yang lain
seperti perusakan DNA, stress oksidatif, dan
hipoksia.
Gambar 1. Jalur Caspase Dependen (Ekstrinsik dan Intrinsik). Mitokondria dan organel nukleus memegang peranan
penting dalam tipe apoptosis ini. Organel ini dpat menghubungkan sinyal yang berbeda untuk aktivase caspase
sehingga terjadi perubahan pada senyawa oksigen reaktif, sitokrom c, dan membran potensial mitokondria. Selain
jalur mitokondria, ligan eksternal juga dapat mengaktifkan ERK yang dilanjutkan dengan rangkaian aktifitas
caspase.1
Mitokondria mengandung faktor
proapoptosis seperti sitokrom c dan AIF.
Keduanya merupakan substrat yang berbahaya,
akan tetapi tersimpan aman dalam mitokondria.
Saat keduanya dilepaskan ke sitoplasma, protein
ini dapat mengaktifkan jalur aktivasi caspase.11
Pelepasan tersebut diatur oleh famili Bcl-2 yang
terikat dengan mitokondria, yaitu Bax dan Bad.
Sitokrom c berperan sebagai pembawa elektron
yang larut dalam air dalam fosforilasi oksidatif
mitokondria.11
Bila terjadi kumparan elektron
melalui sitokrom c oksidase atau kompleks IV,
adanya perubahan kekuatan ion menyebabkan
terjadinya gelombang matriks. Saat membran
dalam mitokondria memiliki permeabilitas
permukaan yang lebih luas dibanding membran
luar maka gelombang matriks menyebabkan
pori-pori permeabilitas bagian dalam membran
nonspesifik menjadi terbuka sehingga sitokrom c
keluar ke sitoplasma.110 Sitokrom c yang keluar
ke sitoplasma kemudian berikatan dengan Apaf-
1 membentuk Caspase Recruitment Domain
Cakradonya Dent J; 10(2): 65-70
69 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
(CARD). Beberapa CARD bergabung
membentuk kompleks apoptosom kemudian
mengikat pro-caspase-9 dan mengaktivasinya
menjadi caspase-9 (caspase inisiator).11
Caspase-9 ini akan mengaktivasi procaspase-3
menjadi caspase-3 yang merupakan caspase
efektor yang melaksanakan apoptosis.11
Keseimbangan kerja caspase
dipertahankan dengan adanya hambatan caspase
berasal dari famili inhibitor apoptosis (IAPs)
seperti survivin, cIAP-1, cIAP-2, ILP-2, XIAP,
livin, BIRC, dan NAIP.8 Famili IAPs dapat
menghambat caspase inisiator dan eksekutor
melalui beberapa proses yang berbeda.13
Aksi
caspase-8 diatur oleh FADD-like ICE (FLICE)-
inhibitory protein (FLIPs).13, 14
Protein ini dapat
mengikat FADD dan caspase-8 melalui interaksi
sejenis sehingga dapat menghambat caspase-8
untuk membentuk DISC.14
Mekanisme jalur
ekstrinsik dan intrinsik tampak dalam Gambar 1.
Jalur Caspase Independen
Selain jalur caspase dependen, apoptosis
juga dapat dipicu tanpa melalui aktivitas
caspase, yakni jalur caspase independen. Jalur
caspase dependen diawali dengan sejumlah ligan
akan merangsang perubahan potensial membran
mitokondria yang akan meningkatkan produksi
radikal bebas. Radikal bebas akan merangsang
pengeluaran caspase sehingga terjadi apoptosis.
Jalur caspase dependen, caspase tidak berperan
banyak, namun kerusakan mitokondria
disebabkan oleh enzim dapat menghasilkan
radikal bebas.
Gambar 2. Jalur Caspase Independen.1 Tipe apoptosis ini tidak melibatkan anggota famili caspase dan tidak dapat
dihambat oleh inhibitor caspase. Beberapa komponen sel seperti AIF, spesies oksigen reaktif, Ca2+
, ATP, modifikasi
dan misfolding protein, serta kerusakan DNA dapat memicu apoptosis caspase independen.1
Literatur menyebutkan bahwa Granzyme
A (GzmA) dapat menginduksi secara langsung
peningkatan senyawa oksigen reaktif dan
kerusakan mitokondria jalur caspase
independen.15
Target khusus GzmA adalah 270–
420 kDa endoplasmic reticulum (ER)-associated
complex yang mengandung GzmA-activated
DNase NM23-H1 atau kompleks SET. Walaupun
fungsi normal kompleks SET ini belum
diketahui dengan jelas, namun kandungan
proteinnya berhubungan dengan tumorigenesis.
Kompleks SET akan berpindah ke nukleus dan
menyebabkan kerusakan DNA.16
Faktor pro-
apoptosis yang paling penting dalam jalur ini
adalah AIF, yang dilepaskan oleh mitokondria
dan menyebabkan kerusakan DNA dalam
nukleus.16
Pelepasan AIF oleh mitokondria
dipengaruhi juga oleh aktivasi PARP-1 akibat
senyawa oksigen reaktif. Ini membuktikan
senyawa oksigen reaktif berperan pada jalur
caspase dependen dan independen.16
Selain AIF,
proses glutationilasi dan nitrosilasi menghambat
beberapa grup thiol dan mempengaruhi fungsi
protein menyebabkan apoptosis. Mekanisme
Cakradonya Dent J; 10(2): 65-70
70 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
jalur caspase independen terlihat pada Gambar
2. Hingga kini mekanisme apoptosis caspase
independen masih belum jelas diketahui.
Beberapa peneliti telah menemukan bahwa AIF;
ROS, dan ligan lainnya mampu menstimulasi
tipe kematian sel ini, jalur sinyal ini masih tahap
fenomena dan mekanisme yang lebih terperinci
masih terus diteliti. Apapun bentuk
apoptosisnya, kematian sel jenis ini memiliki
fungsi yang penting dalam pertumbuhan sel,
proliferasi, dan kematian pada beberapa spesies.
SIMPULAN
Apoptosis merupakan fenomena yang
masih terus diteliti, memegang peranan penting
dalam homeostasis organisme multiseluler serta
dapat mengatasi penyakit, namun malfungsi
proses apoptosis akan menimbulkan penyakit
seperti kanker, neurodegeneratif, dan autoimun.
Rangkaian molekuler ini melibatkan dua jalur
yakni caspase dependen (ekstrinsik dan
intrinsik) serta caspase independen.
neurodegeneratif, dan autoimun. Hingga kini
mekanisme apoptosis dan implikasinya untuk
tujuan pengobatan penyakit masih terus diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hongmei Z. Extrinsic and Intrinsic
Apoptosis Signal Pathway in Apoptosis
And Medicine. 2012; Edited Volume:3-23
2. Lawen A. Apoptosis—An Introduction.
Bio Essays. 2003;25(9):888-96
3. Mohan H. Textbook of Pathology. 5th ed.
New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers; 2010
4. Fink SL, Cookson BT. Apoptosis,
pyroptosis, and necrosis: mechanistic
description of dead and dying eukaryotic
cells. Infect Immun. 2005;73(4):1907-16
5. Kroemer G, El-Deiry WS, Golstein P,
Peter ME, Vaux D, et al. Classification of
cell death: recommendations of the
Nomenclature Committee on Cell Death.
Cell Death Differ. 2005;12:1463-67
6. O’Brien MA, Kirby R. Apoptosis: a
review of pro-apoptotic and antiapoptotic
pathways and dysregulation in disease. J
Vet Emerg Crit Care 2008;18(6):572-85
7. Cory S, Adams JM. The Bcl2 family:
regulators of the cellular life-or-death
switch. Nat Rev Cancer 2002;2:647-56
8. Rastogi RP, Richa, dan Sinha RP.
Apoptosis: Molecular mechanism and
pathogenicity. EXCLI Journal
2009;8:155-81
9. Vermes I, Haanen C, dan
Reutelingsperger. Flowcytometry of
apoptotic cell death. J Immunol Methods
2000;243:167-90
10. Kuntz S, Wenzel U, Daniel H.
Comparative analysis of the effects of
flavonoids on proliferation, cytotoxicity,
and apoptosis in human colon cancer cell
lines. Eur J Nutr 1999;38:133-42
11. Wong R. Apoptosis in cancer: From
pathogenesis to treatment. J Exp Clin
Canc Res 2011;30(87):1-14
12. Fulda S, Meyer E, Debatin KM. Inhibition
of TRAIL-induced apoptosis by Bcl-2
overexpression. Oncogen 2000; 21:2283-
94
13. Deveraux QL, Roy N, Stennicke HR, Van
Arsdale T, Zhou Q, et al. IAPs block
apoptotic events induced by caspase-8 and
cytochrome c by direct inhibition of
distinct caspases. EMBO J 1998;17:2215-
23
14. Thome M, Schneider P, Hofmann K,
Fickenscher H, Meinl E, et al. Viral
FLICE-inhibitory proteins (FLIPs)
prevent apoptosis induced by death
receptors. Nature 1997;386:517-21
15. Denis M, Zhu P dan Judy L.
GranzymeA,Induces Caspase-Independent
Mitochondrial Damage, a Required First
Step for Apoptosis Immunity
2005;22(3):355-7
16. Dencic MS, Poljarevic J, Vilimanovich U.
Cyclohexyl Analogues of
Ethylenediamine Dipropanoic Acid
Induce Caspase-Independent
Mitochondrial Apoptosis in Human
Leukemic Cells. Chem Res Toxicol
2012;25(4):931-39.
Cakradonya Dent J; 10(2): 71-77
71 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
HUBUNGAN ANTARA STATUS PERIODONTAL DAN STATUS GIGI
GELIGI USIA DEWASA MASYARAKAT KELURAHAN MALINO
KABUPATEN GOWA
RELATIONSHIP BETWEEN PERIODONTAL AND DENTAL STATUS IN
ADULT AGE COMMUNITY OF MALINO VILLAGE
REGENCY OF GOWA
Ayub Iemadani Anwar, Asti Puspita Adnan, Aldy Anzhari Ayub
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin
Correspondence email to: ayubanwar_mks@yahoo.com
Abstrak
Kesehatan gigi dan mulut bagi sebagian orang menjadi prioritas kesekian kalinya. Hal tersebut terlihat
dari data bahwa penyakit gigi dan mulut masih diderita oleh 90% masyarakat Indonesia, sehingga
perlu mendapat perhatian serius dari tenaga kesehatan. Gigi dan mulut merupakan pintu gerbang
masuknya bakteri sehingga dapat mengganggu organ tubuh lainnya. Penelitian ini menggunakan
pendekatan observasional analytic dengan desain cross-sectional study. Survei ini dilakukan di
kelurahan Malino. kecamatan Tinggimoncong, kabupaten Gowa, provinsi Sulawesi Selatan dengan
jumlah subjek sebanyak 52 orang. Survei dengan data primer ini dianalisis menggunakan Uji chi-
square. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan signifikan antara perdarahan, poket, dan
kehilangan perlekatan gigi; dengan status karies (p>0,05). Disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
yang signifikan antara status periodontal dan status karies pada masyarakat dewasa di kelurahan
Malino, kecamatan Tinggimoncong.
Kata Kunci: Status periodontal, Status gigi geligi
Abstract
Oral and dental health for some people is the umpteenth priority. This can be seen from the data that
dental and oral diseases are still suffered by 90% of Indonesian people, so it needs serious attention
from health workers. Dental and oral are the gates of the entry of bacteria so that they can interfere
with other organs. This study uses an analytic observational approach with a cross-sectional study
design. This survey was conducted in Malino village. Tinggimoncong sub-district, Gowa district,
South Sulawesi province with 52 subjects. Surveys with these primary data were analyzed using chi-
square test. The results showed no significant relationship between bleeding, pocket, and tooth
attachment loss; with caries status (p> 0.05). It was concluded that there was no significant
relationship between periodontal status and caries status in adult communities in Malino village
Tinggimoncong district.
Keywords: Periodontal status, Dental status
Cakradonya Dent J; 10(2): 71-77
72 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
PENDAHULUAN
Kesehatan gigi dan mulut merupakan
bagian integral dari kesehatan tubuh, artinya
tubuh yang sehat ditunjang oleh gigi dan mulut
yang sehat. Namun kesadaran masyarakat
Indonesia akan pentingnya memiliki kesehatan
gigi dan mulut masih rendah.1 Penyakit mulut
adalah salah satu penyakit kronis dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang penting dari
segi prevalensi karena berdampak pada individu
dan masyarakat serta biaya perawatannya.2
Karies gigi dan penyakit periodontal adalah dua
penyakit mulut yang paling umum terjadi pada
manusia. Keduanya saling terkait satu sama lain
dalam beberapa keadaan karena keduanya
berlangsung di dalam mulut, terutama di gigi
atau di jaringan sekitar gigi.3
Berdasarkan data Riskesdas 20134,
prevalensi karies di Indonesia sebesar 76,2% dan
khususnya di propinsi Sulawesi Selatan
memiliki nilai rata-rata DMF-T yang tergolong
tinggi. Nilai kebersihan gigi dan mulut penting
untuk diketahui oleh setiap individu. Hal
tersebut penting dalam upaya pencegahan
terhadap terjadinya karies dan penyakit
periodontal. Berdasarkan suatu penelitian,
dinyatakan bahwa secara global, 621 juta anak
memiliki karies gigi yang tidak dirawat pada
gigi sulung dan 2,4 miliar orang memiliki karies
gigi yang tidak dirawat pada gigi permanen.
Periodontitis yang parah juga diderita oleh 743
juta orang di seluruh dunia. Penemuan di atas
berdampak pada kualitas hidup serta beban
penyakit pada masyarakat dalam hal biaya
perawatan kesehatan serta dampak ekonomi dan
sosial yang lebih luas.5
Karies gigi merupakan penyakit
multifaktorial. Kontribusi gaya hidup, faktor
lingkungan, dan faktor keturunan, berpengaruh
besar pada perkembangan penyakit ini. Juga
termasuk kebiasaan asupan dari macam
karbohidrat yang dapat difermentasi, kebersihan
mulut yang buruk, jumlah tinggi dari
mikroorganisme kariogenik, penggunaan
fluoride yang tidak adekuat, serta adanya
gangguan fungsi saliva. Di lain pihak, penyakit
periodontal terjadi pada gangguan jaringan
pendukung di sekitar gigi, yaitu pada jaringan
periodontium. Pada prinsipnya, gangguan ini
diperkirakan berasal dari perkembangan
inflamasi, traumatik, neoplastik, genetik,
ataupun metabolik.3
Dinyatakan ada hubungan positif antara
mikrobiologis penyebab karies dan penyakit
periodontal. Namun, spesies bakteri penyebab
spesifik untuk masing-masing penyakit ini
sangat berbeda. Kedua penyakit ini mempunyai
banyak faktor latar belakang sosial dan perilaku
yang sama, berkaitan dengan penyebab masing-
masing.6
Telah ditemukan adanya hubungan negatif
dalam spektrum bakteriologis, berkaitan dengan
proses demineralisasi dalam perkembangan
karies, sebagai lawan dari proses mineralisasi
dalam pembentukan kalkulus sebagai penyebab
penyakit periodontal. Hal ini penting untuk
mengevaluasi kebutuhan perawatan gigi dalam
arti untuk perencanaan perawatan komprehensif,
serta strategi pencegahannya, untuk mengetahui
prevalensi karies gigi dan penyakit periodontal,
serta mencari faktor yang dapat menyebabkan
penyakit umum ini terakumulasi dalam jangka
panjang pada individu yang sama.6 Berdasarkan
semua penjelasan tersebut di atas, akan
dilakukan survei mengenai hubungan
periodontitis dan karies pada masyarakat di
kelurahan Malino. Survei ini bertujuan untuk
mencari hubungan status periodontal dengan
status karies pada masyarakat di kelurahan
Malino, kecamatan Tinggimoncong kabupaten
Gowa provinsi Sulawesi Selatan.
METODE Survei ini menggunakan pendekatan
observasional analitik dengan desain cross-
sectional study. Survei ini dilakukan di
kelurahan Malino, kecamatan Tinggimoncong,
kabupaten Gowa provinsi Sulawesi Selatan pada
tanggal 12-13 April 2018. Kriteria inklusi pada
survei ini adalah masyarakat yang berusia lebih
dari 18 tahun dan bersedia mengikuti seluruh
rangkaian survey. Sedangkan kriteria eksklusi
pada survei ini adalah masyarakat yang tidak
dapat melakukan pemeriksaan intra oral secara
lengkap saat survei berlangsung.
Survei ini menggunakan data primer dan
pengolahan datanya menggunakan program
SPSS versi 25.0. Untuk analisis data digunakan
uji chi-square. Kriteria penilaian status karies
adalah berdasarkan indeks DMF-T.
Cakradonya Dent J; 10(2): 71-77
73 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Untuk pemeriksaan status periodontal
digunakan sebuah alat khusus yaitu WHO
periodontal probe. Kespesifikan probe ini adalah
sebagai berikut. Pada ujung probe ada ball
berukuran 0,5mm. Di atas bagian atas ball ada
petanda band hitam dengan jarak 3,5-5,5mm
dari ball. Kemudian ada petanda ring pada jarak
8,5-11,5mm dari ujung ball.7
Gingiva semua gigi dalam diperiksa
secara teliti dengan memasukkan ujung probe
WHO ke dalam sulkus di area interdental untuk
menilai ada atau tidaknya respons perdarahan.
Kekuatan tekanan yang diberikan tidak lebih
dari 20 gram. Perabaan dengan ujung probe
mengikuti konfigurasi anatomi akar gigi. Dua
indikator status periodontal digunakan untuk
penilaian ini yaitu perdarahan gingiva dan
kedalaman poket periodontal.7
Skor Perdarahan Gingiva (bleeding on
probing/BOP) yaitu
0= keadaan gusi sehat,
1= ada perdarahan,
9= gigi ekslusi,
x= gigi tidak ada .
Sedangkan Skor Poket Periodontal
(periodontal pocket depth/PPD) yaitu
0= Tidak ada poket,
1= Poket 4-5 mm,
2= Poket 6 mm atau lebih,
9= gigi ekslusi,
x= gigi tidak ada.
Kriteria penilaian poket periodontal
adalah tidak ada dan ada poket. Pada kategori
keberadaan poket didapatkan dari adanya
kedalaman poket 4-5 mm dan poket 6 mm atau
lebih. Kehilangan perlekatan dicatat dengan
membagi keadaan rongga mulut dalam sektan
yang didefinisikan berdasarkan regio posisi
geligi 18–14, 13-23,24–28, 38–34, 33-43, dan
44–48.7
Skor Kehilangan Perlekatan (attachment
of loss/AOL) yaitu 4= 12mm ≤ CEJ, lebih dari
band ke 4,
x= sektan tidak diperiksa
0= 0-3mm (normal),
1= 4-5mm CEJ belum melewati band hitam,
3= 9-11mm CEJ antara band hitam ke 3 & ke 4,
9= gigi tidak dicatat
Pada hasil penelitian ini dilakukan
penekanan pada kriteria penilaian kehilangan
perlekatan, dengan kategori untuk kehilangan
perlekatan terbagi atas 2 yaitu tidak ada dan ada
kehilangan. Pada kategori ada kehilangan
perlekatan didapatkan dari adanya kehilangan
perlekatan 4-5mm dan 6-8mm atau lebih.
Penilaian karies pada survei ini
berdasarkan indeks DMF-T secara numerik,
indeks DMF-T menggambarkan prevalensi
karies pada setiap individu dan hasilnya
diperoleh dengan menghitung jumlah gigi yang
ada. Penilaian ini dilakukan berdasarkan kriteria
penilaian, yaitu8
Decayed (D): 1. Gigi karies 2.
Gigi karies dan adanya restorasi pada gigi yang
sama. Missing (M): 1. Gigi yang dicabut karena
karies 2. Gigi dicabut karena penyebab lain.
Filled (F):
Gigi yang telah direstorasi secara
permanen. Setelah didapatkan nilai DMF-T
kemudian dicocokkan dengan kriteria penilaian
karies yaitu sangat rendah: 0,0–1,1, rendah: 1,2–
2,6, sedang: 2,7–4,4, tinggi: 4,5–6,5, dan sangat
tinggi: >6,6.
HASIL
Survei ini melibatkan 52 masyarakat
kelurahan Malino yang berusia lebih dari 18
tahun dan mendapatkan pemeriksaan intra oral
secara lengkap.
Tabel 1 menunjukkan distribusi subjek
survei berdasarkan karakteristik demografi
dengan status karies. Berdasarkan jenis kelamin,
jumlah subjek perempuan (21 orang) lebih
banyak dibandingkan dengan subjek laki-laki (9
orang) dengan status karies yang sangat tinggi.
Berdasarkan usia, subjek dengan usia <29 tahun
paling banyak (9 orang) dibandingkan dengan
usia lainnya dengan status karies sangat tinggi.
Berdasarkan jenis pekerjaan, subjek dengan
pekerjaan tidak bekerja (9 orang) paling banyak
dibandingkan dengan jenis pekerjaan lain
dengan status karies sangat tinggi.
Cakradonya Dent J; 10(2): 71-77
74 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Tabel 1. Distribusi subjek berdasarkan karakteristik demografi dengan status karies
Karakteristik
Status karies (DMF-T)
Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Jumlah
n % n % n % n % n % n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 1 9,1 1 9,1 0 0,0 0 0,0 9 81,8 11 100
Perempuan 2 4,9 3 7,3 9 22,0 6 14,6 21 51,2 41 100
Usia
< 29 tahun 3 15,8 3 15,8 4 21,1 0 0,0 9 4 , 19 100
30-39 tahun 0 0,0 1 10,0 2 20,0 2 20,0 5 50,0 10 100
40-49 tahun 1 7,1 0 0,0 1 7,1 3 21,4 9 64,3 14 100
50-59 tahun 0 0,0 0 0,0 1 16,7 0 0,0 5 83,3 6 100
≥60 tahun 1 20,0 0 0,0 1 20,0 1 20,0 2 40,0 5 100
Pekerjaan
Buruh 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 1 100 1 100
IRT 1 3,6 3 10,7 8 28,6 3 25,0 6 50,0 12 100
Mahasiswa 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 1 100 1 100
Pegawai 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 1 100 1 100
Pelajar 1 33,3 0 0,0 0 0,0 0 0,0 2 66,7 3 100
Petani 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 2 100 2 100
Sukarelawan 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 1 100 1 100
Tidak bekerja 0 0,0 0 0,0 1 10,0 0 0,0 9 90,0 10 100
Wiraswasta 0 0,0 1 20,0 0 0,0 0 0,0 4 80,0 5 100
Sumber: Data primer,2018
Tabel 2. Distribusi subjek berdasarkan karakteristik demografi dengan status periodontal
Karakteristik
Status Periodontal (CPI)
Perdarahan Poket Kehilangan perlekatan Jumlah
Ada perdarahan Tidak ada Ada poket Tidak ada Ada Tidak ada
n % n % n % n % n % n % n %
Usia
< 29 tahun 11 57,9 8 42,1 18 94,7 1 5,3 13 68,4 6 31,6 19 100
30-39 tahun 5 50,0 5 50,0 7 70,0 3 30,0 4 40,0 6 60,0 10 100
40-49 tahun 5 38,5 8 61,5 9 69,2 4 30,8 7 53,8 6 46,2 13 100
50-59 tahun 2 33,3 4 66,7 4 66,7 2 33,3 3 50,0 3 50,0 6 100
≥60 tahun 1 25,0 3 75,0 1 25,0 3 75,0 1 25,0 3 75,0 4 100
Jenis kelamin
Laki-laki 5 45,5 6 54,5 9 81,8 2 18,2 5 45,5 6 54,5 11 100
Perempuan 19 46,3 22 53,7 30 73,2 11 26,8 23 56,1 18 43,9 41 100
Pekerjaan
Buruh 0 0,0 1 100 1 100 0 0,0 1 100 0 0,0 1 100
IRT 14 50,0 14 50,0 21 75,0 7 25,0 14 50,0 14 50,0 28 100
Mahasiswa 0 0,0 1 100 1 100 0 0,0 1 100 0 0,0 1 100
Pegawai 0 0,0 1 100 1 100 0 0,0 0 0,0 1 100 1 100
Pelajar 1 33,3 2 66,7 3 100 0 0,0 2 100 0 0,0 3 100
Petani 1 50,0 1 50,0 1 50,0 1 50,0 2 100 0 0,0 2 100
Sukarelawan 1 100 0 0,0 1 100 0 0,0 1 100 0 0,0 1 100
Tidak bekerja 3 30,0 7 70,0 6 60,0 4 40,0 4 40,0 6 60,0 10 100
Wiraswasta 4 80,0 1 20,0 4 80,0 1 20,0 3 60,0 2 40,0 5 100
Cakradonya Dent J; 10(2): 71-77
75 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Tabel 2 menunjukkan distribusi subjek
berdasarkan karakteristik demografi dengan
status periodontal. Berdasarkan karakteristik
usia, usia subjek survei dengan status
periodontal paling banyak pada usia kurang dari
29 tahun dengan kategori ada perdarahan (11
orang), ada poket (18 orang) dan ada kehilangan
perlekatan (13 orang). Berdasarkan karakteristik
jenis kelamin, jenis kelamin perempuan dengan
status periodontal lebih banyak dibandingkan
dengan laki-laki yaitu pada kategori ada
perdarahan (19 orang), ada poket (22 orang)
dan ada kehilangan perlekatan (23orang).
Berdasarkan karakteristik pekerjaan, pekerjaan
ibu rumah tangga dengan status periodontal
paling banyak dibandingkan pekerjaan lainnya
dengan kategori ada perdarahan (14 orang), ada
poket (21 orang), dan ada kehilangan perlekatan
(14 orang). Tabel 3 menunjukkan hubungan
antara status periodontal dengan karies (DMF-
T). Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara perdarahan,
poket dan kehilangan perlekatan dengan status
karies (p>0,05).
Tabel 3. Hubungan status periodontal dengan karies pada masyarakat malino tahun 2018
Karakteristik
Status Karies (DMF-T)
Jumlah
n %
Nilai P Sangat
rendah Rendah Sedang
Tinggi
Sangat
tinggi
n % n % n % N % n %
Perdarahan
0,06** Tidak ada 1 4,2 4 16,7 6 25,0 1 4,2 12 50,0 24 100
Ada 2 7,1 0 0.0 3 10,7 5 17,9 18 64,3 28 100
Poket
0,31** Tidak ada 3 7,7 4 10,3 6 15,4 3 7,7 23 59,0 39 100
Ada 0 0,0 0 0,0 3 23,1 3 23,1 7 53,8 13 100
Kehilangan
perlekatan
0,43** Tidak ada 3 10,7 3 10,7 14,3 3 10,7 15 53,6 28 100
Ada 0 0,0 1 4,2 5 20,8 3 12,5 15 62,5 24 100
* Uji chi-square (p≤0,05, significant)
PEMBAHASAN Karies gigi dan penyakit periodontal
merupakan penyakit kompleks dengan berbagai
paparan berdampak pada risiko inisiasi suatu
penyakit (faktor risiko) atau perkembangan
penyakit yang ada (faktor prognostik). Termasuk
ke dalamnya adalah paparan yang diwariskan
(misalnya varian genetik), yang diperoleh,
seperti faktor sosial, pendidikan dan ekonomi,
lingkungan lokal (misalny biofilm), penyakit
lain (misalnya diabetes yang terkontrol secara
sub-optimal) serta faktor gaya hidup (misalnya
merokok, konsumsi gula, asupan karbohidrat).
Masing-masing faktor di atas dapat timbul
dalam kombinasi yang berbeda pada tingkat
individu yang berbeda dan memberikan
pengaruh yang berbeda.9
Kedua penyakit yaitu karies dan penyakit
periodontal, jika tidak dilakukan perawatan
akan menyebabkan kehilangan gigi, edentulous,
kehilangan fungsi pengunyahan, status gizi
buruk, hilangnya rasa percaya diri, kesulitan
sosial dan menurunnya kualitas hidup. Kavitas
lesi karies, periodontitis parah dan kehilangan
gigi menjadi beban penyakit yang diperkirakan
mencapai 12.900.000 tahun hidup yang tidak
dapat disembuhkan pada tahun 2015 atau sekitar
2% dari total beban penyakit manusia.10
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
tidak ada hubungan yang signifikan antara status
periodontal dan karies pada masyarakat Malino,
kecamatan Tinggimoncong. Hal ini sejalan
dengan suatu penelitian yang dilakukan terhadap
800 pasien dengan menggunakan pemeriksaan
radiografis gigi. Tingkat resorpsi tulang diukur
untuk menilai berat penyakit periodontal.
Jumlah geligi yang mengalami karies dan geligi
dengan bahan tumpatan dicatat. Hubungan
antara karies dan penyakit periodontal dianalisis.
Kemudian data distratifikasi untuk berbagai
Cakradonya Dent J; 10(2): 71-77
76 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
kategori jenis kelamin, usia, dan jumlah gigi
yang ada. Hasilnya menunjukkan tidak ada
hubungan antara dua penyakit ini.11
Juga ada penelitian lain yang menghitung
skor rerata DMF di antara tiga kelompok yang
berbeda dari subjek tanpa gingivitis, gingivitis
moderat, hingga gingivitis berat. Penelitian
tersebut melibatkan 4.043 pria kulit putih
berusia antara 17 hingga 20 tahun dari berbagai
daerah di Amerika Serikat. Dalam penelitian
tersebut juga tidak menemukan adanya
hubungan antara karies dan gingivitis.11
Penyakit periodontal disebabkan oleh plak
bakteria sebagai biofilm yang memulai kondisi
peradangan, terutama gingivitis dan
periodontitis. Secara global ditemukan bahwa
periodontitis mengenai atau diderita oleh 45-
50% orang dewasa dalam bentuk paling ringan,
sedangkan periodontitis paling parah diderita
oleh 9-11% populasi dewasa dunia.12
Berkaitan
dengan kesehatan periodontal terdapat simbiosis
antara biofilm yang berhubungan dengan
kesehatan dan respons inflamasi imun host yang
sebanding. Periodontitis berkembang setelah
munculnya simbiosis tersebut pada individu
yang rentan terkait dengan disregulasi respons
inflamasi imun serta mengarah kepada host yang
diperantarai melalui kerusakan jaringan ikat dan
kehilangan tulang alveolar.13
Plak gigi merupakan faktor penyebab
bersama dalam perkembangan karies gigi dan
periodontitis serta dinyatakan bahwa karies dan
periodontitis adalah hal yang berbeda. Pada
kasus periodontitis agresif plak bukan sebagai
faktor penyebab utamanya. Akibatnya prevalensi
rendah lesi karies pada kasus periodontitis
agresif dapat diperbandingkan dengan pasien
periodontitis kronis. Berbagai penelitian yang
dilakukan oleh para peneliti, salah satunya oleh
Kinane dkk. (dalam Zimmerman dkk. 201513
),
juga tidak dapat menemukan hubungan antara
karies dan periodontitis.
Karies melibatkan interaksi antara struktur
gigi, biofilm yang terbentuk pada permukaan
gigi, gula dan faktor saliva, serta faktor genetik.
Karies merupakan penyakit umum yang terjadi
di semua kalangan usia. Berdasarkan suatu
penelitian ditemukan puncak kavitas karies
dentin yang tidak dirawat pada pasien berusia
6,26 dan 70 tahun.9
Penyebab bakteriologis dari kedua
penyakit di atas serta banyaknya faktor latar
belakang yang umum dapat menjelaskan temuan
ini. Kebiasaan hidup, faktor sosial dan perilaku
kesehatan gigi telah digambarkan sebagai faktor
yang memungkinkan terjadinya kedua penyakit
tersebut. Sedangkan menurut Sewon dkk. (dalam
Mattila dkk. 20106), hubungan negatif selain dari
perbedaan dalam spektrum bakteriologis, juga
berkaitan dengan proses demineralisasi yang
terlihat dalam perkembangan karies sebagai
lawan dari proses mineralisasi yang terlihat
dalam pembentukan kalkulus terkait dengan
penyebab penyakit periodontal.
SIMPULAN Hasil survei ini menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan yang signifikan antara status
periodontal dengan status karies pada
masyarakat berusia dewasa di kelurahan Malino,
kecamatan Tinggimoncong provinsi Sulawesi
Selatan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pitalu S. Analisis hubungan perilaku
pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut
terhadap status kesehatan gigi dan mulut
siswa SD dan SMP di Medan. Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan 2010; 16(4):
376-7.
2. Sanadhya S, Aapaliya P, Jain S, Sharma N,
Choudhary G, Dobaria N. Assessment and
comparison of clinical dental status and its
impact on oral health-related quality of life
among rural and urban adults of Udaipur,
India: a cross-sectional study. Journal of
Basic and Clinical Pharmacy 2015; 6(2):
50-51
3. Entezari S, Amoian B, Fereidooni M, Esmi
F, Bijani A. Correlation between caries
prevalence and chronic periodontitis.
Caspian J of Dent Res 2014;3:21-22
4. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
2013.p.110-2.
5. Jepsen S, Blanco J, Buchalla W, Carvalho
JC, Dietrich T, Dorfer C et al. Prevention
and control of dental caries and periodontal
disease at individual and population level:
Cakradonya Dent J; 10(2): 71-77
77 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
consensus report of group 3 of joint the
boundaries between caries and periodontal
disease. J Clin Periodontol 2017;87
6. Mattila PT, Niskanen MC, Veskalahti MM,
Nordblad A, Knuuttila MLE. Prevalence and
simultaneous occurance of periodontitis and
dental caries. Journal of Clinical
Periodontology 2010;37:965-7.
7. WHO. Oral health surveys basic methods.
5th Ed. 2013. p.46-47
8. Marya CM. A textbook of public health
dentistry. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publisher; 2011.p.204-3.
9. Chapple L, Bouchard P, Cagetti M, Campus
G, Carra M, Cocco F, et al. Interaction of
lifestyle, behavior or systemic disease with
dental caries and periodontal; diseases:
consensus report of group 2 of the joint
efp/orca workshop on the boundaries
between caries and periodontal diseases. J
Clin of Periodontol 2017.p.44:41
10. Tonetti MS, Bottenberg P, Conrads G,
Eickholz P, Heasman P, Huysmans M, et al.
Dental caries and periodontal disease in the
ageing population: call to protect and
enhance oral health and well-being as an
essential component of healthy ageing-
consensus report of group 4 of the joint
efp/orca workshop on the boundaries
between caries and periodontal disease.
Journal of Clinical Periodontology 2017.
p.44:136
11. Ismail A, Pitts N, Tellez M, Banerjee, A,
Deery, C, Gail D, Eggertsson H, The
international caries classification and
management system (iccms) an example of
caries management pathways. BMC Oral
Health 2015;15:159
12. Zimmerman H, Hagenfeld D, Diercke K,
El-Sayed N, Fricke J, Greiser KH, et al.
Pocket depth and bleeding on probing and
their association with dental, lifestyle,
socioeconomic and blood variables: a cross-
sectional, multicenter feasibility study of the
german national cohort. BMC Oral Health
2015;15:6
Cakradonya Dent J; 10(2): 78-85
78 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
PENGARUH KUALITAS PELAYANAN TERHADAP KEPUASAN PASIEN
PADA UNIT RADIOLOGI RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT UNSYIAH
THE INFLUENCE OF SERVICE QUALITY TOWARDS PATIENT’S
SATISFACTION AT RADIOLOGY UNIT OF RSGM UNSYIAH
Kemala Hayati, Rachmi Fanani Hakim, Miftahul Jannah E
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala
Correspondence email to: kemalahayatie@gmail.com
Abstrak
Dental radiografi merupakan bagian dari radiologi kedokteran gigi yang bertujuan untuk melihat
manifestasi oral di rongga mulut yang tidak dapat dilihat secara klinis. Unit radiologi yang melayani
dental radiografi ini merupakan salah satu unit yang terdapat di Rumah Sakit Gigi dan Mulut
(RSGM) Unsyiah. Kualitas pelayanan kesehatan terkait erat dengan kepuasan pasien baik secara
medis maupun non medis. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh kualitas pelayanan
terhadap kepuasan pasien pada unit radiologi di RSGM Unsyiah. Jenis penelitian ini adalah penelitian
analitik. Pengambilan subjek menggunakan metode purposive sampling dan sesuai dengan kriteria
inklusi. Pengumpulan data dilakukan dengan pembagian kuisioner kepada subjek penelitian yang
telah diberi informed consent. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh kualitas
pelayanan terhadap kepuasan pasien dalam bidang radiologi di RSGM Unsyiah. Subjek penelitian
sebanyak 63 orang. Kualitas pelayanan didominasi oleh kategori baik sebanyak 32 orang (50,8%), dan
kepuasan didominasi oleh kategori puas sebanyak 32 orang (50,8%). Berdasarkan hasil uji chi-square
menunjukan nilai p= 0,000 < α 0,05. Dapat disimpulkan bahwa kualitas pelayanan memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap kepuasan pasien.
Kata Kunci: Dental radiografi, kualitas pelayanan, kepuasan.
Abstract
Dental radiography is part of dental radiology which aims to see oral manifestation that cannot be
seen clinically. Radiology unit which serves dental radiography is one of the units that can be found at
RSGM Unsyiah. The quality of medical services is strongly related to patients' satisfaction both
medically and nonmedically. The purpose of study is to identify the influence of service quality
towards patient’s satisfaction at radiology unit of RSGM Unsyiah. This study is an analytical study.
The subject’s collection was using purposive sampling and according to the criteria of inclusion. The
data collection was through distribution of questionnaire to the subject whom was given informed
consent before. The result of study showed that service quality influences the patient’s satisfaction at
radiology unit of RSGM Unsyiah. There are 63 people as subject. The service quality was dominated
by good cathegory represented by 32 people (50,8%), and the satisfaction was dominated by satisfied
cathegory represented by 32 people (50,8%). According to chi-square test p=0,000 < α 0,05. The
concluded that service quality has a significant influence towards patient’s satisfaction
Keywords: Dental radiography, service quality, satisfaction
Cakradonya Dent J; 10(2): 78-85
79 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
PENDAHULUAN
Pembangunan di bidang kesehatan adalah
bagian dari pembangunan nasional untuk
mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan UUD 19451. Saat ini
kesehatan merupakan salah satu peluang bisnis
yang cukup baik, dibuktikan dengan semakin
banyak berdirinya rumah sakit atau klinik swasta
baik di daerah perkotaan maupun daerah
terpencil. Rumah sakit swasta maupun
pemerintah berusaha menjaring pasien
sebanyak-banyaknya dengan cara meningkatkan
pelayanan.2 Rumah sakit sebagai salah satu
lembaga pelayanan kesehatan diharapkan dapat
memberikan pelayanan bagi masyarakat yang
komprehensif, terpadu, merata, serta dapat
terjangkau oleh masyarakat.3 Rumah sakit juga
memiliki kegiatan untuk menyelenggarakan
upaya pelayanan kesehatan untuk memelihara
dan meningkatkan derajat kesehatan yang
optimal bagi masyarakat.4
Kualitas pelayanan kesehatan mempunyai
kaitan yang erat dengan hasil pelayanan
kesehatan, baik secara medis maupun non
medis.5 Kualitas pelayanan yang bermutu dan
efektif di suatu rumah sakit meliputi pelayanan
yang nyaman, petugas yang ramah, komunikasi
dokter dengan pasien yang baik, kualitas dan
kuantitas peralatan medis yang memadai,
kualitas lingkungan klinik yang baik dan biaya
perawatan yang terjangkau sehingga dapat
mempengaruhi kepuasan pasien. Pasien yang
merasa puas cenderung akan memberikan
referensi yang baik kepada orang lain atas suatu
kualitas pelayanan yang diterimanya.6
Kesehatan gigi dan mulut merupakan
salah satu kesehatan umum yang sangat penting
bagi setiap orang. Menurut Riset Kesehatan
Dasar (2013), menyebutkan bahwa prevalensi
masalah gigi dan mulut di Indonesia dijumpai
sebesar 25,9%. Hal ini disebabkan karena
kurangnya kesadaran masyarakat akan
pentingnya pemeliharaan kesehatan gigi dan
mulut. Salah satu upaya yang dilakukan untuk
mengurangi prevalensi nasional terkait masalah
gigi dan mulut adalah meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan gigi dan mulut pada
fasilitas kesehatan baik milik pemerintah
maupun swasta.7
RSGM Unsyiah yang berdiri sejak tahun
2013 merupakan rumah sakit pendidikan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan gigi dan
mulut dan juga digunakan sebagai sarana proses
pembelajaran, pendidikan dan penelitian bagi
profesi tenaga kesehatan kedokteran gigi dan
tenaga kesehatan lainnya. RSGM ini memiliki
salah satu fasilitas ruang radiologi yang terdapat
di dalamnya alat radiograf periapikal,
panoramik, sefalometri, dan temporal
mandibular joint (TMJ). Data-data pasien yang
diperoleh dari RSGM Unsyiah pada bulan
Januari, yaitu periapikal sebanyak 542 orang,
panoramik 242 orang, dan sefalometri 14 orang.
Selanjutnya, bulan Februari, yaitu periapikal
sebanyak 862 orang, panoramik 258 orang, dan
sefalometri 37 orang. Selanjutnya, bulan Maret,
yaitu periapikal sebanyak 736 orang, panoramik
210 orang, dan sefalometri 23 orang.
Selanjutnya, bulan April, yaitu periapikal
sebanyak 680 orang, panoramik 204 orang, dan
sefalometri 14 orang. Selanjutnya, bulan Mei:
periapikal sebanyak 571 orang, panoramik 188
orang, dan sefalometri 9 orang. Berdasarkan
hasil pemeriksaan radiologi yang dilakukan pada
instalasi radiologi di RSGM Unsyiah selama
bulan Januari-Mei 2016 dapat disimpulkan
bahwa banyaknya pasien yang datang ke RSGM
Unsyiah untuk melakukan foto radiograf baik itu
rujukan dari dokter gigi yang berdomisili di
Banda Aceh maupun di luar Banda Aceh.8
Radiograf merupakan pemeriksaan penunjang
diagnosis dalam bidang kedokteran gigi,
sehingga dapat membantu menentukan rencana
perawatan selanjutnya.9
Berdasarkan masalah yang telah
dijelaskan di atas, maka penulis tertarik untuk
meneliti tentang pegaruh kualitas pelayanan
terhadap kepuasan pasien pada unit radiologi di
RSGM Unsyiah. Penelitian ini dilakukan di
RSGM Unsyiah Banda Aceh karena merupakan
rumah sakit gigi dan mulut satu-satunya yang
dimiliki oleh provinsi Aceh pada saat ini.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di RSGM
Universitas Syiah Kuala Banda Aceh yang
dilaksanakan dalam waktu 5 hari pada bulan
April 2018. Jenis penelitian ini merupakan jenis
penelitian yang bersifat analitik dengan metode
cross sectional.
Cakradonya Dent J; 10(2): 78-85
80 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh pasien yang datang untuk melakukan
foto radiografdi RSGM selama periode
penelitian. Pemilihan subjek dalam penelitian ini
dilakukan dengan teknik purposive sampling
berdasarkan kriteria yang telah ditentukan oleh
peneliti serta bersedia dan berpartisipasi dalam
penelitian ini dengan pendekatan non-
probability (yang memenuhi kriteria inklusi).10
Setelah memperoleh surat izin dari dekan
FKG Unsyiah dan Direktur RSGM Unsyiah.
Penelitian akan dilakukan pada pasien yang
datang untuk melakukan foto radiograf di
RSGM Universitas Syiah Kuala. Selanjutnya
peneliti menunggu pasien di ruang registrasi
untuk memastikan pasien tersebut melakukan
foto radiograf. Sebelum memulai penelitian,
peneliti menyeleksi pasien yang memenuhi
kriteria inklusi terlebih dahulu. Selanjutnya
peneliti mengikuti pasien menuju ruang
radiologi dan menunggu pasien selesai
melakukan foto radiograf.
Selanjutnya peneliti memberikan
informasi kepada pasien bahwa peneliti akan
melakukan penelitian dan meminta pasien untuk
bersedia dijadikan subjek penelitian. Jika pasien
setuju untuk dijadikan subjek penelitian, maka
peneliti memberikan lembar informed consent
dan lembar persetujuan kepada responden untuk
bekerjasama dalam penelitian ini. Selanjutnya
peneliti membagikan kuisioner dan menjelaskan
tujuan dilakukannya penelitian. Kuisioner
kemudian diisi sendiri oleh responden. Lembar
kuesioner yang telah terisi langsung
dikumpulkan kepada peneliti untuk dilakukan
proses analisis data.
Analisa data dilakukan menggunakan
teknik Chi-square untuk melihat apakah terdapat
pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan
pasien pada unit radiologi di RSGM Unsyiah.
Adapun proses analisis data berdasarkan
kuesioner, yaitu kuisioner kualitas pelayanan
terdiri dari l0 pertanyaan, masing-masing
pertanyaan berisikan 4 kategori pilihan yaitu
kategori 1: sangat tidak baik, kategori 2: tidak
baik, kategori 3: cukup baik, kategori 4: baik,
kategori 5: sangat baik. Pertanyaan kuisioner
tersebut terdiri dari 2 pertanyaan tentang
tangible (penampilan). 2 pertanyaan tentang
reliability (kehandalan), 2 pertanyaan tentang
responsiveness (ketanggapan), 2 pertanyaan
tentang assurance (keyakinan), 2 pertanyaan
tentang empathy (perhatian). Kemudian
kuisioner kepuasan pasien terdiri dari 9
pertanyaan, masing-masing pertanyaan berisikan
4 kategori pilihan yaitu; kategori 1: sangat tidak
puas, kategori 2 tidak puas, kategori 3: cukup
puas, kategori 4: puas, kategori 5: sangat puas.
Data tersebut dikumpulkan dan dinilai
menggunakan kategori berikut :
Kualitas Pelayanan
Sangat tidak baik : 1-10
Tidak baik : 11-20
Cukup baik : 21-30
Baik : 31-40
Sangat baik : 41-50
Kepuasaan
Sangat tidak puas : 1-9
Tidak puas : 10-18
Cukup puas : 19-27
Puas : 28-36
Sangat puas : 37-45
HASIL
Subjek penelitian ini adalah pasien yang
datang untuk melakukan foto radiograf di
RSGM Unsyiah dan berusia 17-55 tahun
berdasarkan kriteria inklusi.11
Teknik
pengambilan subjek penelitian menggunakan
metode purposive sampling dengan pendekatan
non probability yaitu teknik sampling dimana
peneliti menentukan sampel dengan menetapkan
ciri khusus sesuai dengan tujuan penelitian.
Jumlah keseluruhan subjek mencapai 68
orang, sejumlah 63 orang yang menyatakan
bersedia menjadi subjek penelitian dan 5 orang
tidak setuju untuk menjadi subjek penelitian.
Sedangkan yang menolak untuk menjadi subjek
penelitian dikarenakan alasan memiliki
kesibukan tersendiri, sedang terburu-buru dan
sedikit acuh terhadap penelitian ini.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian
Berdasarkan Usia
Usia Jumlah (orang) Persentase
17-25 tahun 22 34,9%
26-35 tahun 18 28,6%
36-45 tahun 16 25,4%
46-55 tahun 7 11,1%
Total 63 100%
Cakradonya Dent J; 10(2): 78-85
81 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian
Berdasarkan Jenis Kelamin
Pendidikan
Terakhir
Jumlah
(orang) Persentase
Perempuan 40 63,5%
Laki-laki 23 36,5%
Total 63 100%
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian
Berdasarkan Pendidikan
Pendidikan
Terakhir
Jumlah
(orang) Persentase
SMP 1 1,6%
SMA 29 46,0%
S-1 33 52,4%
Total 63 100%
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian
Berdasarkan Pekerjaan
Pekerjaan Jumlah
(orang) Persentase
Pelajar/Mahasiswa 14 22,2%
Ibu Rumah Tangga
(IRT) 11 17,5%
Petani 1 1,6%
Wiraswasta 10 15,9%
Honor/Kontrak 6 9,5%
Pegawai Negeri Sipil
(PNS) 15 38,8%
Karyawan Swasta 6 9,5%
Total 63 100%
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kualitas
Pelayanan
Kualitas Pelayanan Frekuensi Presentase
Sangat tidak baik 0 0%
Tidak baik 3 4,8%
Cukup baik 5 7,9%
Baik 32 50,8%
Sangat baik 23 36,5%
Total 63 100%
Tabel 6. Distribusi frekuensi subjek penelitian
berdasarkan dimensi tampilan (tangible)
Kualitas Pelayanan Frekuensi Persentase
Sangat tidak baik 0 0%
Tidak baik 2 3,2%
Cukup baik 24 38,1%
Baik 26 41,3%
Sangat baik 11 17,5%
Total 63 100%
Tabel 7. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian
Berdasarkan dimensi kehandalan (reability)
Kualitas Pelayanan Frekuensi Persentase
Sangat tidak baik 0 0%
Tidak baik 3 4,8%
Cukup baik 12 19,0%
Baik 29 46,0%
Sangat baik 19 30,2%
Total 63 100%
Tabel 8. Distribusi frekuensi subjek penelitian
berdasarkan dimensi ketanggapan (responsiveness)
Kualitas Pelayanan Frekuensi Presentase
Sangat tidak baik 0 0%
Tidak baik 3 4,8%
Cukup baik 13 20,6%
Baik 32 50,8%
Sangat baik 15 23,8%
Total 63 100%
Tabel 9. Distribusi frekuensi subjek penelitian
berdasarkan dimensi jaminan (assurance)
Kualitas Pelayanan Frekuensi Presentase
Sangat tidak baik 0 0%
Tidak baik 2 3,2%
Cukup baik 12 19,0%
Baik 32 50,8%
Sangat baik 17 27,0%
Total 63 100%
Tabel 10. Distribusi frekuensi subjek penelitian
berdasarkan dimensi perhatian (emphathy) Kualitas Pelayanan Frekuensi Presentase
Sangat tidak baik 0 0%
Tidak baik 3 4,8%
Cukup baik 11 17,5%
Baik 34 54,0%
Sangat baik 15 23,8%
Total 63 100% Adapun kepuasan pasien terhadap
pelayanan bidang radiologi RSGM Unsyiah
terdapat pada Tabel 11 berikut: Tabel 11. Dsitribusi Frekuensi Berdasarkan Kepuasan
Pasien
Kepuasan Frekuensi Presentase
Sangat tidak puas 0 0%
Tidak puas 2 3,2%
Cukup puas 13 20,6%
Puas 32 50,8%
Sangat Puas 16 25,4%
Total 63 100%
Cakradonya Dent J; 10(2): 78-85
82 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Pengaruh kualitas pelayanan terhadap
kepuasan pasien dalam bidang radiologi di
RSGM Unsyiah terdapat dalam tabel 12 berikut:
Tabel 12. Hasil Uji Pengaruh Kualitas Pelayanan
Terhadap Kepuasan Pasien Kepuasan
STP TP CP P SP Total
(%)
Kualitas
Pelayana
n
Sangat
Tidak
Baik
0
0
0
0
0
0
(0)
Tidak
Baik
0 2
0
0
1
3
(4.8)
Cukup
Baik
0
0 5 0 0 5
(7.9)
Baik 0 0 8 24 0 32
(50.8)
Sangat
Baik
0
0 0 8 15 23
(36.5)
Total
0 2 13 32 16 63
Total Persen (%) 0 3,2 20,6 50.8 25.4 100
Berdasarkan hasil uji chi-square yang
ditunjukkan pada Tabel12, didapatkan nilai
p=0.00 sehingga dapat disimpulkan bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan antara
kualitas pelayanan terhadap kepuasan pasien
yang diperoleh dari nilai p<0.05.
PEMBAHASAN Tabel 1 menunjukkan hasil penelitian
berdasarkan usia didominasi oleh oleh usia 17-
25 yaitu sebanyak 22 orang (34,9%). Menurut
penelitian Wijaya (2014)12
ditemukan bahwa
persentase sikap dengan kategori baik terbesar
dimiliki oleh kelompok umur 17-25. Hal ini
dapat disebabkan karena pada umur yang lebih
muda, mereka memiliki pandangan yang lebih
baik terhadap kesehatan.
Hal ini sesuai dengan
penelitian Putri (2014)13
menyatakan tingkat
usia yang lebih muda akan lebih banyak
membutuhkan motivasi dari orang tua.
Penelitian Tasya (2016)14
menyatakan bahwa
seseorang yang memasuki masa remaja akhir
berada dalam masa usia produktif sehingga
memiliki kesadaran yang tinggi untuk mencari
pelayanan ketika mereka membutuhkannya.
Semakin bertambah usia maka semakin
bertambah pula kemampuan seseorang dalam
mengambil keputusan, berfikir secara rasional,
semakin bijaksana dan mampu mengendalikan
emosi dan toleran terhadap pandangan orang
lain.
Tabel 2 menunjukkan hasil penelitian
berdasarkan jenis kelamin didominasi oleh
perempuan yaitu sebanyak 40 orang (63,5%).
Menurut penelitian Putri (2014)13
menyatakan
bahwa perempuan memiliki tingkat kesadaran
kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan laki-laki.
Hal ini sesuai dengan
penelitian Wijaya (2014)12
mengatakan bahwa
perempuan memiliki rasa ingin tahu yang lebih
besar karena mereka lebih merasakan
perubahan-perubahan psikologis pada diri
mereka. Penelitian Berutu (2017)15
juga
mengatakan wanita lebih peduli terhadap
perawatan, termasuk perawatan //kesehatan gigi
dan mulut. Selain itu, hal tersebut juga
didukung dengan hasil penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh Made Fryanantha Yudhia A
(2014)16
mengatakan bahwa responden berjenis
kelamin perempuan lebih dominan dibandingkan
laki-laki.
Tabel 3 menunjukkan hasil penelitian
berdasarkan tingkat pendidikan didominasi oleh
tingkat pendidikan Strata 1 (S1) yaitu sebanyak
33 orang (52,4%). Menurut penelitian
Tanudjaya (2014)6 menyatakan pendidikan
dianggap sebagai salah satu faktor yang
berhubungan dengan kualitas hidup.
Hal ini
sesuai dengan penelitian Harmoko (2017)17
yang
menyatakan bahwa pendidikan salah satu faktor
yang mempengaruhi perilaku langsung terhadap
kesehatan. Penelitian Caresya (2016)18
juga
menyatakan bahwa pendidikan mempengaruhi
proses belajar, semakin tinggi pendidikan
seseorang semakin mudah menerima informasi,
baik dari luar maupun dari media massa.
Semakin banyak informasi yang didapat maka
semakin banyak pengetahuan tentang kesehatan
yang didapatkan seseorang.
Tabel 4 menunjukkan hasil penelitian
berdasarkan pekerjaan didominasi oleh PNS
yaitu sebanyak 15 orang (23,8%). Menurut
penelitian Nondyawati (2015)19
menyatakan
bahwa seseorang yang memiliki pekerjaan
dengan informasi lebih luas terdapat
kecenderungan mempunyai pengetahuan lebih
baik dan dengan bekerja seseorang dapat berbuat
sesuatu yang bernilai, bermanfaat dan dapat
Cakradonya Dent J; 10(2): 78-85
83 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
memperoleh berbagai pengalaman yang lebih
luas sehingga informasi yang didapat lebih
banyak. Penelitian Caresya (2016)18
juga
mengatakan faktor ekonomi juga ikut berperan
penting dalam pemilihan tempat pengobatan,
semakin tinggi penghasilan seseorang maka
cenderung memilih tempat pengobatan yang
lebih baik dari segi sarana maupun prasarana.
Tabel 5 menunjukkan hasil penelitian
berdasarkan kualitas pelayanan didominasi oleh
kategori baik yaitu sebanyak 32 orang (50,8%).
Hal ini menunjukkan bahwa kualitas pelayanan
yang diberikan oleh bidang radiologi RSGM
Unsyiah telah memenuhi kebutuhan pasien
tersebut. Kualitas pelayanan adalah suatu upaya
dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan
konsumen serta ketepatan penyampaiannya
dalam mengimbangi harapan konsumen.20
Kualitas pelayanan sangat menentukan tingkat
kepuasan konsumen. Semakin tinggi kualitas
pelayanan maka semakin tinggi pula kepuasan
yang diterima konsumen.21
Hal ini sesuai dengan
penelitian Hanif (2010)22
menyatakan bahwa
kualitas pelayanan yang baik akan menciptakan
hubungan jangka panjang dan menguntungkan
bagi penyedia jasa dan konsumen.
Berdasarkan hasil penelitian dilihat dari
dimensi kualitas pelayanan sebagai berikut:23
Tabel 6 menunjukkan hasil penelitian
berdasarkan dimensi penampilan (tangible)
merupakan suatu kondisi yang membuat pasien
dapat merasakan kenyamanan seperti tempat
pelayanan, dan kelengkapan fasilitas didominasi
oleh kategori baik yaitu sebanyak 26 orang
(41,3%). Hal ini menunjukkan pelayanan yang
diberikan kepada pasien sudah baik.
Tabel 7 menunjukkan hasil penelitian
berdasarkan dimensi kehandalan (reability)
merupakan suatu kondisi dalam memberikan
pelayanan yang dijanjikan secara tepat dan
akurat didominasi oleh kategori baik yaitu
sebanyak 29 orang (46,0%). Hal ini
menunjukkan pelayanan yang diberikan kepada
pasien sudah baik. Tabel 8 menunjukkan hasil
penelitian berdasarkan dimensi ketanggapan
(responsiveness) merupakan suatu kondisi dalam
membantu pelanggan untuk memberikan
pelayanan yang cepat serta kepekaan yang tinggi
untuk membantu konsumen didominasi oleh
kategori baik yaitu sebanyak 32 orang (50,8%).
Hal ini menunjukkan pelayanan kepada pasien
sudah baik.
Tabel 9 menunjukkan hasil penelitian
berdasarkan dimensi jaminan (assurance)
merupakan suatu kondisi yang memberikan
kepercayaan/keyakinan kepada pelanggan
berupa jaminan bahwa tidak ada keraguan dalam
memberikan pelayanan sehingga tidak terjadi
kesalahan dalam memberi pelayanan tersebut
didominasi oleh kategori baik yaitu sebanyak 32
orang (50,8%). Hal ini menunjukkan pelayanan
yang diberikan kepada pasien sudah baik.
Tabel 10 menunjukkan hasil penelitian
berdasarkan dimensi perhatian (emphathy)
merupakan suatu kondisi yang memberikan
perhatian kepada pelanggan secara individu dan
berusaha untuk mengerti apa keinginan,
kemauan, serta kebutuhan konsumen didominasi
oleh kategori baik yaitu sebanyak 32 orang
(50,8%). Hal ini menunjukkan pelayanan yang
diberikan kepada pasien sudah baik.
Tabel 11 menunjukkan hasil penelitian
berdasarkan kepuasan pasien didominasi oleh
kategori puas yaitu sebanyak 32 orang (50,8%).
Kepuasan adalah suatu perasaan yang
menunjukkan kesenangan atau kekecewaan
seseorang terhadap kinerja atau produk yang
muncul setelah membandingkan antara
persepsi/kesan.24
Kepuasan dan ketidakpuasan
atas kualitas pelayanan kesehatan pada dasarnya
berpengaruh pada pola perilaku selanjutnya.
Apabila pasien merasa puas, pasien tersebut
akan menunjukkan besarnya kemungkinan untuk
kembali datang berkunjung ke pelayanan
kesehatan. Pasien yang puas cenderung
memberikan referensi yang baik terhadap
pelayanan kesehatan yang diterimanya kepada
orang lain.22
Sesuai dengan penelitian Vuuren
(2012)25
bahwa kepuasan pasien terhadap
kualitas pelayanan di rumah sakit dapat menjaga
suatu kepercayaan pasien sehingga pasien
tersebut dapat menjadi loyal atau setia terhadap
suatu rumah sakit tersebut. Penelitian Suki
(2011)26
menyatakan bahwa kepercayaan pasien
terhadap suatu rumah sakit dapat terbentuk
melalui pengalaman positif serta keinginan
pasien untuk datang dan berobat kembali.
Tabel 12 menunjukkan hasil penelitian uji
chi-square didapatkan nilai p=0.00 sehingga
dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh
Cakradonya Dent J; 10(2): 78-85
84 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
yang signifikan antara kualitas pelayanan
terhadap kepuasan pasien yang diperoleh dari
nilai p<0.05. Analisis yang dilakukan terkait
pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan
pasien dalam bidang radiologi RSGM Unsyiah
dengan menggunakan uji chi-square
menunjukan nilai p= 0,000< α 0,05 artinya
terdapat pengaruh yang signifikan antara
kualitas pelayanan terhadap kepuasan pasien.
Secara keseluruhan, dari hasil penelitian
telah menunjukkan bahwa pasien telah puas
dengan pelayanan di RSGM Unsyiah.Hal ini
ditunjukkan berdasarkan kriteria jawaban
responden dari masing-masing dimensi kualitas
pelayanan termasuk kategori baik. Hasil
penelitian ini didukung dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Made Fryanantha Yudhia A
(2014)16
yaitu terdapat pengaruh kualitas
pelayanan radiologi terhadap kepuasan pasien
menurut persepsi pasien di RSGM Universitas
Mahasaraswati Denpasar telah memenuhi
kebutuhan pasien dengan memberikan
pelayanan yang sebaik-baiknya sehingga
harapan pasien untuk mendapatkan pelayanan
yang terbaik sudah terpenuhi dan pasien merasa
puas atas pelayanan yang diberikan.
SIMPULAN
Kualitas pelayanan berdasarkan dimensi
tangible (penampilan), relibiality (kehandalan),
responsiveness (ketanggapan), assurance
(jaminan), empathy (perhatian) berdasarkan hasil
penelitian didominasi oleh kategori baik.
Sedangkan kepuasan pasien telah menunjukkan
didominasi oleh kategori puas. Berdasarkan
hasil uji chi-square didapatkan nilai p= 0,000< α
0,05 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
pengaruh yang signifikan antara kualitas
pelayanan terhadap kepuasan pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dwiatmoko S. Pengaruh Kualitas
Pelayanan Terhadap Kepuasan Pasien di
Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas
Jember. Indonesian Journal Of
Dentistry. 2007; 14(3):230.
2. Haryanto JO, Olivia. Pengaruh Faktor
Pelayanan Rumah Sakit, Tenaga Medis dan
Kualitas Pelayanan Rumah Sakit Terhadap
Intensi Pasien Indonesia untuk Berobat di
Singapura. Jurnal Ekonomi Bisnis 2009;
14(2):114.
3. Departemen Kesehatan. Sistem Kesehatan
Nasional. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI: 1987:231.
4. Lestari MMW, Yulianthini. Analisis
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kepuasan Pasien Rawat Inap. e-Journal
Bisma Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan Manajemen. 2016 (1):2.
5. Jenita. Pelayanan pada Bisnis Rumah Sakit.
Jurnal Kajian Ekonomi Islam 2016;
1(2):155.
6. Tanudjaya K. Pengaruh Kualitas Pelayanan
Klinik Gigi Terhadap Kepuasan dan
Kepercayaan Pasien Sehingga
Meningkatkan Keinginan untuk Berobat
Kembali. Jurnal Manajemen Dan
Pemasaran Jasa. 2014; 7(1):45.
7. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan (Balitban
gkes) RI, 2013. Laporan Hasil Riset
Kesehatan Dasar.http://www.depkes.go.id/
resources/download/general/Hasil%20Risk
esdas%202013.pdf. (Diakses 15 Mei 2018)
8. RSGM Universitas Syiah Kuala
http://www.fkg.unsyiah.ac.id/profil/rsgm-
fkg-unsyiah (Diakses 26 Februari 2017)
9. Supriyadi. Pedoman Interpretasi Radiograf
Lesi-Lesi di Rongga Mulut. Jurnal
Kedokteran Gigi Universitas Jember. 2012;
9(3): 1.
10. Taunay, Edward G. Analisis Kepuasan
Konsumen Terhadap Kualitas Pelayanan
Jasa Kesehatan (Studi Kasus di RS
BhaktiWira Tamtama Semarang). Jurnal
Manajemen Dan Pemasaran Jasa. 2005;
2(1): 11-3.
11. Kurniawan A. Pengaruh Kualitas Layanan
Terhadap Kepuasan dan Kepercayaan
Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit Paru dr.
Ario Wirawan Salatiga. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. 0 4(2): 5.
12. Wijaya I. Pengetahuan, Sikap dan Aktivitas
Remaja SMA dalam Kesehatan Reproduksi
di Kecamatan Buleleng. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. 2014; 10(1): 40.
13. Putri A. Pengaruh Kualitas Pelayanan
Kesehatan Terhadap Kepuasan Pasien BPJS
di Rumah Sakit Tingkat II Udayana. Jurnal
Cakradonya Dent J; 10(2): 78-85
85 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Pelayanan Kesehatan. 2014; 2(2): 4
14. Tasya N. Faktor-faktor yang Berhubungan
dengan Pemanfaatan Peayanan Kesehatan
Gigi dan Mulut di Rumah Sakit gigi dan
Mulut (RSGM) Universitas Syiah Kuala
Banda Aceh. Journal Caninus Dentistry.
2016; 1(4): 59.
15. Berutu P. Peran Motivasi Terhadap Tingkat
Kooperatif Pasien yang Berkunjung ke Gigi
dan Mulut di Rumah Sakit gigi dan Mulut
(RSGM) Unsyiah. Journal Of Syiah Kuala
Dentistry. 2017; 2(1): 75.
16. Skripsi Pengaruh Kualitas Pelayanan
Radiologi Terhadap Kepuasan Pasien
Menurut Persepsi Pasien di RSGM
Universitas Mahasaraswati Denpasar.
http://www.unmaslibrary.ac.id/wpcontent/
uploads/2014/06/pengaruh_kualitas_pelaya
nan_radiologi_terhadap_tingkat_kepuasan_
menurut_persepsi_pasien.pdf.(Diakses 26
November 2017).
17. Harmoko S. Analisi Tingkat Kepuasan
Pemustaka Terhadap Kualitas Layanan di
Perpustakaan Politeknik Kesehatan
Kementrian Kesehatan Yogyakarta. Jurnal
Ilmu Perpustakaan dan Informasi.. 2017;
3(1): 14.
18. Caresya G. Pengaruh Komunikasi
Interpersonal Dokter Gigi Pasien terhadap
Tingkat Kepuasan di Poli Gigi Puskesmas
Jember. Jurnal Pustaka Kesehatan. 2016;
3(3): 550.
19. Nondyawati K. Hubungan Pengetahuan dan
Sikap dengan Motivasi Keluarga dalam
Memberikan Dukungan pada Klien
Gangguan Jiwa. Jurnal Ilmiah. 0 5 (1):
5-7.
20. Hosang N, Tumbel A, Moniharapon S.
Analisis Pengaruh Kualitas Pelayanan dan
Harga Terhadap Kepuasa Pasien. Jurnal
Berkala Ilmiah Efisiensi. 2016; 16(1):161.
21. Handayani S, Iriyanto S. Pengaruh Kualitas
Pelayanan dan Tarif Terhadap Kepuasan
Serta Implikasinya Terhadap Minat Beli
Pasien Rawat Inap Pada Rumah Sakit
Roemani Muhammadiyah Semarang.
Jurnal stiedharmaputra.2010; 3(2): 1.
22. Hanif A. Factors Affecting Customer
Satisfaction. Jounal of Finance and
Economics. 0 0 4(2): 44-52.
23. Saptawan S, Negyant. Efektivitas Kualitas
Pelayanan Kesehatan Masyarakkat. Jurnal
Ilmu Administrasi Negara. 2014; 12(4):
243.
24. Dewi R. Pengaruh Kualitas Pelayanan
Terhadap Loyalitas Pasien Pengguna BPJS
dengan Kepuasan Pasien Sebaga Variabel
Intervening. Jurnal Ekonomi Manajemen
Sumber Daya. 2016; 18(2): 149.
25. Vuuren T. Customer Satisfaction, Trust and
Commitment as Predictors of Customer
Loyalty Within an Optometric Practice
Environment. Journal of Southern African
Business Review.2012; 16(3): 81.
26. Suki A. Structural Model of Customer
Satisfaction and Trust in Vendors Involved
in Mobile Commerce. Internation Journal
of Business Science and Applied
Management. 2011; 6(2): 17.
Cakradonya Dent J; 10(1): 86-95
86 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
TATA LAKSANA TETANUS GENERALISATA DENGAN KARIES GIGI(LAPORAN KASUS)
MANAGEMENT OF GENERALIZED TETANUS IN CARIES(CASE REPORT)
Wati Safrida*, Syahrul**
*Residen Neurologi Fakultas Kedokteran Unsyiah-RSUZA** Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Correspondence email to: safridawatidr@gmail.com
ABSTRAKTetanus merupakan penyakit yang dapat dicegah melalui vaksinasasi, dimana menyebabkan kematian309.000 orang per tahunnya. Dilaporkan lebih dari satu juta kasus tiap tahunnya di negaraberkembang. Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkanoleh Clostridium tetani ditandai dengan rigiditas dan spasme otot yang periodik dan berat. Seoranglelaki umur 46 tahun, datang dengan kekakuan seluruh tubuh sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit.Awalnya pasien merasakan kekakuan pada rahangnya sehingga sulit untuk membuka mulut dan sulitmenelan, kemudian pasien merasakan tubuhnya seperti robot yang sulit untuk digerakan, sulitberjalan, sulit berbicara dan mengalami hambatan dalam segala aktivitas. Kejang rangsang dialamioleh pasien. Pasien memiliki riwayat demam sejak 1 minggu ini, pasien juga memiliki gigi yangberlubang sejak 2 tahun ini. Pada pemeriksaan vital sign didapatkan tekanan darah 110/70 mmhg,nadi 117 x per menit, frekuensi napas 24 kali permenit, temperatur 380C. Hasil pemeriksaan fisikdidapatkan trismus, rhisus sardonicus dan spastik seluruh tubuh. Tatalaksana awal berupa primarysurvey, atasi kejang dan spastik, netralisir toksin dan pemberian antibiotik. Pasien diisolasi untukmencegah kejang rangsang. Pasien dirawat bersama bagian Gigi Mulut dan dilakukan tindakan yangberhubungan dengan faktor resiko karies gigi pasien.Kata kunci: Tetanus, karies gigi, trismus
ABSTRACTTetanus is a vaccine preventable disease that yearly causes a total of 309,000 deaths. Reports showedup to 1 million cases annually, mostly in underdeveloped countries. Tetanus is an acute toxemiacaused neurotoxins produced by Clostridium tetani characterized periodic and severe muscle rigidityand spasme. A 46-years-old man, comes with a whole body stiffness felt since 7 days before enteringthe hospital. Initially the patient felt the stiffness in his jaw made difficult to open his mouth and hardto swallow, then patient feeling his body like a robot that was difficult to move, walking, difficultyspeaking and experiencing obstacles in all activities. Spasm excitatory experienced by the patient.Patient had a history of fever since one week, patient also had a caries dentis since 2 this year. Onexamination of vital sign, blood pressure obtained 110/70 mmhg, pulse 117 x per minute, breathfrequency 24 times permenit, temperature 380C. Results of physical examination obtained trismus,rhisus sardonicus and spastik entire body. Preliminary management of primary survey, resolveseizures and spastic, neutralize toxins and administration of antibiotics. Patients were isolated toprevent seizure. Patients treated by Dental Division and performed actions related to dental caries riskfactors of the patient.Key words: Tetanus, Caries Dentis, Trismus
Cakradonya Dent J; 10(1): 86-95
87 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
PENDAHULUANTetanus adalah suatu toksemia akut
yang disebabkan oleh neurotoksin yangdihasilkan oleh Clostridium tetani ditandaidengan spasme otot yang periodik dan berat.Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkanparalitik spastik yang disebabkantetanospasmin. Tetanospamin merupakanneurotoksin yang diproduksi oleh Clostridiumtetani.1,2 Sampai saat ini tetanus masihmerupakan masalah kesehatan di negaraberkembang akibat rendahnya akses programimunisasi, juga penatalaksanaan tetanusmodern membutuhkan fasilitas intensive careunit (ICU) bagi pasien tetanus berat yangjarang tersedia. Tetanus adalah penyakit yangdapat dicegah. Implementasi imunisasitetanus global telah menjadi target WHOsejak tahun 1974. Realitanya imunitasterhadap tetanus tidak berlangsung seumurhidup dan dibutuhkan injeksi booster jikaseseorang mengalami luka yang rentanterinfeksi tetanus.
LAPORAN KASUSPasien Tn. I, seorang laki-laki umur 46
tahun, datang dengan kekakuan seluruh tubuh.Kekakuan seluruh tubuh dirasakan sejak 7 harisebelum masuk rumah sakit. Awalnya pasienmerasakan kekakuan pada rahangnya sehinggasulit untuk membuka mulut dan menelan,kemudian pasien merasakan tubuhnya sepertirobot yang sulit bergerak, sulit berjalan, sulitberbicara dan mengalami hambatan dalamsegala aktivitas.
Riwayat demam dikeluhkan pasien padasaat 1 minggu sebelum masuk rumah sakitdisertai gigi berlubang yang sering dikeluhkannyeri sejak 1 bulan terakhir. Pasien mengakuselama ini sering mengalami sakit gigi (gigiberlubang), terkadang pasien mencongkel gigiyang berlubang dengan peniti dan pentul.Pasien tidak memiliki riwayat penyakit kejangsebelumnya dan tidak pernah mengalamipenyakit ini sebelumnya.
Pasien adalah seorang nelayan yangsehari-hari bekerja di laut dan tambak. Pasientidak pernah menggunakan sandal atau sepatuketika bekerja. Pasien juga mengaku seringmengalami luka akibat terkena serpihan keongdan benda-benda tajam lainnya. Namun pasien
mengaku luka tersebut sembuh dan tidakpernah mengalami gangguan yang sepertipasien rasakan saat ini.
Pasien seorang duda tinggal bersamakakak kandung pasien, dimana pasien kurangmenjaga sanitasi dan higienitas diri sendiri.Keluarga pasien tidak ada yang pernahmenderita epilepsi dan tidak pernah menderitapenyakit seperti yang diderita pasien. Pasienberasal dari keluarga ekonomi menengah kebawah yang sehari-hari menggantungkankehidupannya dari pekerjaan sabagai nelayan.
Pada saat pemeriksaan fisik pertamakali di ruang IGD RSUZA, didapatkan pasientampak gelisah, rahang dan seluruh tubuhkaku dengan GCS E4M6V5. Tanda vital,tekanan darah 144/94 mmHg, frekuensi nadi104 kali per menit, volume cukup, regular,frekuensi napas 30 kali per menit, simetris,regular, kedalaman cukup, dan suhu 370C.
Pada status generalis, didapatkan wajahtampak kaku, rahang tampak kaku, leherkaku, perut tegang seperti papan dan anggotagerak tampak kaku. Pada pemeriksaan THTtidak tampak ada cairan telinga. Dada tampaksimetris saat statis dan dinamis, auskultasiparu vesikuler, tidak terdapat ronki maupunmengi.
Bunyi jantung 1 dan 2 normal, tidakterdapat murmur maupun gallop, batasjantung tidak melebar. Abdomen tegangseperti papan, hati dan limpa sulit teraba,bising usus positif normal. Pada pemeriksaanpunggung tidak terdapat deformitas. Akralhangat, tidak ada edema.
Pemeriksaan neurologis pada pasientetanus sulit dinilai, mengingat pemeriksaanini sangat objektif pada pasien, sedangkantetanus sendiri dapat terjadi kejang jikadirangsang. Pada pemeriksaan neurologisdidapatkan GCS E4M6V5, pemeriksaan pupildan tanda rangsangan meningeal tidakdilakukan. Pada pemeriksaan nervus kranialistidak didapatkan kesan parese nervus.
Kekuatan motorik sulit dinilai, tonusotot tampak meningkat, pemeriksaan refleksfisiologis dan patologis tidak dilakukan. Padapemeriksaan otonom tampak hiperhidrosisdiseluruh tubuh pasien.
Pada pemeriksaan hasil laboratorium,didapatkan hasil sebagai berikut :
Cakradonya Dent J; 10(1): 86-95
88 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium PasienJenis
Pemeriksaan Hasil NilaiRujukan Satuan
HematologiHemoglobin 13,6 12,0-15,0 g/DlHemotokrit 40 37-47 %Eritrosit 3,9 4,2-5,4 103/mm3
Leukosit 5,8 4,5-10,5 103/mm3
Trombosit 263 150-450 103/mm3
MCV 85 80-100 fLMCH 26 27-31 PgMCHC 33 32-36 %RDW 13,6 11,5-14,5 %Eosinofil 1 0-6 %Basofil 0 0-2 %
Neutrofil Batang 0 2-6 %Neutrofil Segmen 75 50-70 %Limfosit 15 20-40 %Monosit 9 2-8 %Natrium (Na) 130 132-146 mmol/L
Kalium (K) 4,6 3,7-5,4 mmol/LKlorida (Cl) 107 98-106 mmol/LGDS 126 < 200 mg/dLUreum 16 13-43 mg/dLKreatinin 0,60 0,51-0,95 mg/dL
Pasien didiagnosa banding denganMeningitis, Poliomielitis, Tetany danRetropharingeal Abses. Pasien diberikantatalaksana awal berupa pembebasan jalannafas, oksigen 3 liter permenit, kemudianpemberian terapi medikamentosa berupanetralisasi Toksin Human TetanusImmunoglobulin (HTIG) dosis 500 IU/IM(ekstra), antibiotik dengan injeksiMetronidazol 500 mg/6 jam i.v selama 10 haridan Penicilin Prokain 1.200.000 iu/12 jam i.vselama 10 hari, antispasme dengan InjDiazepam 10 mg ekstra, maintanance 80 mg/8jam dengan kecepatan 62,5 cc/jam via infuspump, kemudian setiap kejang diberikandiazepam 10 mg/IV secara perlahan dapatdiulang setiap 15 menit maksimal 3 kalipemberian. Untuk terapi suportif pemasanganNGT dan Cateter Urin, nutrisi diberikanmelalui NGT-Diet Sonde 6x200 cc via NGT.Isolasi pasien ke ruang minimal rangsangancahaya dan suara, menghindaritindakan/perbuatan yang bersifat merangsang,termasuk rangsangan suara dan cahaya,
membersihkan jalan nafas secara berkala.Pasien dikonsulkan ke bagian Gigi dan
Mulut untuk dilakukan tatalaksana sesuaidengan faktor resiko pada pasien. Pasien
kemudian direncanakan pemeriksaanlanjutan setelah trismus berkurang dankeadaan umum stabil.
PEMBAHASANPada pasien yang dilaporkan diatas
terdapat kekakuan otot yang terjadi diawalidari wajah leher, faring dan seluruh ototekstremitas dan batang tubuh. Kemudianpasien juga mengalami kejang rangsang yangmerupakan gejala khas dari Tetanus. 2,3,4
Tetanus atau Lockjaw merupakanpenyakit akut yang menyerang susunan sarafpusat yang disebabkan oleh racuntetanospasmin yang dihasilkan olehClostridium tetani. Penyakit ini timbul jikakuman tetanus masuk ke dalam tubuh melaluiluka, gigitan serangga, infeksi gigi, infeksitelinga, bekas suntikan dan pemotongan talipusat. Kuman ini dalam tubuh berkembangbiak dan menghasilkan eksotoksin antara laintetanospasmin yang secara umummenyebabkan kekakuan, spasme dari ototbergaris.1,2,3
Tampak pada pasien bahwa kekakuanyang terjadi pada tubuh terjadi secara bertahap.Kekakuan awalnya terjadi pada otot masseter,menyebabkan kesulitan membuka muluttrismus atau low jaw. Kekakuan biasanyaterjadi pada otot leher, faring, dan juga seluruhotot ekstremitas, dan batang tubuh. Kekakuanotot wajah akan memberikan gambaran rhisussardonikus. Kekakuan pada otot lehermenyebabkan retraksi leher, kekakuan padaotot faring akan mnyebabkan disfagia dankekakuan pada otot dada dan interkostal akanmenyebabkan keterbatasan dalam gerakannapas. Otot abdomen akan berkontraksimenyebabkan rigiditas yang biasa disebutperut papan. Kekakuan yang hebat pada ototpunggung dapat memberikan gambaranepistotonus. 3,4, 6,7,9
Pada pasien diatas, spasme yang terjadimerupakan spasme berat yang dilakukandilakukan managemen awal pada jam–jampertama berupa Primary Survey. Pemberiananti spasme otot (diazepam i.v 10 mg bolusperlahan) dan mencari sumber infeksi sebagaiport d entry juga dilakukan pada pasien ini.
Cakradonya Dent J; 10(1): 86-95
89 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Adapun penatalaksanaan pada 24 jampertama yaitu pemberian Human TetanusImunoglobulin 500 ui, pemberian antibiotik
Metronidazol i.v 4 x 500 miligram danPenicilin Prokain 2x 1.200.000 ui i.v,diberikan dosis pemeliharaan diazepam 80 mgdalam 500 cc, Nacl per 8 jam dengankecepatan 62,5 cc perjam dan isolasi pasien keruang khusus.
Pasien memiliki riwayat sakit gigi dandicurigai sebagi port d entry kuman tetanus,selanjutnya pasien dikonsulkan ke bagian Gigidan Mulut, namun karena gejala akut masihada, terutama trismus, maka ekstraksi gigiyang mengalami karies tidak bisa dilakukan.
Selama Perawatan 15 hari di rumahsakit, pasien menunjukan perkembangan yangsangat berarti. Trismus dan spasme ototmengalami penurunan secara perlahan. Padasaat pasien direncanakan pulang berobat jalankekakuan sudah menghilang sebanyak 90persen.
EtiologiKuman tetanus yang dikenal sebagai
Clostridium tetani; kuman gram positifbasilus berukuran panjang 2–5 um dan lebar0,3–0,5 um, dan bersifat anaerob. ClostridiumTetani dapat dibedakan dari tipe lainberdasarkan flagella antigen.8,9
Gambar 1. Pewarnaan Gram pada kulturClostridium Tetani dengan Pembesaran
1000x 3
Kuman tetanus ini membentuk sporayang berbentuk lonjong dengan ujung yangbulat, khas seperti batang korek api (drumstick). Sifat spora ini tahan dalam air mendidihselama 4 jam dan obat antiseptik tetapi matidalam autoklaf bila dipanaskan selama 15–20menit pada suhu 121°C. Bila tidak kena
cahaya, maka spora dapat hidup di tanahberbulan–bulan bahkan sampai tahunan. Jugadapat merupakan flora usus normal dari kuda,sapi, babi, domba, anjing, kucing, tikus, ayamdan manusia. Spora akan berubah menjadibentuk vegetatif dalam anaerob dan kemudianberkembang biak.3,5,7
Bentuk vegetatif tidak tahan terhadappanas dan beberapa antiseptik Kumantetanus tumbuh subur pads suhu 17°C dalammedia kaldu daging dan media agar darah.Demikian pula dalam media bebas gula karenakuman tetanus tidak dapat memfermentasikanglukosa7,8
Kuman tetanus tidak invasif tetapi dapatmemproduksi 2 macam eksotoksin yaitutetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmismerupakan protein dengan berat molekul150.000 Dalton, larut dalam air labil padapanas dan cahaya, rusak dengan enzimproteolitik, tetapi stabil dalam bentuk murnidan kering. Tetanospasmin disebut juganeurotoksin karena toksin ini melaluibeberapa jalan dapat mencapai susunansaraf pusat dan menimbulkan gejala berupakekakuan (rigiditas), spasme otot dan kejang–kejang. Tetanolisin menyebabkan lisis dari seldarah merah.9,10,11,12
Patogenesis Dan PatofisiologiChlostridium tetani dalam bentuk spora
masuk kedalam tubuh melalui luka yangterkontaminasi dengan debu, tanah, tinjabinatang, pupuk. Cara masuknya spora inimelalui luka yang terkontaminasi antara lainluka tusuk, luka bakar, luka lecet, otitis media,infeksi gigi, ulkus kulit yang kronis, abortus,tali pusat, terkadang luka tersebut hampir takterlihat.5,6,7 Pandi dkk (1965) melaporkanbahwa 70% pada telinga sebagai port d’entree,sedangkan beberapa peneliti melaporkanbahwa port d'entry melalui telinga hanya6,5%.2,3
Bila keadaan menguntungkan di manatempat luka tersebut menjadi hipaerob sampaianaerob disertai terdapatnya jaringan nekrosis,lekosit yang mati, benda–benda asing makaspora berubah menjadi vegetatif yangkemudian berkembang.
Kuman ini tidak invasif. Bila dinding selkuman lisis maka dilepaskan eksotoksin, yaitutetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmin
Cakradonya Dent J; 10(1): 86-95
90 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
sangat mudah mudah diikat oleh saraf danakan mencapai saraf melalui ;.1,3, 8,9
1. Secara lokal: diabsorbsi melaluimioneural junction pada ujung–ujungsaraf perifer atau motorik melalui axissilindrik ke cornu anterior susunan sarafpusat dan susunan saraf perifer. Meskipundemikian 20% pasien tetanus tidak memiliiriwayat luka yang jelas sebagai port d’entry .
2. Dari otot yang terkena luka toksin akanmenyebar ke otot-otot yang dekatdisekitarnya sehingga daerah asal tempattoksin menyebar melalui jalur neural akanmeningkat dan terjadi peningkatan jumlahsaraf yang terlibat dalam transport toksin kesistem saraf Pusat.
3. Toksin yang berasal dari jaringan dengancepat akan menyebar melalui noduslimfatikus regional, dan segera toksintersebut akan menyebar melalui alirandarah.
4. Toksin akan diserap melalui sirkulasi darahmelalui sistem limfatik, namun juga dapatmelalui kapiler pembuluh darah di dekatdepot toksin. Semakin banyak jumlahtoksin di dalam darah maka semakinbanyak toksin yang dapat dinetralisasikarena antitoksin dapat diberikan intravena.Namun jika deposit di dalam otot lebihbanyak tetanus ascenden yang bersifat letalakan terus berkembang karena transporttoksin ke susunan saraf sepanjang jarassaraf.
Gambar 2. Mekanisme Toksin Tetanus 18
Toksin tencapai susunan saraf pusatmelalui transpor retrograde sepanjang jaluraksonal, setelah penyebaran toksin melaluiotot, pertama kan berikatan dengan reseptor
membran terminal presinap di dalam otot.Reseptor ini merupakan suatu gangliosidselanjutnya toksin akan berinternalisasi dannaik sepanjang akson saraf perifer di dalamotot menuju sel-sel kornu anterior segmenmedula spinalis yang menginervasi otot –ototyang terinfeksi.13
Manifestasi KlinikMasa inkubasi tetanus umumnya antara
3–21 hari, namun dapat singkat hanya 1–2 haridan kadang–kadang lebih dari 1 bulan. Makinpendek masa inkubasi makin jelekprognosanya. Terdapat hubungan antara jaraktempat invasi Clostridium tetani dengansusunan saraf pusat dan interval antara lukadan permulaan penyakit, dimana makin jauhtempat invasi maka inkubasi makinpanjang.1,2,14
Secara klinis tetanus, dapat munculdengan berbagai tipe yaitu, tetanus umum,tetanus lokal dan tetanus cephalic. Pada pasienyang terjadi adalah tetanus umum. Tetanusumum merupakan gambaran tetanus yangpaling sering dijumpai. Terjadinya bentuk iniberhubungan dengan luas dan dalamnya lukaseperti luka bakar yang luas, luka tusuk yangdalam, furunkulosis, ekstraksi gigi, ulkusdekubitus dan suntikan hipodermis. 1,2,3,7,15
Biasanya tetanus timbul secaramendadak berupa kekakuan otot baik bersifatmenyeluruh ataupun hanya sekelompokotot. Kekakuan otot terutama pada rahang(trismus) dan leher (kaku kuduk). Limapuluh persen penderita tetanus umum akanmenunjukkan trismus. Pada 24–48 jam darikekakuan otot menjadi menyeluruh sampai keekstremitas. Kekakuan otot rahang terutamaotot masseter menyebabkan mulut sukardibuka, sehingga penyakit ini juga disebut'Lock Jaw'. Selain kekakuan otot masseter,pada muka juga terjadi kekakuan otot mukasehingga muka menyerupai muka meringiskesakitan yang disebut 'Rhisus Sardonicus'(alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat padagigi), akibat kekakuan otot–otot leher bagianbelakang menyebabkan nyeri waktumelakukan fleksi leher dan tubuh sehinggamemberikan gejala kuduk kaku sampaiopisthotonus.12Selain kekakuan otot yang luasbiasanya diikuti kejang umum tonik baik
Cakradonya Dent J; 10(1): 86-95
91 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
secara spontan maupun dengan rangsanganminimal (rabaan, sinar dan bunyi). Kejangmenyebabkan lengan fleksi dan aduksi sertatangan mengepal kuat dan kaki dalam posisiekstensi. Kesadaran penderita tetap baikwalaupun nyeri yang hebat serta ketakutanyang menonjol sehingga penderita nampakgelisah dan mudah
terangsang. Spasme otot–otot laring danotot pernapasan dapat menyebabkan gangguanmenelan, asfiksia dan sianosis. Retensi urinsering terjadi karena spasme sphincterkandung kemih.5,6
Kenaikan temperatur badan umumnyatidak tinggi tetapi dapat disertai panas yangtinggi sehingga harus hati–hati terhadapkomplikasi atau toksin menyebar luas danmengganggu pusat pengatur suhu.2,3,4 Padakasus yang berat mudah terjadi overaktivitassimpatis berupa takikardi, hipertensi yanglabil, berkeringat banyak, panas tinggi danaritmia jantung.2,3,15
Menurut berat ringannya tetanus umumdapat dibagi atas:.4,16 tetanus ringan: trismuslebih dari 3 cm, tidak disertai kejang umumwalaupun dirangsang; tetanus sedang: trismuskurang dari 3 cm dan disertai kejang umumbila dirangsang; tetanus berat: trismus kurangdari 1 cm dan disertai kejang spontan.
Cole dan Youngman (1969) membagitetanus umum atas:2,3
Grade 1: ringan- Masa inkubasi lebih dari 14 hari- Period of onset > 6 hari- Trismus positif tetapi tidak berat- Sukar makan dan minum tetapi disfagia
tidak ada.Lokalisasi kekakuan dekat dengan luka berupaspasme disekitar luka dan kekakuan umumterjadi beberapa jam atau hari.Grade II: sedang- Masa inkubasi 10–14 hari- Period of onset 3 hari atau kurang- Trismus ada dan disfagia ada.Kekakuan umum terjadi dalam beberapa haritetapi dispnoe dan sianosis tidak ada.Grade III: berat- Masa inkubasi < 10 hari- Period of onset 3 hari atau kurang- Trismus berat- Disfagia berat.
Diagnosis tetanus ditegakkanberdasarkan klinis dan riwayat luka infeksi.Pemeriksaan laboratorium kurang menunjangdalam diagnosis. Namun pada pemeriksaanrutin dapat dilakukan darah rutin, elektrolit,ureum, kreatinin, mioglobin Urin, AGD, EKGserial dan kultur untuk infeksi. Padapemeriksaan darah rutin tidak ditemukan nilai–nilai yang spesifik; lekosit dapat normal ataudapat meningkat.1,5,10,21
Pemeriksaan mikrobiologi, bahandiambil dari luka berupa pus atau jaringannekrotis kemudian dibiakkan pada kultur agardarah atau kaldu daging. Tetapi pemeriksaanmikrobiologi hanya pada 30% kasusditemukan Clostridium tetani.22 Penentuanderajat penyakit pada tetanus penting untukmenentukan prognosis dan menentukanseberapa agresif terapi yang mesti kitalakukan. Grading dilakukan denganmenggunakan kriteria Pattel Joag, yaitusebagai berikut:
Kriteria 1 : rahang kaku, spasme terbatas,disfagia dan kekakuan otot, tulang belakang.
Kriteria 2 : spasme saja tanpa melihat frekuensidan derajatnyaKriteria 3 : inkubasi antara 7 hari atau kurangKriteria 4 : waktu onsite 48 jam atau kurangKriteria 5 : kenaikan suhu rektal sampai 1000Fatau aksila sampai 990F (37,60 C).Gambar 3. Kriteria Tetanus Menurut Pattel Joag
Dari kriteria diatas dibuat tingkatanderajat tetanus berdasarkan kriteria Pattel Joagsebagai berikut : 2
Derajat 1 : kasus ringan, minimal 1 kriteriaK1 atau K 2, mortalitas 0%Derajat 2 : Kasus sedang , minimal 2 kriteria(K1 + K2), biasanya inkubasi lebih dari 7 hari,onset lebih dari 2 hari, mortalitas 10%Derajat 3 : Kasus berat, adanya minimal 3kriteria, inkubasi kurang dari 7 hari, onsitekurang dari 2 hari, mortalitas 32%Derajat 4: Kasus sangat berat, minimal 4kriteria, mortalitas 60%Derajat 5 : bila terdapat 5 kriteria, termasuktetanus neonatorum dan tetanus puerperium,mortalitas 84 %
Kriteria beratnya tetanus dapat puladitentukan dengan klasifikasi Ablett’s sebagaiberikut:
Cakradonya Dent J; 10(1): 86-95
92 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Grade 1 (ringan) : Trismus ringan sampaisedang , spastisitas umum, tidak ada gangguanpernafasan, tidak ada spasme, tidak ada/sedikit ada disfagiaGrade 2(moderat): Trismus sedang, rigiditasterlihat jelas, gangguan pernafasan ringandengan Takipneu, spasme ringan sampaisedang namun singkat, disfagia ringanGrade 3 (berat) : Trismus berat, spastisitasmenyeluruh, refleks spasme dan seringdengan spasme spontan yang memanjang,gangguan pernafasan takipneu dengan apnoeicspells, disfagia berat, takikardi lebih dari 120 xGrade 4 (sangat berat) : grade 3 ditambahgangguan outonom berat yang melibatkansistem kardiovaskular
Terdapat sistem skoring untuk menilaiprognosis tetanus seperti Phillips score danDakar score. Kedua sistem skoring inimemasukkan kriteria periode inkubasi danperiode onset, begitu pula manifestasineurologis dan cardiac. Phillips score jugamemasukkan status imunisasi pasien. Phillipsscore <9, severitas ringan; 9-18, severitassedang; dan >18, severitas berat. Dakar score0-1, severitas ringan dengan mortalitas 10%;2-3, severitas sedang dengan mortalitas 10-20%; 4, severitas berat dengan mortalitas 20-40%; 5-6, severitas sangat berat outcometetanus tergantung berat penyakit dan fasilitaspengobatan yang tersedia. Jika tidak diobati,mortalitasnya lebih dari 60% dan lebih tinggipada neonatus. Di fasilitas yang baik, angkamortalitasnya 13% sampai 25%. Hanya sedikitpenelitian jangka panjang pada pasien yangberhasil selamat. Pemulihan tetanus cenderunglambat namun sering sembuh sempurna,beberapa pasien mengalami abnormalitaselektroensefalografi yang menetap dangangguan keseimbangan, berbicara, danmemori.. 1,2,3
Tabel 2. Prognostik skor tetanus , Dakar Score6
Sedangkan prognostik skor menurutPhilips score dijabarkan sebagai berikut :Tabel 3. Prognostik skor tetanus , Philips Score6
PenatalaksanaanSelama infeksi, toksin tetanus beredar
dalam 2 bentuk yakni toksin bebas dalamdarah dan toksin yang bergabung denganjaringan saraf. Toksin yang dapat dinetralisiroleh antitoksin adalah toksin yang bebas dalamdarah. Sedangkan yang telah bergabungdengan jaringan saraf tidak dapat dinetralisiroleh antitoksin.
Antitoksin dapat digunakan HumanTetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secaraIM tidak boleh diberikan secara intravenakarena TIG mengandung "anticomplementary aggregates of globulin", yangmana ini dapat mencetuskan reaksi alergiyang serius.
Bila TIG tidak ada, dianjurkan untukmenggunakan tetanus antitoksin, yang berawaldari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengancara pemberiannya adalah :20.000 U dariantitoksin dimasukkan kedalam 200 cccairan NaC1 fisiologis dan diberikan secaraintravena, pemberian harus sudah diselesaikandalam waktu 30-45 menit. Setengah dosisyang tersisa (20.000 U) diberikan secaraIM pada daerah sebelah luar.1,2,4
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yangpertama bersamaan dengan pemberianantitoksin tetapi pada sisi yang berbeda denganalat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukansecara I.M. Pemberian TT dilanjutkan sampaiimunisasi dasar terhadap tetanus selesai.1,5
Cakradonya Dent J; 10(1): 86-95
93 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Obat–obat anti konvulsan digunakanuntuk merelaksasi otot dan mengurangikepekaan jaringan saraf terhadap rangsangan.Diazepam dilaporkan memiliki efektivitasyang baik dengan efek depresi nafas yanglebih rendah dibanding golongan barbiturat.Diazepam juga memiliki efek anti konvulsandan muscle relaction, sedatif dan anxiolytic.Efek maksimal dalam darah dicapai dalam 30-90 menit.2,3 Dosis diazepam pada saat dimulaipengobatan (setelah kejang terkontrol) adalah20 mg/kgbb/hari, dibagi dalam 8 kalipemberian tiap 3 jam. Bila kejang terusberlangsung dapat diberikan diazepamsamapai dosis maksimal 40mg/kgbb/hari (600mg/hari).7,,25,26,27,28
Bila dosis optimum telah didapat, makaskedul pasti telah dapat dibuat, dan inidipertahan selama 2-3 hari, dan bila dalamevaluasi berikutnya tidak dijumpai adanyakejang, maka dosis diazepam dapat diturunkansecara bertahap, yaitu 10-15 % dari dosisoptimum tersebut. Penurunan dosis diazepamtidak boleh secara drastis, oleh karena bilaterjadi kejang, sangat sukar untuk diatasi dankenaikan dosis ke dosis semula yang efektifbelum tentu dapat mengontrol kejang yangterjadi. Bila dengan penurunan bertahapdijumpai kejang, dosis harus segeradinaikkan kembali ke dosis semula.Sedangkan bila tidak terjadi kejangdipertahankan selama 2-3 hari dandirurunkan lagi secara bertahap, hal inidilakukan untuk selanjutnya. Bila dalampenggunaan diazepam, kejang masih terjadi,sedang dosis maksimal telah tercapai, makapenggabungan dengan anti kejang lainnyaharus dilakukan.7,8,9, 25,29
Dosis yang danjurkan yaitu; Spasmeringan: 5-10mg p.o setiap 8 jam bila perlu;Spasme sedang : 5-10 mg i.v tidak melebihi120mg dalam 24 jam, atau dalam bentuk drip;Spasme berat 50-100mg dalam 500 ml Dektros5% dan diinfuskan dengan kecepatan 10-15mg/jam dalam 24 jam. 1,2, 26
Klinis membaik bila tidak dijumpaispasme spontan, badan masih kaku, kesadaranmembaik (tidak koma), tidak dijumpaigangguan pernapasan. Tambahan efek sedasibisa didapat dari barbiturate khususnyaphenobarbital dan phenotiazine sepertichlorpromazine, penggunaannya dapat
menguntungkan pasien dengan gangguanotonom.1,3
Phenobarbital diberikan dengan dosis120-200 mg intravena, dan diazepam dapatditambahkan terpisah dengan dosis sampai 120mg/hari. Chlorpromazine diberikan setiap 4-8jam dengan dosis dari 4-12 mg bagi bayisampai 50-150 mg bagi dewasa.5,10 Morphinebisa memiliki efek sama dan biasanyadigunakan sebagai tambahan sedasibenzodiazepine. Jika spasme tidak cukupterkontrol dengan benzodiazepine, dapatdipilih pelumpuh otot nondepolarisasi denganintermittent positive-pressure ventilation(IPPV). Tidak ada data perbandingan obat-obat pelumpuh otot pada tetanus, rekomendasididapatkan dari laporan kasus. Pancuroniumharus dihindari karena efek sampingsimpatomimetik.1
Thwaites menganjurkan penggunaanantibiotik metronidazol 500 mg per oral atauintravena selama setiap 6 jam selama 7-10hari. Ahmadsyah dan Salim meneliti secaraOpen Randomized Controlled trial (RCT)bahwa metronidazol lebih unggul dibandingpenicilin.1,2 Penisilin Prokain digunakan untukmembasmi bentuk vegetatif Clostridiumtetani. Diberikan dosis: 100.000-200.000u/kg.bb/hari i.m selama 10 hari atau 3 harisetelah panas turun atau tanda-tanda infeksilikal tertangani. Dosis optimal 2 mega unit i.vsetiap 6 jam selama 8 hari. 1,3,14 Tetrasiklin danEritromisin, diberikan terutama bila penderitaalergi terhadap penisilin. Tetrasiklin : 30–50mg/kg.bb/hari dalam 4 dosis.Eritromisin : 50mg/kg.bb/hari dalam 4 dosis selama 10 hari. 2,5
Untuk penatalakasanaan sumber Infeksiberupa karies gigi akan dilakukan di Poli Gigidan Mulut setelah keadaan umum pasienmengalami perbaikan. Pada saat pulang pasienjuga direncanakan untuk pemberian imunisasipasif di puskesmas setempat.
SIMPULANTetanus adalah suatu toksemia akut yang
disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkanoleh Clostridium tetani ditandai denganspasme otot yang periodik dan berat. Tetanusini biasanya akut dan menimbulkan paralitikspastik yang disebabkan tetanospasmin.Penegakan diagnosa tetanus didasarkan padaklinis dan riwayat infeksi sebagai port d entry.
Cakradonya Dent J; 10(1): 86-95
94 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Penatalaksanaan yang tepat dan cepatsangat menentukan prognosa pasien. Prognosatetanus didasarkan pada onset, masa inkubasi,umur, penatalaksanaan, adanya kejang dandemam. Tatalaksana infeksi sebagai port dentry penting dilakukan pada pasien untukmencegah berkembangnya toksin. Edukasiterhadap pasien mengenai sumber infeksi danimmunisasi tetanus penting dilakukan gunamencegah berulangnya tetanus.
DAFTAR PUSTAKA1. Adam RD, Victor M. Tetanus in
Principles Of Neurology . 7th Edition .Mc Graw-Hill international edition.Singapore. 2001 : 1030-1031
2. Dian Sofiati . Tetanus dalam : InfeksiSistem Saraf (kelompok Studi NeuroInfeksi) . PERSOSSI. 2011
3. Thwaites CL Tetanus. CurrentAnaesthesia and Critical Care. 2005:50-57
4. Farrar JJ, Yen LM, Cook T,Faierweather N, Bihn N, Parry J, et al.Neurological Aspects of TropicalDisease: Tetanus. JNNP. 2010; 69 ; 292-3001
5. Thwaites CL, Farrar JJ. Preventing andtreating tetanus : The challengecontinues in the face of neglect and lackof research. BMJ : British MedicalJournal. 2003;326(7381): 117-118.
6. Sidhartha, Peter JV, Subhash HS,Cherian M, Jeyaseelan L, Cherian AM.A proposed new scoring system fortetanus. Indian J Crit Med . 2004 ; 8(3) :168-72
7. WHO. Current recommendations fortreatment of tetanus during humanitarianemergencies. WHO Tech Note.[Internet]. 2010. Available at:http://www.whqlibdoc.who.int/hq/2010/WHO_HSE_GAR_DCE_2010.2_eng.pdf.
8. Hassel Bjørnar . Tetanus:Pathophysiology, Treatment, and thePossibility of Using Botulinum Toxinagainst Tetanus-Induced Rigidity andSpasms. Toxins .2013
9. Feigen. R.D : Tetanus .In : BchrmlanR.E, Vaughan V C , Nelson W.E , eds.Nelson Textbook of pediatrics, ed. 13
th, Philadelphia, W.B SaundersCompany, 1987, 617-620.
10. Gilroy, John MD, et al :Tetanus in :Basic Neurology, ed.1.982, 229-230
11. Scheld, Michael W. Infection of thecentral nervous system, Raven PressLtd, New York, 2001, 603-620.
12. Srikiatkhachord Anaan, dkk ; Tetanus ,Arbor Publishing Coorp.Neurobase,2003, 1- 13.
13. Samuels, AM. Tetanus, Manual ofNeurologic Therapeutic ed.2nd, LittleBrown and Company, Boston,2008:387-90.
14. Ogunrin AO, Unuigbe EI, AzubuikeCO. Characteristics of tetanus casesseen over a tenyear period in a tertiaryhealth facility in Benin City, Nigeria.Ann Biomed Sci. 2006; 5(1&2):44-51.
15. Ogunrin OA, Unuigbe EI.Tetanus: AReview of Current ConseptManagement. Jour of Postgrad Med.2004; 34(4): 46-61
16. Scaletta, T A. Schaider, JJ. Infectionprophylaxjs, Emergent Management ofTrauma,1 th ed, McGrawhill, Toronto,2006, 437-438.
17. Simon, Roger.P.MD, et. all : Tetanus in:Clinical Neurology, ed 2009,Appletonand Lange,USA, 141-142.
18. Bleck, T.P. Clostridium tetani (Tetanus).In Principles and Practice of InfectiousDiseases, 6th ed.; Mandell, G.L.,Bennett, J.E.,Dolin, R., Eds.; Elsevier:Amsterdam, The Netherlands,2005; pp.2817–2822.
19. Blencowe, H.; Lawn, J.; Vandelaer, J.;Roper, M.; Cousens, S. Tetanus toxoidimmunization to reduce mortality fromneonatal tetanus. Int. J. Epidemiol.2010, 39, i102–i109.
20. Meyer, H.; Ransom, F. Researches ontetanus—Preliminary communication.Proc. Royal Soc.Lond. 1903, 72, 26–30.
21. Fishman, P.S.; Carrigan, D.R.Motoneuron uptake from the circulationof the binding fragment of tetanus toxin.Arch. Neurol. 1988, 45, 558–561.
22. Blum, F.C.; Chen, C.; Kroken, A.R.;Barbieri, J.T. Tetanus toxin andbotulinum toxin A utilizeunique
Cakradonya Dent J; 10(1): 86-95
95 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
23. mechanisms to enter neurons of thecentral nervous system. Infect. Immun.2012, 80,1662–1669.
24. Schiavo, G.; Matteoli, M.; Montecucco,C. Neurotoxins affectingneuroexocytosis. Physiol. Rev.2000, 80,717–766.
25. Mayo, J.; Berciano, J. Cephalic tetanuspresenting with Bell’s palsy. J. Neurol.Neurosurg.Psychiatry 1985, 48, 290.
26. Herrman, H.; Brækhus, A.; Aaserud, O.;Aukrust, P.; Stubhaug, A.; Hassel, B.Early treatment of tetanus-inducedtrismus with botulinum toxin A. Anesth.Analg. 2008, 106, 1591.
27. Schwab, M.E.; Thoenen, H. Electronmicroscopic evidence for a transsynapticmigration of tetanus toxin in spinal cordmotoneurons: An autoradiographic andmorphometric study. Brain Res. 1976,105, 213–227.
28. González-Forero, D.; Morcuende, S.;Alvarez, F.J.; de la Cruz, R.R.; Pastor,A.M. Transynapticeffects of tetanusneurotoxin in the oculomotor system.Brain 2005, 128, 2175–2188.
29. Bergey, G.K.; Bigalke, H.; Nelson, P.G.Differential effects of tetanus toxin oninhibitory and excitatory synaptictransmission in mammalian spinal cordneurons in culture: A presynapticlocusof action for tetanus toxin. J.Neurophysiol. 1987, 57, 121–131.
30. Gonzalez-Forero, D.; de la Cruz, R.R.;Delgado-Garcia, J.M.; Alvarez, F.J.;Pastor, A.M.Functional alterations of catabducens neurons after peripheraltetanus neurotoxin injection.J.Neurophysiol. 2003, 89, 1878–1890.
Cakradonya Dent J; 10(2): 96-101
96 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
GAMBARAN SCANNING ELECTRON MICROSCOPE (SEM)
MIKROSTRUKTUR PERMUKAAN RESIN KOMPOSIT NANOFILER
SETELAH PERENDAMAN DALAM KOPI ARABIKA GAYO
GAMBARAN SCANNING ELECTRON MICROSCOPE (SEM)
MIKROSTRUKTUR PERMUKAAN RESIN KOMPOSIT NANOFILER
SETELAH PERENDAMAN DALAM KOPI ARABIKA GAYO
Viona Diansari, Iin Sundari, Noniza Deswitri
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala Correspondence email to: vionafkg@gmail.com
Abstrak
Resin komposit nanofiler merupakan restorasi estetik di bidang kedokteran gigi dengan kelemahan
dapat menyerap cairan di sekitar permukaannya. Kopi arabika gayo merupakan salah satu kopi
arabika unggulan di Aceh. Minuman kopi memiliki pH rendah (asam) yang dapat menyebabkan
degradasi ikatan polimer dan partikel filer. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat perubahan
mikrostruktur permukaan resin komposit nanofiler sebelum dan setelah perendaman dalam kopi
arabika gayo selama 4 dan 6 hari. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental laboratoris
dengan rancangan pretest + posttest design group. Terdapat 4 spesimen resin komposit nanofiler yang
berbentuk silinder dengan tebal 2 mm dan diameter 6 mm, dan dibagi dalam 2 kelompok yakni
kelompok A berjumlah 2 spesimen (A1&A2) yang direndam dalam minuman kopi arabika gayo
selama 4 hari dan kelompok B berjumlah 2 spesimen (B1&B2) direndam dalam kopi arabika gayo
selama 6 hari. Mikrostruktur specimen diamati perubahannya dengan menggunakan scanning
electron mcroscope (SEM) dengan perbesaran 3000x. Hasinya, terlihat area yang berwarna
gelap/porus pada gambaran SEM. Setelah dianalisis dengan paired t-test dan unpaired t-test (p<0,05)
terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok A dan kelompok B. Kesimpulan: Semakin lama
perendaman yang dilakukan semakin jelas terlihat perubahan yang terjadi.
Kata Kunci: komposit nanofiler, kopi arabika gayo, SEM
Abstract
Nanofilled composite resin is a kind of aesthetic restoration in dentistry which has a disadvantage can
absorb liquid around. Arabika gayo coffee is one of superior arabica coffee in Aceh. Coffee is an
acidic beverage (low pH) that cause degradation of polymer chain and filler particle. The aim of this
study was to view microstructural changes of nanofilled composite resin surface after immersion in
arabica gayo coffee for 4 and 6 days. This study was an experimental laboratory with Pretest+posttest
group design. There were 4 cylindrical specimens of nanofilled composite resin 2mm thickness and 6
mm in diameter, divided into 2 groups: A group A (A1&A2) was immersed in arabica gayo coffee
for 4 days and B group (B1&B2) was immersed in arabica gayo coffee for 6 days. The
microstructures of specimen were observed through scanning electron microscope (SEM) with 3000x
magnification followed by observing the number of porosity which was analyzed by paired dan
unpaired t-test (p<0,05). The results showed significant difference of the porousity number after
mm n o o w n 4 - 6 days. Conclusion: The longer the immersion is done the
more clearly visible changes occur. Keyword: nanofilled, arabica gayo coffee, SEM
Cakradonya Dent J; 10(2): 96-101
97 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
PENDAHULUAN Bahan restorasi yang saat ini banyak
digunakan dalam bidang kedokteran gigi
adalah resin komposit. Resin komposit
mempunyai banyak kelebihan dibandingkan
dengan bahan restorasi lainnya di antaranya
estetiknya lebih baik, lebih kuat, lebih keras,
penyerapan air dan penyusutannya kecil, tidak
mudah mengalami abrasi, serta mudah
dimanipulasi.1,2
Resin komposit terdiri dari
empat komponen utama, yaitu matriks resin,
filer anorganik, coupling agent dan sistem
inisiator-akselerator.3
Berdasarkan ukuran filernya resin
komposit diklasifikasikan menjadi makrofiler,
mikrofiler, hybrid dan nanofiler. Resin
komposit nanofiler merupakan perkembangan
baru di bidang kedokteran gigi. Nanofiler
memiliki partikel filer berukuran kecil dengan
ukuran partikel berkisar 0,1-100 nm yang
mengkombinasikan silika nanofiler yang
ukuran partikel utamanya adalah 20-75 nm
dengan nanocluster zirconia-silica yang
diameternya 0,6-1,4μm. P k l n
komposit nanofiler membentuk 59,5% volume
dan ini mirip dengan resin komposit hybrid
yang diindikasikan untuk restorasi gigi
posterior dengan tekanan pengunyahan yang
besar.1
Resin komposit nanofiler memiliki
keunggulan dibandingkan dengan jenis
komposit sebelumnya, berkat ukuran filernya
yang semakin kecil dan distribusinya yang
luas, sehingga derajat penyusutannya rendah
dan dapat meningkatkan sifat mekanisnya.4
Meskipun resin komposit nanofiler memiliki
keunggulan dengan ukuran filernya yang lebih
kecil namun tetap memiliki kelemahan karena
menyerap cairan di sekitarnya. Berdasarkan
penelitian Berger dkk. (2009)5 yang
mengamati kemampuan penyerapan cairan
oleh resin komposit, dengan membandingkan
masing-masing ukuran filer, Berger
menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan
yang bermakna antara resin komposit
nanofiler, hybrid dan microfiler dalam
kemampuan menyerap cairan di sekitarnya.
Beberapa penelitian yang telah
dilakukan pada resin komposit
mengungkapkan adanya perubahan struktur
dan fisik komposit akibat sifatnya yang
mampu menyerap cairan. Proses penyerapan
yang terjadi dipengaruhi oleh sifat hidrofilik
dari resin komposit.4 Sifat hidrofilik ini yang
memungkinkan resin komposit menyerap
cairan jika terjadi kontak secara langsung.
Cairan yang terserap melalui proses ini akan
mengisi ruang-ruang di antara matriks
sehingga menyebabkan perubahan struktur
resin yang diikuti perubahan fisiknya.
Penelitian terdahulu membuktikan terjadinya
perubahan struktur dan perubahan fisik akibat
kopi, teh, anggur merah, jus anggur dan
minyak sayur.6
Kopi merupakan minuman umum
masyarakat Indonesia. Kebiasaan minum kopi
di kalangan masyarakat Indonesia masih
tinggi. Berdasarkan data yang dihimpun oleh
Asosiasi Eksportir & Industri Kopi Indonesia
(AEKI) dewasa ini, tingkat kebutuhan kopi
masyarakat Indonesia meningkat hingga
mencapai 300.000.000 kg per tahun. Lebih
dari 4 trilliun cangkir kopi dikonsumsi setiap
tahunnya.7 Kopi arabika gayo (arabica gayo
coffee) merupakan salah satu jenis kopi
arabika unggulan yang ada di Aceh dan
merupakan salah satu di antara komoditi
ekspor unggulan Indonesia yang telah dikenal
di pasar domestik dan internasional.8 Kopi
merupakan minuman antioksidan; asam
klorogenat merupakan antioksidan dominan
yang ada dalam biji kopi. Antioksidan
tersebut berupa ester yang terbentuk dari asam
trans-sinamat dan asam quinat. Asam
klorogenat merupakan senyawa penting yang
memengaruhi pembentukan rasa, bau, dan
flavor saat pemanggangan kopi.9
Menurut penelitian Petracco (2005)10
kandungan asam klorogenat (C16H8O9) pada
kopi arabika adalah sebanyak 5,5-8,0%. Asam
klorogenat dapat menyebabkan degradasi
ikatan polimer sehingga beberapa monomer
dari resin komposit melepaskan diri. Selama
penyangraian kopi, asam klorogenat
terdekomposisi menjadi senyawa volatil dan di
dalam senyawa volatil terdapat senyawa fenol.
Resin komposit apabila berkontak dengan
fenol akan menunjukkan peningkatan berat
karena menyerap air dan mengalami kerusakan
kimiawi pada permukaannya.4
Penelitian De
Gouvea dkk (2011)11
kopi menunjukkan
adanya perubahan permukaan resin komposit
setelah direndam dalam kopi. Kopi
menyebabkan perubahan warna yang
signifikan dan juga dapat meningkatkan.
kekasaran permukaan suatu material karena
Cakradonya Dent J; 10(2): 96-101
98 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
kopi memiliki pH asam sekitar 5,01. Minuman
dengan pH rendah (3-6) dapat menyebabkan
kerusakan permukaan resin.4
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan diketahui bahwa komposit akan
mengalami perubahan struktur dan fisik
apabila direndam dalam larutan kopi secara
terus menerus. Semakin lama perendaman
yang dilakukan maka semakin dapat terlihat
perubahan struktur dan fisik yang terjadi.6
Penelitian Rini (2015)12
menunjukkan
terjadinya peningkatan kekasaran permukaan
resin komposit nanofiler setelah direndam
dalam seduhan kopi arabika gayo selama 4
hari dengan asumsi konsumsi kopi selama satu
tahun. Penelitian Chumairo dkk (2014)4 juga
menunjukkan adanya efek perubahan
kekasaran permukaan yang terjadi setelah
perendaman resin komposit nanofiler dalam
seduhan kopi selama 1,3,5 dan 7 hari.
Perubahan kekasaran permukaan resin
komposit diawali dengan perubahan struktur
permukaannya. Gambaran perubahan
mikrostruktur resin komposit dapat dilihat
dengan menggunakan scanning electron
microscope (SEM). Scanning electron
microscope merupakan jenis mikroskop
elektron yang dapat menampilkan gambaran
permukaan dan rincian suatu spesimen dengan
resolusi yang tinggi.1
Berdasarkan uraian di atas maka
dilakukan penelitian ini yang bertujuan untuk
melihat gambaran mikrostruktur permukaan
resin komposit nanofiler setelah perendaman
dalam kopi arabika gayo selama 4 dan 6 hari
dengan menggunakan scanning electron
microscope.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan metode
eksperimental laboratoris dengan rancangan
pretest dan posttest design group. Dilakukan
pembuatan 4 spesimen resin komposit
nanofiler dengan teknik bulk berbentuk
silinder (tebal 2 mm dan diameter 6 mm),
dibagi dalam 2 kelompok yakni kelompok A
berjumlah 2 spesimen (A1 & A2)yang
direndam dalam minuman kopi arabika gayo
selama 4 hari, dan kelompok B berjumlah 2
spesimen (B1 dan B2) direndam dalam kopi
arabika gayo selama 6 hari. Sebelum
direndam dalam minuman kopi arabika gayo.
Specimen dikondisikan dalam aquades selama
24 jam, dengan tujuan penyesuaian spesimen
seperti di dalam rongga mulut. Setelah itu
amati mikrostruktur permukaan spesimen
sebelum dan setelah perendaman dalam larutan
kopi arabika gayo merk Kiswah Gayo. Kopi
tersebut memiliki pH 5,03 dan suhu 55°C.
Penelitian dilakukan di laboratorium Rekayasa
Material Teknik Mesin Universitas Syiah
Kuala menggunakan alat scanning electron
microscope TM 3000 dengan perbesaran
3000x. Setelah diperoleh data hasil
pengamatan, data dianalisis dengan analisa
kualitatif dan kuantitatif (paired t-test untuk
melihat perubahan yang terjadi sebelum dan
setelah perendaman spesimen dan unpaired t-
test untuk melihat perbedaan gambaran
mikrostruktur yang terjadi pada spesimen yang
direndam selama 4 dan 6 hari.
HASIL
Berdasarkan hasil pengamatan SEM
sebelum (pengkondisian aquades selama 24
jam) dan setelah perendaman dalam kopi
arabika gayo (spesimen A1dan A2 (selama 4
hari) serta spesimen B1 dan B2 (selama 6 hari)
terdapat perubahan mikrostruktur pada
spesimen-spesimen tersebut. Perubahan
mikrostruktur yang terjadi berupa porus atau
rongga berwarna gelap pada permukaan
spesimen.
Tabel 1 dan 2 memperlihatkan hasil
penelitian dan analisis data dengan
menggunakan paired t-test pada kedua
kelompok spesimen. Sebelum data dianalisis,
terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data
dengan menggunakan Kolmogorov Smirnov
dan Shapiro-Wilk, dan hasilnya menunjukkan
bahwa data berdistribusi normal (p>0,05).
Tabel 1. Analisis jumlah porus pada mikrostruktur
permukaan resin komposit nanofiler sebelum dan
setelah perendaman dalam kopi gayo selama 4 hari
Spesimen Area Sebelum Setelah P
A1
1
2
3
4
3
0
11
7
5
A2
1
2
3
2
0
2
5
8
8
Rata-rata ( x ±SD) 1,8±1,6 7,3±2,2 0,001*
*perbedaan bermakna (paired t-test, p<0,05)
Cakradonya Dent J; 10(2): 96-101
99 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Tabel 2. Analisis jumlah porus pada mikrostruktur
permukaan resin komposit nanofiler sebelum dan
setelah perendaman dalam kopi gayo selama 6 hari
Spesimen Area Sebelum Setelah p
B1
1
2
3
4
4
0
12
9
11
B2
1
2
3
1
1
3
10
9
15
Rata-rata( x ± SD) 2,1±1,7 11±2,2 0,000*
*perbedaan bermakna (paired t-test, p<0,05)
Berdasarkan hasil analisis data terlihat
adanya perbedaan yang bermakna pada kedua
kelompok spesimen. Pada spesimen sebelum
dan setelah perendaman dalam minuman kopi
arabika gayo selama 4 hari, diperoleh nilai
kemaknaan (p)=0,001 dan pada spesimen
sebelum dan setelah perendaman dalam
minuman kopi arabika gayo selama 6 hari,
diperoleh nilai kemaknaan (p)=0,000. Karena
nilai p<0,05 maka kedua kelompok spesimen
menunjukkan adanya perbedaan yang
bermakna sebelum dan setelah perendaman
dalam minuman kopi arabika gayo selama 4
dan 6 hari.
Tabel 3. Analisis statistik perbedaan jumlah porus
setelah perendaman dalam kopi arabika gayo
selama 4 dan 6 hari
Spesimen Jumlah Porus
( x ±SD) p
A1 dan A2
B1 dan B2
5,5±1,8
9,8±3,1
0,017*
*perbedaan bermakna (unpaired t-test, p<0,05)
Pada Tabel 3 terlihat rata-rata
peningkatan jumlah porus setelah perendaman
dalam kopi arabika gayo selama 4 dan 6 hari.
Pada spesimen A1 dan A2 yang direndam 4
hari ditemukan rata-rata peningkatan jumlah
porus sebanyak 5,5, sedangkan pada spesimen
B1 dan B2 yang direndam selama 6 hari
ditemukan peningkatan rata-rata jumlah porus
sebanyak 9,8. Dari data tersebut dapat
diketahui bahwa jumlah porus lebih banyak
ditemukan pada spesimen yang direndam
selama 6 hari dibandingkan dengan spesimen
yang direndam selama 4 hari. Berdasarkan
hasil analisis data pada Tabel 3 menggunakan
unpairedt-test menunjukkan adanya perbedaan
yang bermakna pada spesimen yang direndam
dalam minuman kopi arabika gayo selama 4
hari dan pada spesimen yang direndam dalam
minuman kopi arabika gayo selama 6 hari,
dengan nilai p=0,017.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengamatan SEM
sebelum perendaman dalam kopi arabika gayo
terlihat adanya perubahan mikrostruktur pada
beberapa permukaan spesimen. Adanya
perubahan mikrostruktur sebelum perendaman
kopi arabika gayo diduga karena lemahnya
ikatan antara matriks dan filer saat
polimerisasi. Umumnya kegagalan
polimerisasi pada resin komposit light cured
disebabkan karena teknik penyinarannya,
misalnya posisi dan arah sinar, ketebalan
bahan restorasi, durasi dan jarak penyinaran,
serta intensitas cahaya yang kurang. Intensitas
cahaya yang tidak tepat mengakibatkan
polimerisasi yang tidak sempurna.Menurut
Fitriyani dkk (2007)13
sumber cahaya LED
untuk mempolimerisasi resin komposit
nanofiler yang tepat adalah dengan intensitas
cahaya 800 mW/cm2 dan lama penyinaran 20
detik. Menurut spesifikasi pabrik, penyinaran
optimal light curing composite adalah antara
800-1200 mW/cm2. Dalam penelitian ini
diketahui resin komposit dipolimerisasi
dengan intensitas cahaya 375 mW/cm2 (<800
mW/cm2), sehingga resin komposit
terpolimerisasi namun tidak maksimal.
Pada Tabel 1 dan 2 terlihat bahwa tidak
semua area pada spesimen yang diamati
terdapat porus walaupun berasal dari spesimen
yang sama. Ada dan tidak adanya porus diduga
karena polimerisasi yang tidak sempurna pada
beberapa area spesimen. Selain karena
lemahnya ikatan matriks dan filer saat
polimerisasi, degradasi pada permukaan
spesimen juga didukung oleh sifat resin
komposit yang mampu menyerap cairan.
Penyerapan air telah diidentifikasi sebagai
faktor utama dalam terjadinya degradasi fisik
maupun kimia dari bahan komposit dan dapat
menurunkan kualitas resin komposit.14
Pada gambaran mikrostruktur dari penelitian
ini, terlihat beberapa porus sudah mulai
terbentuk saat pengkondisian dalam aquades,
dan bertambah banyak pada
Cakradonya Dent J; 10(2): 96-101
100 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
perendaman dalam kopi arabika gayo merk
Kiswah Gayo dengan rata-rata pH 5,03. Pada
hasil analisis data dengan menggunakan paired
t-test juga menunjukkan adanya perubahan
yang bermakna pada spesimen sebelum dan
setelah perendaman dalam minuman kopi
arabika gayo. Bertambah banyaknya jumlah
porus pada perendaman dalam kopi arabika
gayo diduga karena adanya kandungan asam
yang terkandung di dalam kopi. Salah satu
unsur kimia yang terdapat dalam kopi adalah
asam klorogenat yang merupakan senyawa
polifenol dengan kelebihan ion H+. Kelebihan
ion H+ menyebabkan ikatan kimia dari rantai
ganda polimer matriks resin komposit
nanofiler menjadi tidak stabil, karena terjadi
ikatan secara crosslink dengan ion H+ tersebut,
sehingga ikatan ganda polimer matriks
terputus yang disertai dengan pelepasan
partikel filer.15
Adanya pelepasan partikel filer ini akan
menyebabkan ruang-ruang kosong di antara
matriks polimer bertambah banyak sehingga
memudahkan terjadinya proses difusi cairan
dari luar menuju ke dalam resin komposit.4
Penelitian yang dilakukan oleh Han, Okamoto,
Fukushima, dan Okiji (2008)16
membuktikan
bahwa filer dapat terlepas dari material resin
dan komponen matriks mengalami
dekomposisi ketika terpapar dengan
lingkungan yang memiliki pH asam (3-6).
Menurut Daibs et al (2012)17
mikroporus pada
permukaan spesimen akan semakin meningkat
berdasarkan frekuensi dan durasi paparan
asam. Hal ini dibuktikan pada penelitian ini
dengan bertambahnya jumlah porus pada
permukaan spesimen setelah perendaman
dalam kopi arabika gayo selama 4 dan 6 hari,
dimana jumlah porus lebih banyak didapatkan
pada resin komposit yang direndam dalam
kopi arabika gayo selama 6 hari dibandingkan
dengan perendaman selama 4 hari (Tabel 3).
Hasil analisis data menggunakan unpairedt-
test juga menunjukkan adanya perbedaan yang
bermakna pada kedua kelompok spesimen
yang direndam dalam minuman kopi arabika
gayo selama 4 hari dan selama 6 hari.
Pada hasil penelitian ini tidak ditemukan
adanya crack pada mikrostruktur permukaan
resin komposit nanofiler. Hal ini diduga karena
resin komposit nanofiler memiliki nilai
fracture toughness tinggi, hal ini didukung
oleh hasil penelitian Hamouda (2012)18
yang
menyatakan bahwa nilai fracture toughness
pada resin komposit nanofiler lebih tinggi
dibandingkan dengan komposit hibrid
konvensional. Fracture toughness yaitu
ketahanan resin komposit terhadap terjadinya
crack pada permukaan resin komposit.18
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
pada spesimen resin komposit nanofiler yang
direndam dalam kopi arabika gayo selama 4
dan 6 hari dapat diambil kesimpulan bahwa
minuman kopi arabika Gayo dapat
menyebabkan terjadinya perubahan
mikrostruktur pada permukaan resin komposit
nanofiler, yaitu semakin lama perendaman
resin komposit nanofiler dalam kopi arabika
gayo maka semakin besar perubahan yang
terjadi pada gambaran mikrostrukturnya.
Terdapat perbedaan jumlah porus yang
bermakna pada gambaran mikrostruktur resin
komposit antara perendaman dalam kopi
arabika gayo selama 4 dan 6 hari.
Disarankan elakukan uji fitokimia pada
kopi arabika gayo guna mengetahui
kandungannya. Penelitian dengan light cure
unit dengan intensitas yang cukup (800-1200
mW/cm2). Serta perlunya penelitian mengenai
pengujian dengan atomic force microscopy
(AFM) guna melihat gambaran mikroskopik
tiga dimensi dari permukaan resin komposit.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hamouda I, Elkader HA, Badawi MF.
Microleakage of Nanofilled Composite Resin
Restorative Material. J Biomater
Nanobiotechnol. 2011;02(03):329-334.
2. Genda DR, Leman MA. Pengaruh Jus Pepaya
(Carica papaya) terhadap Perubahan Warna
Resin Komposit. J Ilm Farm. 2016;5(1):15-19.
3. Putriyanti F, Herda E, Soufyan A. strength
micro fine hybrid resin composite yang
direndam dalam minuman isotonik J PDGI.
2012;61(1):43-48.
4. Chumairo SM, R DMC, Nugroho R, et al.
Pengaruh Kebiasaan Minum Kopi Robusta
(Coffea robusta) terhadap Perubahan Warna
pada Restorasi Resin Resin Komposit
Nanofiler (The Effect of Robusta Coffee
(Coffea robusta) Drinking Habits on Nanofiler
Composite Resin Discoloration). Artik Ilm Has
Penelit Mhs. 2014:0-4.
5. Berger SB, Palialol ARM, Cavalli V, Giannini
Cakradonya Dent J; 10(2): 96-101
101 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
M. Characterization of water sorption,
solubility and filer particles of light-cured
composite resins. Braz Dent J.
2009;20(4):314-318.
6. Aprilia, Rochyani L, Rahardiarto E. Pengaruh
Minuman Kopi terhadap Perubahan Warna
pada Resin Komposit. Indon J Dent.
2007;14(3):164-170.
7. Wahyudian, Surmawan U H. Analisis Faktor-
faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Kopi
dan Analisis Pemetaan Beberapa Merek Kopi
dan Implikasinya pada Pemasaran Kopi. J
Manaj Agribisnis. 2004;1(1):55-68.
8. Karim A, Basri H. Analysis of Geographical
Indication of Gayo Coffee Based on Spatial
Planning of Districts. J Agrista.
2012;16(2):46-61.
9. Kristiyanto, D., B. D. H. Pranoto dan A.
Penurunan Kadar Kafein Kopi Arabika dengan
Proses Fermentasi Menggunakan Nopkor Mz-
15. J Teknol Kim dan Ind. 2013;2(4):170-176.
10. P o M. Ou Ev Cup o Co :
The Chemistry behind Its Magic. J Chem
Educ. 2005;82(8):1161-1167.
11. De Gouvea C V, Bedran LM, de Faria MA,
Cunha-Ferreira N. Surface Roughness and
Translucency of Resin Composites after
Immersion in Coffee and Soft Drink. Acta
Odontol Latinoam. 2011;24(1):3-7.
12. Rini C. Pengaruh Perendaman dalam Kopi
Arabika Gayo terhadap Kekasaran
Permukaan Resin Komposit Nanofiler.
In:2015:30. Skirpsi
13. Sri Fitriyani, Ellyza Herda A Haryono.
Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap Derajat
Konversi Komposit Partikel Nano.
2007:14(2) 146-152.
14. JJ M. Basic Dental Material. N w D lh :
Jaypee Brother Medical Publisher; 2003:146.
15. Nurmalasari A. Roughness Differences In
Surface Of Nano Composite Resin in Black
Tea and Coffee Immersion. J Wiyata.
2015;2(1):1-6.
16. Han L, Okamoto A, Fukushima M, Okiji T.
Evaluation of Flowable Resin Composite
Surfaces Eroded by Acidic and Alcoholic
Drinks. Dent Mater J. 2008;27(3):455-465.
17. Daibs BDP, da Silva JMF, da Rocha DM,
Fernandes Junior VVB, Rodrigues JR.
Microstructural Analysis of Restorative
Materials Submitted to Acid Exposure. Braz
Dent Sci. 2012;15(1):19-26.
doi:10.14295/bds.2012.v15i1.710.
18. Hamouda IM, Elkader HA. Evaluation the
Mechanical Properties of Nanofilled
Composite Resin Restorative Material.
Journal of Biomaterials and
Nanobiotechnology. 2012;3:238-242.
Cakradonya Dent J; 10(2): 102-106
102 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
GAMBARAN TINGKAT KEPUASAN ESTETIK DAN FONETIK
PADA PEMAKAI GIGI TIRUAN LENGKAP
DI FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS TRISAKTI
THE OVERVIEW OF THE ESTHETICS AND PHONETIC
SATISFACTION RATE OF COMPLETE DENTURE PATIENTS AT
FACULTY OF DENTISTRY TRISAKTI UNIVERSITY
Niko Falatehan, Eddy Kusumah
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti
Correspondence email to: niko.prosto@gmail.com
ABSTRAK
Kehilangan seluruh gigi merupakan masalah kesehatan yang diderita oleh kebanyakan lansia. Jika
masalah ini tidak diperbaiki akan mengganggu kecantikan (estetik) dan gangguan bicara (fonetik)
pada pasien lansia. Untuk mengatasi masalah ini pasien dibuatkan gigi tiruan lengkap (GTL). Pasien
lansia memiliki beragam tingkat kepuasan tergantung dari hasil pelayanan yang diberikan dan GTL
yang dibuatkan. Penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien dalam menggunakan
gigi tiruan lengkap dari segi estetik dan fonetik. Penelitian ini adalah penelitian non eksperimental
yang bersifat observasional deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan tekhnik pembagian
kuisioner kepada pasien lansia pengguna gigi tiruan lengkap yang berada di Rumah Sakit Gigi Mulut
(RSGM) Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Usakti Jakarta Barat yang berusia 60 tahun keatas
sebanyak 30 orang. Berdasarkan hasil analisis program SPSS menggunakan windows versi 22.0
menunjukkan bahwa pengguna gigi tiruan lengkap terhadap faktor estetik memiliki tingkat kepuasan
67% dan tidak puas 33%. Demikian juga faktor fonetik memiliki tingkat kepuasan sebesar 74% dan
tidak puas 26%. Berdasarkan data yang diperoleh penggunaan gigi tiruan lengkap lebih banyak pada
pasien perempuan yang berusia 60-74 tahun. Tingkat kepuasaan estetik penggunaan gigi tiruan
lengkap di RSGM FKG Usakti wanita lebih rendah dibandingkan pria.
Kata Kunci: Gigi tiruan lengkap, estetik, fonetik
ABSTRACT
Tooth loss entirely is one of the health problems that elderly people suffer from.This problem affect to
esthetics and phonetic functions for the elderly people. The endentulous state can be solved by using a
complete denture. Elderly patients have various degrees of satisfaction which depend on the provided
services and final result of the complete denture. The objective of this study was to determine the
degrees of patient’s satisfaction in terms of esthetics and phonetics while using complete dentures.
This was a non-experimental descriptive observational study. The collection of data was conducted by
using questionnaires that were given to 30 elderly patients (60 years old or above) of complete
dentures in Dental Hospital Trisakti, West Jakarta. Analysis test using SPSS program for windows
version 22.0 showed the satisfaction on esthetic factors by 67% and 33% dissatisfaction. To add,
phonetic factor have satisfaction rates of 74% and 26% on dissatisfaction rate. The female patients of
complete denture were mostly in the age of 60-74 years old. The level of esthetics satisfaction in
using complete dentures in RSGM FKG USAKTI for females was lower then males.
Keywords: Complete denture, esthetics, phonetic
Cakradonya Dent J; 10(2): 102-106
103 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara
dengan populasi terbanyak di dunia dengan
tingkat kepadatan penduduk terbanyak pada
urutan ke empat di dunia. Dengan kepadatan
penduduk seperti ini, masalah kesehatan
menjadi beragam, beberapa masalah kesehatan
di Indonesia yang banyak dijumpai adalah: (1)
Penyakit jantung; (2) Penurunan fungsi hati;
(3) Penurunan fungsi lambung; dan (4) Sakit
gigi. Masalah kesehatan gigi dan mulut di
Indonesia dirasakan masih sangat tinggi, hal
ini terjadi karena tingkat kesadaran masyarakat
untuk menjaga kesehatan gigi dan mulutnya
tergolong rendah. Karena masyarakat
cenderung meminta perawatan gigi untuk
menghilangkan rasa sakit saja. Padahal dokter
gigi mengharapkan agar pasiennya rutin untuk
memeriksakan dirinya, sehingga dapat
mengobati dan mencegah komplikasi-
komplikasi yang lebih lanjut.1
Buruknya keadaan gigi dan mulut
pasien bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor
yakni: (1) Pendidikan; (2) Ekonomi; (3)
Sosial; (4) Budaya; (5) Umur. Sehingga
perawatan yang akan dilakukan setiap pasien
akan berbeda-beda tergantung dari faktor-
faktor tersebut. Menurut WHO, usia lanjut
digolongkan menjadi 4, yaitu usia pertengahan
(middle age), 45-59 tahun; lanjut usia
(elderly), 60-74 tahun; lanjut usia tua (old), 75-
90 tahun; dan usia sangat tua (very old), diatas
90 tahun. Menurut data internasional dari
Bureau of the Census USA, Indonesia
memiliki angka pengingkatan lansia tertinggi
di dunia yaitu mencapai 414 persen dari tahun
1990-2025, sehingga sebagai dokter gigi kita
harus meningkatkan perawatan di bidang
lansia.1,2
Masalah kesehatan gigi yang diderita
oleh kebanyakan lansia adalah kehilangan gigi
seluruhnya. Jika masalah ini tidak diperbaiki
maka akan mengganggu estetik, fonetik, dan
mastikasi pasien.3 Untuk mengatasi masalah
tersebut pasien dibuatkan Gigi Tiruan Lengkap
(GTL). GTL merupakan suatu gigi tiruan yang
menggantikan seluruh gigi yang hilang pada
lengkung rahang.4
Selain faktor fonetik, terdapat faktor lain
yang juga penting peranannya dalam bidang
GTL yaitu estetik. Menurut Young5,6
, kualitas
utama dari estetik adalah kecantikan,
harmonis, dan alami. Maka dokter gigi harus
memperhatikan keinginan pasien untuk hasil
yang lebih baik. Faktor estetik pada GTL
merupakan peranan penting terhadap
kepercayaan diri seseorang dan berpengaruh
terhadap interaksi sosial kepada masyarakat,
hal ini dapat dilihat dari warna, bentuk, dan
posisi gigi. Jika terjadi kesalahan terhadap
pemilihan warna maka dapat menyebabkan
menurunnya kepercayaan diri pasien terhadap
penampilannya.7,8
Pemakaian GTL untuk pertama kalinya
akan membuat pasien susah untuk berbicara
atau berbicara tidak jelas, karena fonetik
jarang sekali dilakukan evaluasi dan lebih
mengevaluasi estetik, kenyaman dan
mastikasi. Sehingga kemampuan pasien untuk
berbicara terabaikan. Jenis kelamin pun juga
merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi tingkat adaptasi pemakaian
GTL, karena dalam 1 hari perempuan
mengucapkan 20,000 kata, sedangkan laki-laki
mengucapkan 7,000 kata.3 Menurut Niko
5
pasien rata-rata akan susah mengucapkan
beberapa huruf seperti “S dan Z”, dan pasien
akan terbiasa dengan GTL barunya selama 2
minggu pasca pemakaian. Warna gigi dan
fonetik pasien dapat menjadi faktor penentu
dari tingkat kepuasan pasien.
Kepuasan adalah perasaan senang atau
kecewa seseorang yang muncul akibat
membandingkan antara presepsi terhadap
kinerja atau hasil suatu produk dan harapan.
Kepuasan pasien merupakan komponen
penting dari perawatan gigi karena dapat
mempengaruhi kepercayaan pasien terhadap
dokter gigi.7
Uraian diatas selanjutnya
melatarbelakangi munculnya penelitian ini.
Penelitian ini lebih mengimplementasikan
pada distribusi tingkat kepuasan pasien dalam
pemakaian GTL dalam hal estetik dan fonetik
di RSGM FKG Usakti daerah Jakarta Barat.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui keberhasilan perawatan dan
tingkat kepuasan pasien di RSGM FKG Usakti
dalam pemakaian GTL dari segi estetik dan
fonetik, sehingga dapat meningkatkan kualitas
pelayanan di RSGM FKG Usakti.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan di RSGM FKG
Usakti. Pada bulan Oktober 2016. Subjek
Penelitian diambil secara consecutive sampling
(non probability sampling) yaitu subjek yang
datang dan memenuhi kriteria inklusi diikuti
Cakradonya Dent J; 10(2): 102-106
104 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
pada penelitian ini sampai jumlah subjek yang
diperlukan terpenuhi yaitu 30 subjek penelitian
dimana jumlah sampel diperolah
menggunakan rumus cross-sectional, dengan
kriteria inklusinya adalah pasien dengan usia
60 tahun keatas menggunakan GTL. Penelitian
ini diawali dengan penjelasan kepada subjek
penelitian mengenai jalannya penelitian dan
meminta persetujuan subjek penelitian
(informed consent), setelah subjek penelitian
menyetujui maka diinstruksikan untuk mengisi
lembar kuisoner yang terdiri dari 10
pertanyaan mengenai tingkat kepuasan estetik
dan fonetik pemakai GTL. Setelah
memperoleh data dari kuisioner terkumpul
dilakukan tabulasi ke dalam program
Statistical Program for Social Science (SPSS)
for windows version 22.0 (Armonk, NY: IBM
Corp.) dengan uji statistik deskriptif. Pada
pengolahan data hasil kuisioner akan
digolongkan menjadi puas atau tidak puas. Jika
pasien menjawab ya >50% maka pasien
tersebut digolongkan puas, tetapi bila pasien
menjawab tidak >50% maka digolongkan
tidak puas.
HASIL
Berdasarkan total sampel yang mengisi
kuisioner diperoleh jumlah lansia wanita lebih
banyak yaitu 18 orang, jika dibandingkan
dengan lansia pria yaitu 12 orang.(Tabel 1)
Tabel 1. Gambaran sampel lansia penggunaan gigi
tiruan lengkap berdasarkan jenis kelamin
Tabel 2. Gambaran sampel lansia pengguna gigi
tiruan lengkap berdasarkan umur (WHO)
Umur Jumlah %
45–59 tahun
(middle aged) - 0
60–74 tahun
(elderly) 21 70
75–90 tahun (old)) 9 30
90 tahun ke atas
(very old) - 0
Berdasarkan Tabel 2 mengenai
pengelompokkan umur lansia menunjukan
bahwa lansia pengguna gigi tiruan lengkap
lebih banyak pada kelompok umur 60–74
tahun ( elderly) berjumlah 21 orang (70%).
Selanjutnya kelompok 75–90 tahun (old)
dengan jumlah 9 orang atau 30%.
Tabel 3. Gambaran sampel lansia pengguna gigi
tiruan lengkap berdasarkan tingkat kepuasan
Berdasarkan Tabel 3 memperlihatkan
bahwa pasien yang puas dari segi estetik
sebanyak 20 orang atau 67% dan pasien yang
tidak puas secara estetik sebanyak 10 orang
atau 33%. Sedangkan dari segi fonetik pasien
yang merasa puas adalah sebanyak 22 orang
atau 74% dan secara fonetik pasien yang tidak
puas adalah 8 orang atau 26% serta didapatkan
hasil bahwa tingkat kepuasan estetik pada
wanita lebih rendah dibandingkan pria.
PEMBAHASAN
Berdasarkan data sampel sesuai dengan
pembagian kelompok usia menurut WHO,
kelompok usia 60–74 tahun (elderly) yang
menggunakan gigi tiruan lengkap berjumlah
21 orang dan kelompok usia 75–90 tahun (old)
yang menggunakan gigi tiruan lengkap
berjumlah 9 orang. Dengan meningkatnya
usia, jumlah sampel menjadi lebih sedikit atau
mengalami penurunan. Hal ini tejadi dengan
meningkatnya usia terjadi penurunan daya
tahan fisik atau mengalami perubahan
fisiologis, seperti mengidap suatu penyakit
yang memerlukan perawatan intensif sampai
kematian.11,12
Terjadi penurunan adaptasi dan
potensi regenerasi sel dan jaringan, jaringan
penyangga gigi, rahang, lidah, warna gigi,
dan bahkan kelenjar saliva mengalami
perubahan yang cukup signifikan, oleh karena
itu kelompok usia diatas 90 tahun (very old)
dijumpai sangat sedikit.13,14
Terlihat pula
jumlah sampel wanita yang memakai gigi
tiruan lengkap yaitu 16 orang lebih banyak
dibandingkan dengan jumah sampel pria yang
menggunakan gigi tiruan lengkap sebanyak 14
orang. Hasil ini sesuai dengan angka harapan
Jenis Kelamin Jumlah %
Pria 14 47
Wanita 16 53
Variabel Jumlah Wanita Pria %
Estetik
Puas
20
10
10
67
Tidak puas 10 6 4 33
Fonetik
Puas
22
10
12
74
Tidak puas 8 6 2 26
Cakradonya Dent J; 10(2): 102-106
105 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
penduduk Indonesia, dimana angka harapan
hidup wanita 74 tahun dan pria 68 tahun.15,16
Hasil analisis menggunakan statistik deskriptif
menunjukkan gambaran bahwa lansia
pengguna gigi tiruan lengkap di RSGM FKG
Usakti Jakarta Barat, memiliki tingkat
kepuasan yang cukup (Tabel 3). Berdasarkan
data yang diperoleh dari kuisioner, dapat
diketahui bahwa pasien lansia pengguna gigi
tiruan lengkap yang puas dari segi fonetik
lebih banyak dijumpai pada pria yaitu 12 orang
jika dibandingkan dengan wanita yaitu 10
orang.
Hal ini sesuai dengan penelitian
McMillan17
yang menyatakan bahwa wanita
lebih susah untuk dipuaskan dibandingkan
dengan pria sehingga standar kepuasan wanita
lebih tinggi dibandingkan pria. Dari hasil
penelitian didapat bahwa pasien di RSGM
FKG Usakti Jakarta Barat yang menggunakan
gigi tiruan lengkap diperoleh jumlah lansia
wanita yang tidak puas dari segi fonetik yaitu
6 orang dan pria terdapat 2 orang.
Dijumpai pula pasien gigi tiruan
lengkap yang tidak puas dalam segi estetik
lebih banyak pada pasien wanita yang
berjumlah 6 orang jika dibandingkan dengan
pasien lansia pengguna gigi tiruan lengkap pria
yang berjumlah 4 orang. Dari hasil penelitian
juga dapat diketahui bahwa pasien lansia yang
memiliki tingkat kepuasan yang tinggi dalam
hal estetik berjumlah 20 orang, yang
diantaranya adalah 10 orang lansia wanita dan
10 orang lansia pria. Hal ini sejalan dengan
Vervoon18
yang menyatakan bahwa wanita
lebih mementingkan estetik dibandingkan
fungsi lainnya, sehingga wanita ingin lebih
terlihat menarik.19
Dengan demikian dapat dinyatakan
bahwa berdasarkan data kuisioner pasien
lansia di RSGM FKG Usakti umumnya
memiliki tingkat kepuasan yang cukup tinggi
karena pembuatan gigi tiruan lengkap yang
cepat dan tepat waktu, dengan hasil kerja dan
pelayanan dari mahasiswa koas RSGM FKG
Usakti, namun pada lansia pengguna gigi
tiruan lengkap masih dijumpai pasien yang
merasa tidak puas dengan hasil kerja
mahasiswa koas RSGM FKG Usakti. Hal ini
terjadi karena penanganan pasien lansia
memakan waktu yang cukup lama sehingga
menyebabkan perubahan dan perbedaan dalam
jaringan mulut dengan model kerja, juga
terjadi kesalahan pertama kepada operator
dalam menentukan DVO, pemilihan warna
pada elemen atau bentuk gigi sehingga
mempengaruhi tingkat kenyamanan dan
kepuasan pasien. Kesalahan kedua kepada
laboratorium yang membuat GTL tidak sesuai
dengan instruksi.20
SIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian dapat ditarik
simpulan bahwa berdasarkan hasil uji
deskriptif menunjukkan terdapat perbedaan
tingkat kepuasan pada pasien lansia yang
menggunakan gigi tiruan lengkap dimana
tingkat kepuasan wanita lebih rendah
dibandingkan pria terutama dalam hal estetik
karena standar kepuasan estetik pada wanita
lebih tinggi. Melalui data yang diambil dari
lembar kuisioner, pasien lansia pengguna gigi
tiruan lengkap di RSGM FKG Usakti memiliki
tingkat kepuasan yang tinggi.
Untuk memaksimalkan hasil
penelitian, disarankan dilakukan penelitian
lebih lanjut dengan jumlah subjek yang lebih
banyak dan merata, sehingga dapat mewakili
semua populasi untuk dapat mengetahui
tingkat kepuasan pasien terhadap gigi tiruan
lengkap dari segi estetik dan fonetik. Retensi
dan stabilitas pada pembuatan gigi tiruan
lengkap perlu diperhatikan oleh para
mahasiswa koas RSGM FKG Usakti sehingga
memperoleh tingkat kepuasan pasien yang
lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Alhamdan EM. Assessing the Dental
Treatment Needs of Female Patients at
the Dental College, Riyadh, Saudi
Arabia. Oral Health and Dent Man J
2016; 15(3):172-178.
2. Vern L, Alan C, David M. Sourcebook
of Family Theory and Research. 2005.
h.414
3. Roesler DM. Complete denture success
for patients and dentists. Int Dent J
2003;53:340-5.
4. Falatehan N. Metode Baru Untuk
Menilai Adaptasi pemakai Gigi Tiruan
Penuh Rahang Atas Berdasarkan
Palatogram Konsonan Linguo-Palatal
Bahasa Indonesia. (Thesis). Jakarta:
Universitas Indonesia; 2013: h.14-21
5. Ahmed N. Ahmend M. Jafri Z.
Esthetics Considerations in the
Selection of Teeth for Complete
Cakradonya Dent J; 10(2): 102-106
106 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Denture Patients: A Review Annals of
Dental Specialty J 2013;1(1):4-6
6. Madhav. Esthetic Failures in Fixed
Partial Dentures. J Int Dent Med Res
2010;3(3):146
7. Biljana A, Jusuf Z. Measuring
customer satisfaction with service
quality using American Customer
Satisfaction Model (ACSI Model). Int J
Acad Res in Business and Social Scie
2011;1(3):236-258.
8. Handjani YS, Widaja NT. Gambaran
Kesehatan pada Masyarakat Lansia di
DKI Jakarta dan Hubungan dengan
Determinannya. (Thesis). Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas
Katolik Indonesia Atma Jaya; 2007:
h.146-156
9. Nugroho W. Komunikasi Dalam
Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC.
2009. h. 5-11.
10. Darmojo B. Geriatri (Ilmu kesehatan
Usia Lanjut). Ed ke-5. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI: 2014. h. 46.
11. Taringan S. Pasien Prostodonti Lanjut
Usia: Beberapa Pertimbangan Dalam:
Perawatan. Medan; USU; 2005.h.8-13
12. Gunadi HA, Margo A, Burhan LK,
Suryatenggara F, Setiabudi I. Buku
Ajar Ilmu Geligi Tiruan Sebagian
Lepasan Jilid 1. Jakarta:
Hipokrates;1995: h.33-27
13. Stanley, Mickey, Beare PG. Buku Ajar
Keperawatan Gerodontik. Jakarta:
EGC. 2006. h.180-218
14. Siti MR, Mia FE, Rosidawati, Jubaedi
A, Batubara I. Mengenal Usia Lanjut
dan Perawatannya. Jakarta: Salemba
Medika. 2012. h. 2-20
15. Esan TA, Olusile AO, Akeredolu PA,
Esan AO. Socio-demographic factors
and edentulism the Nigerian
experience. BMC Oral Health. 2004;
4(3): p:1-6.
16. Pusat Data dan Informasi Kementrian
Kesehatan RI. Gambaran kesehatan
lanjut usia di Indonesia. Jakarta:
Buletin Jendela Data dan Informasi
Kesehatan. 2013. h. 1-5.
17. Allen PF, Mcmillan A.S. A review of
the functional and pyshosocial
outcomes of edentulousness treated
with complete replacement dentures. J
Can Dent Assoc 2003;69(10):662-9.
18. Vervoon, Seiffert, Spasetti VJ. Factors
Assosiated with Satisfaction with
Complete Denture Theraphy. J
Prosthodont 1996;5:84-90.
19. Boedi S. Mengenal Kelainan Dalam
Mulut yang Menyertai Diabetes
Melitus, Jurnal Ilmiah dan Teknologi
Kedokteran Gigi 2003;1(2):60-64.
20. Charles WE, Jack HR, James MT.
Synopsis of Complete Denture.
Philadelphia: Lea and Febiger.1975.
p.321-6.
Cakradonya Dent J; 10(2): 107-112
107 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
GAMBARAN PH SALIVA DARI PEROKOK AKTIF DAN
PASIF PADA MASYARAKAT KECAMATAN MESJID RAYA
ACEH BESAR
THE DESCRIPTION OF SALIVARY PH FROM ACTIVE SMOKERS AND
PASSIVE SMOKERS ON THE SOCIETY AT DISTRICT MESJID RAYA
ACEH BESAR
Dewi Saputri, Diana Setya Ningsih, Ridha Rosmarna Dewi
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala
Correspondence email to: dewisaputri_emir@yahoo.co.id
ABSTRAK
Saliva adalah cairan kompleks yang sangat penting untuk kesehatan rongga mulut Asap rokok
mengandung berbagai komposisi beracun yang mengakibatkan perubahan saliva secara struktural
maupun fungsional. Asap rokok mengandung nikotin yang bekerja pada reseptor kolinergik tertentu
di otak yang dapat menyebabkan aktivasi saraf sehingga terjadi perubahan sekresi dan pH saliva.
Tujuan penelitian ini untuk melihat gambaran pH saliva pada perokok aktif dan pasif. Penelitian ini
merupakan penelitian cross sectional. Metode pengambilan sampel dengan cara non probability
sampling pada 80 subjek yang terdiri dari dua kelompok, yaitu 40 subjek perokok aktif dan 40 subjek
perokok pasif. Hasil analisis univariat menunjukkan semua perokok aktif, 40 orang atau 100%,
mempunyai pH saliva bersifat asam, sedangkan pada perokok pasif hanya 13 orang (32,5%). Sisa
subjek perokok pasif yaitu sebanyak 27 orang (67,5%) mempunyai pH saliva bersifat normal. Sebagai
kesimpulan penelitian ini adalah pH saliva yang bersifat asam ditemukan pada semua perokok aktif,
sedangkan pada perokok pasif lebih banyak didapatkan pH saliva normal. Juga pH saliva perokok
aktif lebih asam (6,15) daripada pH saliva perokok pasif (6,81).
Kata Kunci: Perokok aktif, perokok pasif, pH saliva
ABSTRACT
Saliva is a complex liquid that is very important for oral health. Cigarette smoke contains various
toxic compositions that cause structural and functional changes in saliva. Cigarette smoke contains
nicotine which acts on certain cholinergic receptors in the brain which can cause nerve activation
resulting in changes in salivary secretion and pH. The purpose of this study was to see the picture of
salivary pH in active and passive smokers. This research is a cross sectional study. The sampling
method is non-probability sampling in 80 subjects consisting of two groups, namely 40 active
smokers and 40 passive smokers. The results of univariate analysis showed that all active smokers, 40
people or 100%, had salivary pH as acidic, while in passive smokers there were only 13 people
(32.5%). The remaining subjects of passive smoking, which were 27 people (67.5%) had normal
salivary pH. In conclusion, this study found that the pH of acidic saliva was found in all active
smokers, whereas in passive smokers there was more normal salivary pH. Also the saliva pH of active
smokers is more acidic (6.15) than the pH of passive smokers (6.81).
Key Words: Active smoker, passive smoker, saliva pH
Cakradonya Dent J; 10(2): 107-112
108 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara
berkembang yang tercatat memiliki tingkat
konsumsi rokok tinggi.1 Prevalensi perokok di
Indonesia menurut hasil Riskesdas 2007
(34,2%), 2010 (34,7%) dan 2013 (36,3%) yang
menunjukkan peningkatan prevalensi perokok
dari tahun ke tahun.2
Perokok pada umumnya terdiri dari
perokok aktif dan pasif. Perokok aktif adalah
orang yang mengonsumsi rokok dan secara
langsung merokok serta menghisap rokok rutin
atau tidak rutin walaupun hanya 1 batang
dalam sehari.3,4
d Sedangkan perokok pasif
adalah orang yang terpapar atau menghirup
asap yang terbentuk dari pembakaran rokok
atau dari asap yang dihembuskan oleh perokok
atau orang lain.5, 6
Kedua jenis perokok ini
sama-sama terpapar oleh asap rokok. Paparan
asap rokok dapat menurunkan kualitas hidup
seseorang karena asap rokok mengandung
4.000 bahan kimia seperti nikotin, tar dan
karbon monoksida.7
Asap rokok yang mengandung bahan
kimia tersebut terhirup oleh perokok yang
dampaknya dapat bekerja pada reseptor
kolinergik tertentu di otak, yang menyebabkan
aktivasi saraf sehingga terjadi perubahan
sekresi kelenjar saliva.8 Sekresi kelenjar saliva
merupakan satu-satunya sekresi pencernaan
yang secara keseluruhan berada di bawah
kontrol saraf.9 Asap rokok juga dapat
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan
kelenjar saliva serta memengaruhi laju aliran
dan fungsi saliva.10
Perubahan sekresi kelenjar saliva yang
dapat terjadi yaitu berupa penurunan laju
aliran saliva serta dapat menyebabkan
penurunan pH saliva. Hal ini sesuai dengan
penelitian Singh dkk. (2015)11
yang
menyatakan terdapat penurunan pH saliva
pada perokok aktif, dan belum ada penelitian
secara rinci tentang pH saliva pada perokok
pasif. Namun, hasil penelitian Ferragut
dkk.(2010)12
menyimpulkan bahwa merokok
pasif menyebabkan adanya perubahan struktur
kelenjar saliva pada tikus yang secara
signifikan dapat memengaruhi fungsi saliva.
Terjadinya perubahan sekresi kelenjar saliva
dan penurunan fungsi saliva. Salah satunya
dapat menyebabkan penurunan pH saliva.
Akibatnya dapat terjadi peningkatan
mikroorganisme asidogenik, sehingga kondisi
kesehatan gigi dan mulut menurun.10
Berdasarkan latar belakang di atas akan
dilakukan penelitian mengenai keadaan pH
saliva dari perokok aktif dan perokok pasif
pada masyarakat desa Lamreh, Kecamatan
Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Dilihat
dari letak geografis, desa tersebut berbatasan
dengan laut, dan gunung yang menyebabkan
mayoritas penduduknya bekerja sebagai
nelayan (36,06%), buruh kapal (19,47%),
bahkan petani (25,00%). Hasil wawancara
pada survei awal menyatakan hampir seluruh
masyarakat desa Lamreh memiliki kebiasaan
merokok. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Riskesdas 201313
yang menyatakan bahwa
prevalensi perokok jauh lebih tinggi di desa
pada pekerja petani, nelayan dan buruh.
BAHAN DAN METODE
Adapun kriteria inklusi sampel perokok
aktif, adalah subjek yang merokok minimal 10
batang setiap hari selama ≥ 6 bulan, perokok
berusia 26-45 tahun11
, dan bersedia menjadi
subjek penelitian.
Adapun kriteria inklusi perokok pasif
adalah terpapar asap rokok orang lain setiap
hari selama ≥ 10 tahun14
, berusia 26-45 tahun,
dan bersedia menjadi subjek penelitian
Subjek diwawancarai sesuai dengan
borang seleksi subjek untuk mendapatkan data
identitas meliputi nama, usia, jenis kelamin,
serta informasi lainnya yang diperlukan untuk
melengkapi data sesuai kriteria inklusi.
Kepada subjek yang memenuhi kriteria inklusi
selanjutnya diberikan informed consent.
Subjek penelitian diminta untuk tidak
makan, minum, menyikat gigi dan merokok 1
jam sebelum dilakukan pengambilan saliva.
Subjek diminta untuk duduk dengan sandaran
tegak, kepala ditundukkan dan tangan kanan
memegang gelas ukur.8
Pengumpulan saliva dilakukan pukul 09.00-
12.00 menggunakan metode spitting yaitu
saliva dikumpulkan dalam mulut dengan posisi
bibir tertutup, kemudian dikeluarkan ke dalam
gelas ukur sehingga tercapai volume
yang dibutuhkan. Selanjutnya dilakukan
pengukuran pH saliva dengan cara
memasukkan elektroda pH meter.
Sebelum dilakukan pengukuran pH
saliva, penutup plastik elektroda dibuka, lalu
dibilas dengan air deionisasi (air bebas ion)
dan dikeringkan dengan tisu. Nyalakan pH
meter digital dengan menekan tombol
ON/OFF.
Cakradonya Dent J; 10(2): 107-112
109 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Elektroda dimasukkan ke dalam larutan
buffer pH 7, putar elektroda agar larutan buffer
homogen. Biarkan beberapa saat sampai nilai
yang tertera pada display tidak berubah. Tekan
tombol CAL pada layar. Tekan tombol
hold/ent untuk menyempurnakan kalibrasi.
Pada bagian layar akan muncul angka 7 yang
menunjukkan pH meter tersebut telah
dikalibrasi dengan buffer pH 7. Angkat
elektroda dari larutan buffer 7, kemudian bilas
dengan air deionisasi beberapa kali dan
keringkan dengan kertas tisu, pH meter telah
siap digunakan.
Kemudian pH meter digital dihidupkan
dengan menekan tombol ON/OFF. Elektroda
dimasukkan ke dalam sampel dan diputar agar
larutan homogen. Dibiarkan sampai angka
pada layar berganti dengan nilai saliva yang
diukur pHnya. Lalu pH meter digital dimatikan
dengan menekan tombol ON/OFF. Lihat angka
yang tertera pada pH meter. Data yang didapat
langsung dicatat pada lembar data yang telah
disediakan.
HASIL
Subjek penelitian adalah masyarakat
desa Lamreh kecamatan Mesjid Raya, Aceh
Besar. Penelitian ini dilakukan untuk melihat
gambaran pH saliva pada perokok aktif dan
pasif. Subjek penelitian sesuai dengan kriteria
inklusi berjumlah 80 orang yang terdiri dari 40
perokok aktif pada laki-laki dan 40 orang
perokok pasif pada perempuan.
Gambar 1. Frekuensi pH saliva pada perokok aktif
dan pasif
Seluruh perokok aktif memiliki pH
saliva asam dan hanya 1/3 subjek perokok
pasif yang mempunyai pH saliva asam
Sebanyak 2/3 subjek perokok pasif sisanya
memiliki pH saliva normal (Gambar 1).
Gambar 2. Rata-rata pH saliva perokok aktif
berdasarkan jenis rokok
Dari kelompok perokok aktif dilihat dan
dipisahkan menurut jenis rokok yang dihisap.
Gambar 2 menunjukkan rerata pH saliva pada
perokok filter sebesar 6,4. Sedangkan rerata
pH saliva perokok kretek sebesar 6,0.
Gambar 3. Rerata pH Saliva pada perokok aktif dan
pasif
Gambar 3 menunjukkan rerata pH saliva
perokok aktif 6,15 (asam). Sedangkan rerata
pH saliva perokok pasif 6,81 (normal).
Gambar 4. Tabulasi pH saliva perokok aktif dan
pasif berdasarkan usia
Cakradonya Dent J; 10(2): 107-112
110 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Gambar 4 menunjukkan pada kelompok
usia 26-35 terdapat pH saliva bersifat asam
pada jumlah subjek yang hampir sama dengan
subjek yang mempunyai pH saliva bersifat
normal (13 vs 16). Sedangkan pada kelompok
usia 36-45 tahun subjek dengan pH saliva
bersifat asam jauh lebih banyak, yaitu sekitar
3,6 kali lebih banyak daripada subjek dengan
pH saliva bersifat normal (40 vs11).
PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk melihat
keadaan saliva, khususnya pH saliva. Kadar
pH saliva (potensial of Hydrogen) adalah
ukuran konsentrasi ion hydrogen dengan
keasaman dan kebasaan yang relatif dalam
saliva.15
Saliva merupakan cairan kompleks
yang diproduksi oleh kelenjar saliva, serta
berperan penting untuk mempertahankan
keseimbangan ekosistem dalam rongga mulut.8
Saliva adalah cairan biologis pertama dari
tubuh yang terpapar oleh asap rokok sehingga
dapat mengakibatkan perubahan saliva baik
secara struktural maupun fungsional. Asap
rokok mengandung berbagai zat kimia yang
berbahaya, salah satunya adalah nikotin.
Nikotin telah terbukti dapat bekerja pada
reseptor kolinergik tertentu di otak dan organ
lain serta menyebabkan aktivasi saraf, salah
satunya untuk sekresi dan pH saliva.7
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa
pH saliva perokok aktif masyarakat desa
Lamreh keseluruhannya bersifat asam,
sedangkan pH saliva perokok pasif yang
memiliki pH saliva bersifat asam hanya 32,5%
(13 subjek) (Gambar 1). Penurunan pH saliva
pada perokok aktif mungkin disebabkan oleh
kebiasaan masyarakat desa Lamreh yang
mengonsumsi rokok minimal 10 batang dalam
sehari dan telah dikonsumsi lebih dari 6 bulan.
Sedangkan penurunan pH saliva perokok pasif
mungkin disebabkan oleh paparan asap rokok
yang terhirup selama sedikitnya 10 tahun.
Sebagaimana diketahui bahwa frekuensi dan
lama paparan asap rokok sangat berpengaruh
terhadap pH saliva, karena semakin banyak
seseorang mengonsumsi rokok atau menghirup
asap rokok maka semakin banyak pula zat
berbahaya seperti nikotin yang terhirup oleh
perokok aktif maupun pasif.
Kandungan nikotin berbeda dalam
setiap jenis rokok. Kadar nikotin pada rokok
filter lebih sedikit dibandingkan pada rokok
kretek. Diduga jenis rokok juga dapat
mempengaruhi pH saliva, karena pengaruh
ujung rokok yang menggunakan filter dan
tidak menggunakan filter. Filter pada rokok
digunakan untuk menyaring zat endapan yang
dihasilkan dari pembakaran rokok. Hal inilah
yang membedakan kandungan kimiawi asap
rokok antara rokok filter dan kretek.16,17
Pada
penelitian ini didapatkan rerata kadar pH
saliva perokok kretek sebesar 6,0 sedangkan
erata pH saliva perokok filter sebesar 6,4
(Gambar 2). Dari hasil rerata pH saliva
perokok berdasarkan jenis rokok yang
dikonsumsi ini terlihat bahwa ada perbedaan
pH saliva pada kedua jenis rokok tersebut.
Selain beberapa faktor yang telah
diuraikan di atas, terdapat beberapa faktor lain
yang dapat memengaruhi pH saliva, salah
satunya yaitu jenis makanan yang dikonsumsi
seseorang. Jenis makanan yang dikonsumsi
sangat berpengaruh terhadap pH saliva. Jenis
makanan yang mengandung karbohidrat dapat
menyebabkan pH saliva menurun, karena
kandungan karbohidrat di dalam makanan
tersebut dapat difermentasi oleh bakteri
asidogenik, dan hasil fermentasi bakteri
tersebut berupa asam yang dapat menyebabkan
keadaan rongga mulut menjadi asam.
Diketahui bahwa masyarakat Lamreh memiliki
kebiasaan mengkonsumsi makanan tinggi
karbohidrat, yaitu nasi sebagai makanan
pokok. Selain faktor tersebut hipertensi secara
teoritis juga dapat mempengaruhi pH saliva.
Sebagaimana hasil penelitian Herponi (2012)18
yang menyatakan adanya penurunan pH saliva
secara signifikan pada pasien hipertensi.
Sejalan dengan hasil penelitian Setyanda
(2015) yang menyatakan ada hubungan erat
antara merokok dengan terjadinya hipertensi.3
Dari hasil penelitian ini didapatkan rerata pH
saliva perokok aktif sebesar 6,15 sedangkan
rerata pH saliva perokok pasif 6,81 (Gambar
3). Data tersebut menunjukkan bahwa pH
saliva perokok aktif lebih rendah dan memiliki
pH saliva yang bersifat asam jika
diperbandingkan dengan perokok pasif yang
memiliki pH saliva normal. Hal ini mungkin
disebabkan oleh perokok aktif yang menghirup
dua jenis asap rokok sekaligus yaitu asap
utama dan asap samping dari rokok. Artinya
perokok aktif lebih banyak menghirup nikotin
dibandingkan dengan perokok pasif yang
hanya menghirup asap samping dari perokok
aktif. Absorbsi nikotin yang terhirup masuk ke
dalam darah melalui paru-paru dengan cepat
Cakradonya Dent J; 10(2): 107-112
111 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
dan efisien. Setelah masuk ke dalam paru-
paru, nikotin mengikuti proses sirkulasi darah
melalui bilik kiri jantung, kemudian nikotin
dipompa secara langsung ke otak dan bagian
tubuh lainnya. Konsentrasi nikotin yang tinggi
di pembuluh arteri diperoleh melalui inhalasi
asap rokok dan keseimbangan nikotin di antara
darah dan otak menghasilkan jumlah nikotin
yang tinggi di otak, dipengaruhi oleh otak dan
ganglion yang aktif mengumpulkan nikotin.19
Nikotin merupakan zat kimia yang dapat
meracuni saraf. Jika sistem kerja saraf
terganggu maka akan menyebabkan berbagai
perubahan, salah satunya perubahan saliva,
karena saliva merupakan salah satu cairan
yang disekresikan di bawah kontrol saraf.
Perubahan saliva yang terjadi dapat
mengurangi kuantitas dan kualitas dari
saliva.20
Berdasarkan usia, didapatkan 13 subjek
berusia 26-35 tahun memiliki pH saliva
bersifat asam sedangkan pada usia 36-45 tahun
terdapat 40 subjek memiliki pH saliva bersifat
asam (Gambar 4). Dari hasil data tersebut
dapat diperkirakan bahwa perubahan pH saliva
menjadi bersifat asam berdasarkan usia lebih
banyak terjadi pada usia 35-45 tahun
dibandingkan dengan usia 26-35 tahun.
Penemuan ini sesuai dengan hasil penelitian
Marasabessy (2012)21
yang meneliti perubahan
pH saliva berdasarkan usia, dan hasil
penelitiannya juga menyatakan terdapat
perubahan pH saliva, yaitu pH saliva menurun
seiring dengan bertambahnya usia.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa
pH saliva perokok aktif dan pasif bersifat
asam. Hal ini dapat berpengaruh buruk
terhadap kesehatan gigi dan mulut seperti
terjadinya karies akibat peningkatan
mikroorganisme asidogenik, akumulasi plak
yang lebih cepat akibat penurunan fungsi
saliva, serta jika keadaan ini berlanjut, akan
menimbulkan berbagai penyakit lainnya
seperti penyakit periodontal berupa gingivitis,
periodontitis, dan kehilangan gigi.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian pada
masyarakat desa Lamreh kecamatan Mesjid
Raya, Aceh Besar, disimpulkan bahwa pH
saliva yang bersifat asam ditemukan pada
semua perokok aktif, sedangkan pada perokok
pasif hanya 32,5% subjek yang memiliki pH
saliva bersifat asam.Kadar pH saliva normal
lebih banyak ditemukan pada perokok pasif,
sedangkan pada perokok aktif pH salivanya
tidak ada yang normal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Djokja RM, Lampus BS, Mintjelungan C.
Gambaran perokok dan angka kejadian
lesi mukosa mulut di Desa Monsongan
Kecamatan Banggai Tengah. jurnal e-
GiGi (eG) 2013;1:38-44.
2. Ali Ghufron Mukti. Upaya Pengendalian
Tembakau di Indonesia. Dalam:
KomNasHAM dpWRH (ed). 2013
3. Setyanda YOG, Sulastri D, Lestari Y.
Hubungan merokok dengan kejadian
hipertensi pada laki-laki usia 35-65 tahun
di kota Padang. Jurnal Kesehatan
Andalas 2015; 4(2):434-440
4. Proverawati A, Rahmawati E. Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat. Yogyakarta:
Nuha Medika; 2012.
5. Perdana DA, Waspada AEB. Kampanye
pencegahan perokok pasif pada anak-
anak. jurnal Tingkat Seni Rupa dan
Desain. 2014; 3(1):1-10.
6. Romli MI, Sukarya WS. Hubungan antara
perempuan perokok pasif dengang
gambaran hasil pemeriksaan pap smear di
Yayasan Kanker Indonesia Jawa Barat.
2011; 2(1):33-40.
7. Kusuma ARP. Pengaruh merokok
terhadap kesehatan gigi dan mulut.
Majalah Sultan Agung: World Class
Islamic Cyber University UNISULA;
2014.
8. Kanwar A, Sah K, Grover N, Chandra S,
Singh RR. Long-term effect of tobacco on
resting whole mouth salivary flow rate
and pH: An institutional based
comparative study. European Journal of
General Dentistry 2013; 2(1):296-299.
9. Tortora GJ. Principles of Anatomy and
Physiology.13th ed. Roesch B, editor:
John Wiley and Sons, United States of
Amerika; 2011.
10. Mubeen K, Chandrasherkar H, Kavitha
M, Nagarathna S. Effect of tobacco on
oral health an overview. Journal of
Evolution of Medical and Dental Sciences
2013; 2(20):3523-3534.
11. Singh M, Ingle Na, Kaur N, Yadav P, Indle
Ekta. Effect of Long-term Smoking on
Cakradonya Dent J; 10(2): 107-112
112 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Salivary Flow Rate and Salivary pH.
2015;13(1):11-13.
12. Ferragut JM, Cunha MR, Carvalho CA,
Ricardo, Isayama N, Caldeira EJ.
Epithelial-stroma interactions in salivary
glands of rats exposed to chronic passive
smoking. Journal Homepage. Brazil:
Elsevier Ltd.; 2010.
13. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian RI. Riskesdas
2013.h.132
14. Ueno M, Ohara S, Sawada N, Inoe M,
Tsugane S, Kawaghuci Y. The association
of active and secondhand smoking with
oral health in adults: Japan Public Health
Center-based study. Journal Tobacco
Induced Diseases. 2015;13(1):1-9
15. Soesilo D, Santoso RE, Diyatri I. Peran
sorbitol dalam mempertahankan
kestabilan pH saliva pada proses
pencegahan karies. Maj Ked Gigi (Dental
J) 2005;38(1):25-8.
16. Cordry HV. Tobacco : a Reference
Handbook. Santa Barbara: ABC-CLIO
Inc., 2001.p.10.
17. Susanna D, Hartono B, Fauzan H.
Penentuan Kadar Nikotin dalam Asap
Rokok. Makara Kesehatan 2003;7(2):38-
41.
18. Herponi A. Perbedaan pH saliva antara
pasien hipertensi dan normotensi di
RSUD Simo Boyolali.(Skripsi).
Surakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta;
2012.
19. Mangan P. Applied Oral Physiology. 2nd
ed. BristoL: Butterworth and Co.; 1998.
20. Petrusic N, Posavac M, Sabol I, Stipetic
MM. The Effect of Tobacco Smoking On
Salivation, 2015.49(4):309-315.
21. Marasabessy FA. Hubungan volume dan
pH saliva pada lansia.Skripsi. Makassar:
Fakultas Kedokteran Gigi UNHAS; 2012.
Cakradonya Dent J; 10(2): 113-120
113 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
APEKSIFIKASI DAN INTRACORONAL BLEACHING PADA GIGI
INSISIVUS SENTRAL KANAN MAKSILA
(Laporan Kasus)
APEXIFICATION AND INTRACORONAL BLEACHING ON
MAXILLARY RIGHT CENTRAL INCISOR
(Case Report)
Reni Nofika
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Andalas
Correspondence email to: reni.nofika@dent.unand.ac.id
Abstrak Trauma pada gigi permanen imatur akan mengganggu apeksogenesis sehingga apeks tetap terbuka
dan bisa terjadi diskolorasi jika gigi telah nekrosis. Kasus ini melaporkan perawatan pada gigi
nekrosis dengan apeks masih terbuka dan mengalami diskolorasi. Pasien laki-laki usia 22 tahun
datang ke klinik konservasi gigi RSGM Prof Soedomo FKG UGM karena gigi 1.1 atasnya patah di
usia 12 tahun akibat jatuh dan merasa gigi tersebut berubah warna. Pada pemeriksaan klinis gigi 1.1
fraktur pada sepertiga insisal distal melibatkan dentin dan mengalami diskolorasi. Tes perkusi dan
palpasi positif, tes termal negatif, dan tidak ada kegoyangan gigi. Pada radiograf periapeks terlihat
apeks terbuka dan radiolusensi di periapeks dengan batas difus. Diagnosisnya adalah nekrosis pulpa
dengan abses apikalis kronis disertai apeks terbuka dan diskolorasi intrinsik. Rencana perawatan
adalah apeksifikasi dilakukan dengan menempatkan bahan MTA pada ujung akar, dilanjutkan
prosedur intracoronal bleaching (walking bleach) dan direstorasi dengan resin komposit kelas IV
diperkuat dengan pasak fiber siap pakai. Evaluasi pasca restorasi menunjukkan tidak ada keluhan
sakit dan kondisi klinis baik. Kesimpulannya penutupan apeks menggunakan MTA dilanjutkan
dengan intracoronal bleaching pada kasus nekrosis pulpa dengan abses apikalis kronis disertai apeks
terbuka dan diskolorasi intrinsik menunjukkan kesuksesan.
Kata kunci: apeksifikasi, intracoronal bleaching, pasak fiber
Abstract Trauma to the immature permanent tooth can disturb process of apexogenesis which results in open
apex and tooth discoloration if the pulp is non vital. This case reported treatment of a non vital
discoloured tooth witth open apex. The 22 years old male patient came to clinic of conservative
denstistry RSGM Prof Soedomo FKG UGM because his 1.1 tooth was broken at the age of 12 years
due to fall and the tooth was change in color. Clinical examination showed that 1.1 was fractured on
incisal distal third involving the dentin and the toorh was discolourred. Percussion and palpation tests
were positive, thermal test was negative, and no tooth mobility. Radiograf showed open apex and
radiolucency with diffuse borders on the periapical tissue. The diagnosis was pulp necrosis with
chronic apical abscess with open apex and intrinsic discoloration. The treatment was root canal
treatment and apexification with MTA, followed by intracoronal bleaching (walking bleach) and
finally fiber reinforced resin composite restoration. Post-restoration evaluation showed no pain
complaints and good clinical conditions. In conclusion, apex closure using MTA was continued with
intracoronal bleaching in cases of pulp necrosis with chronic apical abscesses with open apex and
intrinsic discoloration suggesting success.
Keywords: apexification, fiber post, intracoronal bleaching
Cakradonya Dent J; 10(2): 113-120
114 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
PENDAHULUAN
Frekuensi pasien yang datang ke dokter
gigi dengan trauma pada gigi cukup tinggi
dengan insiden 1,5% sampai 2,8%. Trauma
tersebut biasanya terjadi karena jatuh,
kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan saat
berolahraga. Trauma pada gigi lebih sering
terjadi pada anak-anak usia 8 sampai 15 tahun.
Mayoritas trauma gigi mengenai gigi anterior.
Penyembuhan bergantung pada tahap
perkembangan akar, perluasan kerusakan
jaringan periodontium, dan efek kontaminasi
bakteri dari rongga mulut.1 Trauma dapat
menyebabkan nekrosis pulpa, pembentukan
akar tidak sempurna, atau resorpsi eksternal
sehingga menghasilkan akar yang pendek atau
tumpul dengan apeks terbuka.2 Pada apeks
yang terbuka tidak ada barrier yang menahan
material pengisi di ujung apeks saluran akar
sehingga material tersebut dapat masuk ke
dalam jaringan periapeks dan menyebabkan
trauma pada jaringan tersebut. Selain itu, tidak
adanya apical stop juga dapat menyebabkan
saluran tidak terisi penuh dan rentan terjadi
kebocoran.3
Penutupan apeks dapat dilakukan
dengan prosedur apeksifikasi agar terbentuk
barrier jaringan keras.
Penempatan apical
barrier menggunakan MTA merupakan
alternatif penggunaan kalsium hidroksida yang
memerlukan waktu lama, sehingga dapat
mengurangi waktu perawatan. Kerugian utama
prosedur apeksifikasi menggunakan kalsium
hidroksida adalah dinding akar yang tipis
dapat fraktur dan pembentukan barrier
terkalsifikasi biasanya porus dan bisa
mengandung sejumlah kecil jaringan lunak.
MTA mengandung partikel hidrofilik yang
terdiri dari tricalcium silicate, silicate oxide,
dan tricalcium oxide. Ketika serbuk MTA
dicampur dengan air steril maka akan
membentuk gel koloidal dan memiliki setting
time 3 sampai 4 jam pada keadaan lembap.
MTA memiliki tingkat kebocoran yang
rendah, sifat antibakteri yang lebih bagus,
adaptasi marginal tinggi, setting time yang
pendek (sekitar 4 jam), pH 12,5 dan lebih
biokompatibel.2
Trauma pada gigi juga dapat
menyebabkan terjadinya diskolorasi intrinsik.
Diskolorasi intrinsik dapat dirawat dengan
intracoronal bleaching.4
Bleaching merupakan prosedur untuk
pencerahan warna gigi melalui aplikasi bahan
kimia untuk mengoksidasi pigmen organik
pada gigi. Tujuan bleaching adalah
mengembalikan warna normal gigi dengan
deskolorisasi stain menggunakan bahan
oksidasi yang kuat.4,5
Bahan bleaching yang
sering digunakan pada intracoronal bleaching
adalah natrium perborat.3,4
Natrium perborat
lebih mudah dikontrol dan lebih aman
daripada larutan hidrogen peroksida.3,6
LAPORAN KASUS
Pasien laki-laki berusia 22 tahun datang
ke klinik Konservasi Gigi RSGM Prof.
Soedomo FKG UGM karena gigi depan kanan
atasnya (1.1) patah sejak kelas VI SD (sekitar
usia 12 tahun) akibat jatuh. Saat jatuh gigi
terasa sakit dan berubah posisi, lalu pasien
menggesernya sendiri. Sekitar 1 minggu
sebelum datang ke RSGM gigi terasa ngilu
kalau ditekan. Pasien juga merasa gigi tersebut
warnanya berbeda dengan gigi sebelahnya.
Hasil pemeriksaan klinis pada gigi ini
mengungkapkan adanya fraktur pada sepertiga
insisal distal melibatkan dentin dan terlihat
berubah warna. Tes perkusi dan palpasi positif,
tes vitalitas negatif, dan tidak ada kegoyangan
gigi. Pada radiograf periapeks gigi ini terlihat
fraktur pada 1/3 mahkota gigi, saluran akar
yang relatif lebar dan radiolusensi dengan
batas difus di daerah periapeks Gambaran
radiograf panoramik pasien menunjukkan gigi
geligi lengkap, gambaran radiopak pada
mahkota gigi 46, dan impaksi gigi 38.
G
ambar 1. A. Gambaran klinis gigi 11 sebelum
perawatan, B. Radiograf periapeks praoperatif, C.
Radiograf panoramik.
Berdasarkan pemeriksaan klinis dan
hasil radiografis, diagnosis pada gigi 11 adalah
B A
C
Cakradonya Dent J; 10(2): 113-120
115 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
fraktur Ellis kelas 4 dengan apeks terbuka dan
lesi periapeks disertai diskolorasi intrinsik.
Rencana perawatan adalah apeksifikasi dan
intracoronal bleaching dilanjutkan dengan
restorasi resin komposit kelas IV disertai pasak
fiber siap pakai (prefabricated).
Pada kunjungan pertama setelah
dilakukan pengukuran panjang kerja estimasi
menggunakan radiograf, gigi diisolasi dengan
isolator karet (rubber dam) (Osung). Akses
kavitas dimulai dengan menggunakan bur
metal bulat (MI stainless bur, Mani) sampai
menembus atap pulpa, kemudian dilanjutkan
dengan non end cutting fissure bur
(Diamendo, Denstply) untuk mengangkat
semua atap pulpa. Kemudian, dilakukan
eksplorasi menggunakan pathfinder
(SybronEndo) dan debridement menggunakan
barbed broach (Denstply), dilanjutkan dengan
irigasi saluran akar menggunakan NaOCl 2,5%
dan salin. Panjang kerja ditentukan dengan
menggunakan apex locator (Dentaport ZX,
Morita) dan dikonfirmasi dengan radiograf
periapeks dengan K-file #20 (Dentsply
Maillefer, Switzerland) dalam saluran akar,
diperoleh 21 mm. Preparasi saluran akar
dilakukan dengan teknik konvensional dengan
irigasi setiap pergantian file menggunakan
NaOCl dan salin. Setelah preparasi selesai,
saluran akar diirigasi dengan larutan NaOCl,
salin, dan EDTA 17% (Smear Clear, Sybron
Endo). Saluran akar dikeringkan kemudian
kalsium hidroksida digunakan sebagai
medikamen intrakanal. Kavitas ditumpat
dengan tumpatan sementara (Caviton, GC).
Gambar 2. Radiograf periapeks pengukuran
panjang kerja gigi 11.
Pada kunjungan kedua, yaitu dua
minggu setelah kunjungan pertama, pasien
tidak mengeluhkan sakit. Pada pemeriksaan
klinis terlihat tumpatan sementara masih baik,
perkusi positif, palpasi negatif, dan tidak ada
kegoyangan gigi. Gigi diisolasi dengan isolator
karet, tumpatan sementara dibongkar,
dilanjutkan dengan irigasi yang berulang-ulang
menggunakan NaOCl untuk mengeluarkan dan
membersihkan kalsium hidroksida yang
terdapat di dalam saluran akar. Digunakan juga
endoactivator (Dentsply, Maillefer) untuk
membantu menghilangkan sisa kalsium
hidroksida. Saluran akar dikeringkan dengan
paper point. Mineral trioxide agregate
(ProRoot MTA, Dentsply) diaplikasikan
sebagai bahan apeksifikasi dengan panjang
sekitar 4 mm pada bagian apeks saluran akar.
MTA yang sudah dimasukkan ditekan secara
ringan dengan menggunakan hand plugger
yang diberi rubber stoper. Kemudian kapas
lembap diletakkan di atas MTA, dan
ditinggalkan minimal 4-6 jam agar membantu
proses setting MTA sempurna. Kavitas
ditumpat dengan tumpatan sementara
(Caviton, GC), kemudian dibuat radiograf
periapeks. untuk konfirmasi panjang MTA
pada apeks saluran akar.
Gambar 3.A. Foto klinis yang menunjukkan
pemasangan isolator karet sebelum aplikasi MTA,
3B. Radiograf periapeks gigi 11 menunjukkan
gambaran radiopak (MTA) ujung saluran akar.
Pada kunjungan ketiga, yaitu dua hari
setelah kunjungan kedua, dilakukan obturasi
saluran akar dengan teknik kondensasi lateral
menggunakan gutapercca dan siler resin
(TopSeal, Dentsply), dilanjutkan dengan
aplikasi resin modified glass ionomer cement
(GC) sebagai basis dan ditumpat sementara
menggunakan Caviton. Hasil obturasi dicek
menggunakan radiograf periapeks.
Gambar 4. Radiograf periapeks gigi pasca obturasi.
A B
Cakradonya Dent J; 10(2): 113-120
116 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Kontrol pasca obturasi saluran akar
dilakukan pada kunjungan keempat. Pasien
tidak mengeluhkan adanya rasa sakit. Pada
pemeriksaan klinis terlihat tumpatan sementara
masih baik, perkusi dan palpasi negatif, dan
tidak ada kegoyangan gigi. Pada radiograf
periapeks terlihat saluran akar telah diobturasi
dengan hermetis dan terlihat perbaikan pada
lesi periapeks. Pada kunjungan ini dilakukan
aplikasi bahan bleaching berupa natrium
perborat pada kavitas di mahkota, kemudian di
atas pasta bleaching diletakkan kapas kecil dan
ditumpat sementara dengan Caviton.
Gambar 5. Radiograf periapeks gigi 11 saat kontrol
pasca obturasi.
Pada kunjungan kelima, yaitu 5 hari
setelah kunjungan keempat, warna gigi masih
belum sama dengan gigi kontralateral,
sehingga dilakukan aplikasi ulang bahan
bleaching. Pada kunjungan keenam yaitu 6
hari setelah kunjungan kelima warna gigi
sudah sama dengan gigi kontralateral.
Tindakan selanjutnya adalah area kerja
diisolasi menggunakan isolator karet,
tumpatan sementara dibongkar, dan kapas
serta pasta bleaching dikeluarkan. Setelah itu,
kavitas dibersihkan dari sisa pasta bleaching
dengan irigasi menggunakan air hangat secara
berulang-ulang, kemudian dikeringkan dengan
pelet kapas Akhirnya, kavitas ditutup dengan
kapas kecil dan ditumpat sementara. Pasien
diinstruksikan datang kembali dua minggu
kemudian untuk melanjutkan perawatan.
Gambar 6. Foto klinis gigi 11. A. Sebelum
prosedur bleaching B. Setelah prosedur
bleaching.
Pada kunjungan ketujuh dilakukan
restorasi resin komposit disertai sementasi
pasak fiber siap pakai. Setelah tumpatan
sementara dibongkar, tentukan warna gigi dengan
menggunakan shade guide (Vitapan Classic).
Selanjutnya dilakukan preparasi pada kavitas di
palatal dan pada bagian fraktur 1/3 insisal.
Setelah panjang kerja pasak diperoleh,
gutaperca diambil dengan menggunakan gates
glidden, peeso reamer dan terakhir dengan
precision drill untuk pasak fiber (Fiberpost,
Dentsply) cincin hijau (nomor 4). Sisa siler
yang terdapat di dinding saluran akar
dibersihkan dengan Hedstrom file (Denstply).
Kemudian saluran akar diirigasi dengan salin.
Hasil preparasi saluran pasak dikonfirmasi
dengan radiograf periapeks.
Gambar 7. Radiograf periapeks pengambilan guta
perca pada gigi 11.
Pasak fiber disemenkan ke dalam
saluran pasak menggunakan semen resin.
Pasak tersebut diolesi silane (Ceramic primer,
3M ESPE) dan dibiarkan mengering.
Permukaan yang telah dipreparasi serta saluran
pasak dietsa dengan asam fosfat 37% (Denfil
Etchant-37) kemudian dilanjutkan dengan
aplikasi bahan bonding. Semen resin (Build IT-
FR, Pentron) dimasukkan ke dalam saluran
pasak menggunakan lentulo (Denstply).
Selanjutnya pasak fiber dioles dengan semen
resin dan segera dimasukkan ke dalam saluran
pasak, kemudian ditahan sampai semen resin
mulai mengeras dilanjutkan dengan
penyinaran dengan light curing unit. Restorasi
gigi diselesaikan dengan menggunakan resin
komposit packable. Pengambilan radiograf
dilakukan pasca sementasi pasak fiber dan
restorasi resin komposit. Satu minggu
setelahnya pasien datang untuk kontrol. Tidak
ada keluhan pada pasien dan tidak ada
kelainan pada pemeriksaan klinis. Selanjutnya
pasien diintruksikan untuk kontrol 1 bulan
kemudian dan pasien diberikan edukasi untuk
A B
Cakradonya Dent J; 10(2): 113-120
117 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
selalu menjaga kebersihan rongga mulut dan
kontrol rutin ke dokter gigi.
Gambar 8. Setelah sementasi pasak fiber siap
pakaidan restorasi resin komposit kelas IV pada
gigi 11, A dan B. Foto klinis, C. Radiograf
periapeks
PEMBAHASAN
Apeks terbuka terjadi pada proses
perkembangan akar gigi imatur sampai
penutupan apeks selesai, yaitu sekitar 3 tahun
setelah gigi erupsi. Jika tidak terdapat penyakit
pulpa dan penyakit periapeks maka apeks
terbuka tersebut adalah normal, namun jika
pulpa menjadi nekrosis sebelum pertumbuhan
akar selesai, maka pembentukan dentin dan
perkembangan akar berhenti sehingga apeks
tetap terbuka. Hal ini menyebabkan akar
menjadi pendek dan tipis sehingga dinding
dentin saluran akar lemah. Apeks terbuka juga
bisa terjadi karena hasil resopsi ekstensif pada
apeks yang matur setelah perawatan ortodonsia
atau inflamasi periapeks yang parah.6 Pada
apeks yang terbuka tidak ada barrier yang
menahan material pengisi di ujung apeks
saluran akar sehingga material pengisi dapat
masuk ke dalam jaringan periapeks dan
menyebabkan trauma pada jaringan tersebut.
Tidak adanya apical stop juga dapat
menyebabkan saluran tidak terisi penuh dan
rentan terjadi kebocoran.3
Bergantung pada
vitalitas pulpa, dua pendekatan perawatan
yang dapat dilakukan pada kasus apeks
terbuka adalah apeksogenesis (terapi pulpa
vital) atau apeksifikasi (penutupan ujung
apeks).6 Pada kasus ini gigi permanen
mengalami nekrosis dengan apeks terbuka
pasca trauma, sehingga dilakukan perawatan
apeksifikasi menggunakan MTA. Apeksifikasi
merupakan suatu proses pembentukan barrier
jaringan keras pada ujung akar. Kalsium
hidroksida telah lama digunakan untuk proses
ini, dengan durasi waktu yang terlalu lama
yaitu 12 bulan sampai 24 bulan.2 Waktu yang
lama ini menyebabkan pasien memerlukan
waktu yang cukup lama dengan beberapa kali
kunjungan perawatan dan gigi bisa mengalami
fraktur selama perawatan.6 Barrier yang
terbentuk pada apeksifikasi dengan kalsium
hidroksida tidak sempurna, mempunyai
tampilan swiss cheese dan dapat menyebabkan
kebocoran mikro di apeks sehingga terjadi
reinfeksi. Untuk mengatasi kerugian
penggunaan kalsium hidroksida sebagai
material sealing, maka diperkenalkan dan
digunakanlah MTA sebagai one visit
apexification.2 MTA telah digunakan untuk
membuat barrier jaringan keras dengan cepat
setelah prosedur disinfeksi saluran akar pada
kasus dengan apeks terbuka.3
Material ini
memiliki biokompatibilitas yang bagus dan
kemampuan penutupan yang baik, serta
memiliki pH yang tinggi yang memberikan
sifat antimikroba.6
MTA merupakan salah satu material
yang efektif untuk menutup hubungan
iatrogenik dan patologik antara ruang
endodonsia dan ruang periodontium. Ketika
berkontak dengan jaringan periradikular, MTA
mempunyai kemampuan menginduksi
sementum. MTA menstimulasi produksi
interleukim dan sitokin, sehingga
menghasilkan pembentukan jaringan keras.
MTA plug pada bagian apeks akar mendukung
perbaikan apeks dan mencegah overfilling
saluran akar dan meningkatkan resistensi
fraktur pada gigi imatur.2 MTA mengandung
tricalcium silicate, dicalcium alumino ferrite,
calcium sulphate dan bismuth oxide. Secara
kimia MTA identik dengan semen Portland
kecuali adanya kandungan bismuth oxide yang
meningkatkan radiopasitas dan memodifikasi
reaksi setting MTA. MTA merupakan material
alkali yang mengeras ketika terpajan pada air.
Reaksi setting melibatkan fase hidrasi awal
dengan kelembapan permukaan partikel
dengan larutan dari kalsium sulfat. Kristal dari
calcium aluminium sulphate hydroxide yang
terhidrasi (ettringite) terbentuk pada
permukaan partikel clinker melalu interaksi
dengan tricalcium aluminate. Fase akhir dari
setting ditandai dengan pembentukan kristal
calcium silicate hydrate sepanjang kristal
Cakradonya Dent J; 10(2): 113-120
118 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
ettringite yang membentuk massa yang padat.7
Serbuk MTA dicampur dengan air steril dan
ditempatkan 3 sampai 4 mm pada ujung
apeks.3 Pelet kapas lembap ditempatkan di atas
MTA dan ditinggal minimal 6 jam untuk
membantu proses pengerasan, kemudian
ditutup dengan tumpatan sementara.3,6
Radiograf dibuat untuk mengkorfirmasi bahwa
ujung akar telah terisi dengan MTA.6 Setelah
MTA mengeras, keseluruhan saluran akar
dapat diisi dengan material pengisi.3 Pasien
diinstruksikan untuk datang kembali ketika
MTA telah mengeras untuk obturasi dan
pembuatan restorasi permanen.6 Prosedur
aplikasi MTA tersebut adalah prosedur yang
telah dilakukan pada kasus ini.
Pada kasus ini juga terjadi diskolorasi
gigi. Diskolorasi gigi merupakan perubahan
pada warna atau translusensi gigi yang terjadi
karena suatu penyebab.3 Diskolorasi gigi bisa
bermacam-macam sesuai dengan etiologi,
warna, lokasi, keparahan, dan pelekatan pada
struktur gigi. Diskolorasi gigi diklasifikan
menjadi diskolorasi ekstrinsik dan intrinsik.4,8
Diskolorasi intrinsik terjadi karena adanya
material kromogenik pada email atau dentin
yang masuk baik selama odontogenesis
ataupun setelah erupsi gigi. Diskolorasi
intrinsik yang terjadi setelah erupsi gigi
disebabkan oleh nekrosis pulpa, trauma,
hiperkalsifikasi dentin, karies gigi, material
tumpatan dan prosedur perawatan gigi,
penuaan, serta perubahan fungsional dan
parafungsional.4,5
Pada kasus ini, diskolorasi
terjadi karena nekrosis pulpa atau karena
trauma pada gigi saat pasien jatuh. Nekrosis
pulpa biasanya terjadi karena bakteri, iritasi
mekanis atau iritasi kimia pada pulpa. Produk
nekrosis pulpa ini masuk ke tubulus dentin dan
menyebabkan diskolorasi. Sedangkan pada
kasus trauma gigi, trauma tersebut
menyebabkan perubahan degeneratif pada
pulpa dan email yang dapat mengubah warna
gigi tersebut. Pendarahan pulpa menghasilkan
diskolorasi keabu-abuan. Trauma pada gigi
menyebabkan lisis sel darah merah dan
melepaskan feri sulfida yang masuk ke dalam
tubulus dentin dan mengubah warna gigi.4
Diskolorasi gigi dapat dirawat dengan
pembuatan restorasi vinir, mahkota penuh,
mikroabrasi, makroabrasi, serta bleaching.
Bleaching sering menjadi pilihan perawatan
karena bersifat lebih konservatif, sederhana,
murah dan menghasilkan estetis yang baik jika
mengikuti petunjuk pabrik.6,9,10
Bleaching
merupakan prosedur pencerahan warna gigi
melalui aplikasi bahan kimia untuk
mengoksidasi pigmen organik pada gigi.
Tujuan bleaching adalah mengembalikan
warna normal gigi dengan deskolorisasi stain
menggunakan bahan oksidasi yang sangat
kuat.4,5
Mekanisme bleaching terutama
dihubungkan dengan degradasi molekul
organik kompleks yang mempunyai berat
molekul tinggi, memantulkan cahaya dengan
panjang gelombang spesifik, yang berperan
terhadap warna stain yang terjadi. Degradasi
tersebut menghasilkan molekul dengan berat
molekul rendah dan tersusun dari molekul
yang kurang kompleks, merefleksikan sedikit
cahaya, sehingga mengurangi atau
menghilangkan diskolorasi.4
Teknik bleaching yang digunakan pada
kasus diskolorasi intrinsik adalah intracoronal
bleaching (bleaching pada gigi nonvital).4
Metode yang digunakan pada intracoronal
bleaching adalah teknik termokatalitik dan
teknik walking bleach.6 Teknik walking bleach
merupakan salah satu metode yang biasa
digunakan untuk memutihkan gigi nonvital
atau yang sudah dilakukan perawatan saluran
akar.6 Teknik ini dilakukan dengan cara
aplikasi bahan bleaching pada kamar pulpa
selama beberapa hari.11
Teknik walking bleach
lebih sering digunakan karena lebih nyaman,
dan lebih aman untuk pasien daripada teknik
termokatalitik.6
Natrium perborat (NaBO3)
merupakan bahan bleaching yang banyak
digunakan untuk bleaching intrakoronal.3,4
Natrium perborat tersedia dalam bentuk
bubuk kering yang stabil atau dalam bentuk
gel.3 Natrium perborat masih baru
mengandung perborat 95% dan oksigen
9,9%.3,6
Bahan ini terutama terdiri dari tiga
tipe yaitu natrium perborat monohidrat,
trihidrat, dan tetrahidrat. Ketiga tipe tersebut
mempunyai kandungan oksigen berbeda yang
menentukan kemampuan pemutihannya.3,4,6
Asam, air, dan udara hangat akan memulai
dekomposisi natrium perborat menjadi natrium
metaborat, hidrogen peroksida, dan oksigen
nascent.3 Natrium perborat lebih mudah
dikontrol dan lebih aman daripada larutan
hidrogen peroksida.3,6
Pada kasus ini dengan
intracoronal bleaching teknik bleach
menggunakan bahan natrium perborat.
Cakradonya Dent J; 10(2): 113-120
119 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Restorasi permanen harus dilakukan
setelah bleaching untuk mencegah kebocoran
mikro.9 Restorasi permanen yang baik
merupakan salah satu dasar kesuksesan jangka
panjang karena dapat mencegah kebocoran
mikro koronal dari kavitas akses dan
mencegah risiko diskolorasi terulang kembali
melalui tubulus dentin yang terbuka.
Umumnya resin komposit dapat menjadi
pilihan material tumpatan yang hasilnya
memuaskan.3 Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa diperlukan waktu 24 jam,
1 minggu, 2 minggu atau bahkan 3 minggu
sebelum prosedur adesif dilakukan.9,12
Jika
prosedur bleaching segera diikuti dengan
restorasi adhesif (seperti restorasi dengan resin
komposit) maka hubungan pelekatan pada
struktur gigi dapat terganggu sehingga
menghasilkan kebocoran atau menyebabkan
pembentukan resin tag yang lebih sedikit,
lebih pendek, dan bentuk yang tidak bagus,
karena terhambatnya polimerisasi resin.13
Pada
kasus ini, restorasi resin komposit dilakukan 2
minggu pasca bleaching, agar pelekatan resin
komposit ke struktur gigi tidak terganggu
karena adanya sisa bahan bleaching.
Restorasi permanen yang segera
dilakukan pada gigi pasca perawatan saluran
akar dapat meningkatkan prognosis karena
lebih dapat melindungi gigi dari kemungkinan
fraktur atau kebocoran mahkota.6
Gigi pasca
perawatan saluran akar perlu direstorasi untuk
memberikan coronal seal, mengembalikan
fungsi gigi, dan melindungi sisa gigi dari
fraktur.14
Banyak metode yang sedang
dikembangkan terhadap restorasi pada gigi
pasca perawatan saluran akar yang
dihubungkan dengan teknik adesif.15
Pada
kasus ini gigi direstorasi dengan resin
komposit yang diperkuat dengan pasak fiber.
Pasak fiber bersifat fleksibel di bawah tekanan
dan dapat mendistribusikan tekanan tersebut
dengan baik di antara pasak dan dentin. Selain
itu, pasak fiber silika bersifat tranlusen
sehingga menghasilkan estetik yang baik.16
SIMPULAN
Trauma dapat menyebabkan nekrosis
pulpa, abses apikalis, apeks terbuka dan
diskolorasi intrinsik. Rencana perawatan
disusun dengan tepat agar gigi dapat kembali
berfungsi dan tidak mengganggu estetik
pasien. Penutupan apeks menggunakan MTA
dilanjutkan dengan intracoronal bleaching
menunjukkan kesuksesan pada kasus ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soares AJ, Souza GA, Pereira AC, Neto
JV, Zaia AA at al. Frequency of root
resorption following trauma to permanent
teeth. Journal of Oral Science 2015; 57
(2): 73-78.
2. Kakani AK, Chandrasekhar V, Muralidhar
T, Chandrakanth M, Rakesh D. Mineral
Trioxide Aggregate as an Apical Plug
Material in Tooth with Open Apex: A
Case Report. International Journal of
Scientific Study 2015; 2 (11): 218-221.
3. Lin LM, Huang GTJ. Pathobiology of
Apical Periodontitis. Dalam: Hargreaves
KM, Berman LH (Eds). Cohen’s Pathways
of the Pulp, 11th ed. St. Louis: Elsevier.
2011: 630-632
4. Garg N, Garg A. Textbook of Endodontics,
3rd
ed. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers. 2014: 492-497.
5. Chandra BS, Krishna V.G. Grossman’s
Endodontic Practice, 12th ed. New Delhi:
Lippincott. 2010: 342-348.
6. Torabinejad M, Walton RE. Endodontics
Principles and Practice, 4th ed. St. Louis:
Sauders. 2009: 22, 29-32, 391-398.
7. McCabe JF, Walls AWG. Applied Dental
Material, 9th ed. Oxford: Blackwell
Publishing Ltd. 2011: 293-294.
8. Perchyonok VT, Grobler SR. Tooth-
bleaching: Mechanism, Biological Aspects
and Antioxidants. International Journal of
Dentistry and Oral Health 2015; 1-5.
9. Freire A, Durski MT, Ingberman M,
Nakao LS, Souza EM, Vieira S. Assessing
the use of 35 percent sodium ascorbate for
removal of residual hydrogen peroxide
after in-office tooth bleaching. J Am Dent
Assoc 2011; 142 (7): 836-842.
10. Solomon AV, Byragoni C, Jain A, Juvvadi
Y, Babu R. An In Vitro Evaluation of
Microhardness of Different Direct Resin-
Based Restorative Materials on Using 10%
Carbamide Peroxide Gel as a Bleaching
Agent. Journal of Oral Research and
Review 2016; 8(2): 59-64.
11. Rokaya ME, Beshr K, Mahram AH, Pedir
SS, Baroudi K. Evaluation of
Extraradicular Diffusion of Hydrogen
Peroxide during Intracoronal Bleaching
Cakradonya Dent J; 10(2): 113-120
120 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Using Different Bleaching Agents.
International Journal of Dentistry 2015: 1-
7
12. Murad CG, de Andrade SN, Disconzi LR,
Munchow EA, Piva E, at al. Influence of
10% Sodium Ascorbate Gel Application
Time on Composite Bond Strength to
Bleached Bnamel. Acta Biomaterialia
Odontologica Scandinavica 2016; 2:49-54
13. Briso ALF, Toseto RM, Rahal V, Santos
PH, Ambrosano GMB. Effect of Sodium
Ascorbate on Tag Formation in Bleached
Enamel. J Adhes Dent. 2012; 14: 19-23.
14. Qualtrough AJE, Satterthwaite JD,
Morrow LA, Brunton PA. Principles of
Operative Dentistry. Munksgaard:
Blackwell. 2005; 93.
15. Chong BS. Harty’s Endodontics in
Clinical Practice, 6th ed. Edinburg,
London, New York, Oxford: Churchill
Livingstone Elsevier. 2010; 269-270.
16. Bateman G, Ricketts DNJ, Sauders WP.
Fibre-based Post Systems: a Review. Br
Dent J 2003; 195 (1): 43-48.
Cakradonya Dent J; 10(2): 121-128
121 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
PERBANDINGAN TINGKAT KEBOCORAN MIKRO ANTARA RESIN
KOMPOSIT DAN GLASS IONOMER CEMENT SEBAGAI BAHAN
PENUTUPAN FISURA
(EVALUASI IN-VITRO SETELAH SATU BULAN APLIKASI)
COMPARISON OF MICROLEAKAGE BETWEEN COMPOSITE RESIN
AND GLASS IONOMER CEMENT (GIC) AS FISSURE SEALANT
MATERIAL THROUGH IN VITRO
(IN-VITRO EVALUATION AFTER ONE MONTH APPLICATION)
Iin Sundari, Viona Diansari, Eka Julianti
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Correspondence email to: rh_iin@yahoo.com
ABSTRAK
Penutupan fisura merupakan metode pencegahan non-invasif yang efektif pada permukaaan gigi
dengan pit dan fisura yang dalam dan sempit untuk mencegah terjadinya karies. Bahan penutupan
fisura yang sering digunakan adalah resin komposit dan Glass Ionomer Cement (GIC). Penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang perbandingan tingkat kebocoran mikro antara resin
komposit dan GIC sebagai bahan penutupan fisura melalui evaluasi in vitro setelah satu bulan
aplikasi. Spesimen penelitian berjumlah 16 gigi premolar rahang atas dengan pit dan fisura yang
dalam dan sempit. Spesimen ini dikelompokkan menjadi 2 kelompok perlakuan. Kelompok pertama
menggunakan resin komposit (3M ESPE Clinpro) dan kelompok kedua menggunakan GIC (Fuji VII).
Spesimen dilakukan pengkondisian selama satu bulan didalam inkubator dan direndam dalam larutan
methilene blue 5% selama 24 jam. Spesimen kemudian diamati dengan menggunakan stereo
mikroskop dan diukur tingkat kebocorannya. Skor kebocoran mikro menggunakan penetrasi dye
dengan tiga kriteria skor yaitu 0, 1, dan 2. Data dianalisis menggunakan statistik nonparametrik (uji
Mann Whitney). Hasil analisis menunjukkan terdapat perbedaan skor kebocoran mikro yang
signifikan antara bahan penutupan fisura resin komposit dan GIC (p<0,05). Kelompok penutupan
fisura dengan resin komposit memiliki rerata skor kebocoran mikro lebih kecil (0,25) dibandingkan
kelompok penutupan fisura dengan GIC (1,875) setelah penutupan fisura satu bulan.
Kata Kunci : Penutupan fisura, resin komposit, GIC.
ABSTRACT
Fissure sealant is non-invasive method of prevention which effective of a tooth that has pits and
fissures of teeth deep and narrow to prevent dental caries. Fissure sealant materials used are
composite resin material and GIC. Purpose of this study was to obtain information about comparison
of microleakage between composite resin and glass ionomer cement (GIC) as fissure sealant material
through in vitro evaluation after one month application. Specimens were 16 maxillary premolars with
deep and narrow pits and fissures. Specimens divided into two treatment groups. First group uses
composite resin (3M ESPE Clinpro) and second group uses GIC (Fuji VII). Specimens were
conditioning for one month in incubator and immersed in 5% methylene blue solution for 24 hours.
Specimens research observed using stereo microscope and measured levels of microleakage. Scores
microleakage using dye penetration with three criteria score was 0, 1, and 2. Data analyzed using
nonparametric statistics (Mann Whitney test). Analysis results showed that significant difference
scores between the microleakage of fissure sealant material composite resin and GIC (p <0.05). Group
fissure sealant with composite resin had a smaller mean score of microleakage (0.25) compared with
group fissure sealant with GIC (1.875) after sealant fissure for one month.
Keywords: fissures sealant, composite resin, GIC.
Cakradonya Dent J; 10(2): 121-128
122 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
LATAR BELAKANG
Penelitian Kristina G (2015)
menyatakan bahwa karies pada permukaan
oklusal mencapai 90%.1 Karies permukaan
oklusal yang tinggi dihubungkan dengan
morfologi pit dan fisura gigi yang dalam dan
sempit karena dapat menjadi tempat retensi
sisa makanan dan bakteri serta sulit untuk
dilakukan tindakan pemeliharaan kebersihan.2,3
Bentuk dan morfologi pit dan fisura gigi yang
dalam dan sempit juga dapat menyebabkan
menurunnya akses saliva ke dalam pit dan
fisura sehingga proses remineralisasi pada pit
dan fisura menurun.4,5
Menurunnya akses
saliva ke dalam pit dan fisura dapat menjadi
faktor predisposisi karies pada area tersebut
sehingga membutuhkan tindakan pencegahan.5
Tindakan pencegahan karies pada area
pit dan fisura adalah penutupan fisura.2
Penutupan fisura sangat direkomendasikan
karena mempunyai kemampuan untuk
membentuk lapisan pelindung fisik dan dapat
mencegah terjadinya akumulasi plak pada pit
dan fisura gigi serta menghambat pertumbuhan
mikroorganisme kariogenik.5,6
Bahan yang ideal untuk penutupan
fisura harus memiliki kemampuan retensi dan
resistensi yang baik pada permukaan gigi,
biokompatibilitas yang baik, metode aplikasi
yang sederhana dan viskositas yang rendah
untuk mendapatkan penetrasi lebih baik pada
pit dan fisura gigi yang dalam dan sempit serta
tingkat kelarutan yang rendah dalam rongga
mulut.7-8
Bahan penutupan fisura yang paling
sering digunakan adalah sealant berbasis resin
dengan komposisi utama bisphenol A-glycidyl
methacrylate (bis-GMA) dan Glass Ionomer
Cement (GIC).7
Keberhasilan teknik penutupan fisura
tergantung pada cara mendapatkan dan
mempertahankan adaptasi bahan penutupan
fisura terhadap permukaan gigi seperti
penutupan bagian tepi.9
Penutupan yang
kurang baik dapat menyebabkan kebocoran
mikro melalui permukaan di antara bahan
penutup fisura dan gigi sehingga dapat
menyebabkan terjadinya karies di bawah
restorasi dan terjadi kegagalan perawatan.8,9
Penelitian sebelumnya yang dilakukan
Jayadi (2015) mengenai evaluasi in-vitro
kebocoran mikro pada bahan penutupan fisura
berbasis resin komposit dan GIC,
menunjukkan bahwa skor kebocoran mikro
bahan penutupan fisura GIC lebih tinggi
dibandingkan dengan resin komposit setelah
aplikasi selama 24 jam, resin komposit
memiliki rerata skor kebocoran mikro lebih
kecil yaitu 0,13 sedangkan kelompok
penutupan fisura dengan GIC memiliki rerata
skor kebocoran mikro lebih besar yaitu 1,63.10
Proses maturasi GIC terjadi setelah 24 jam,
namun peningkatan kekuatan ikatan dan
modulus young’s berlanjut selama beberapa
bulan karena terjadi difusi kation menuju
lokasi asam. Peningkatan nilai kekuatan ikatan
GIC setelah satu bulan diperkirakan dapat
menurunkan nilai kebocoran mikro.11
Penelitian Baygin dkk, (2011) menyatakan
bahwa terdapat hasil kebocoran mikro yang
signifikan pada resin komposit dengan
menggunakan berbagai surface treatment
setelah satu bulan.12
Berdasarkan uraian di atas, maka
penulis tertarik untuk meneliti perbandingan
tingkat kebocoran mikro antara resin komposit
dan GIC sebagai bahan penutupan fisura
setelah satu bulan pengkondisian di dalam
inkubator pada temperatur 370C.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini bersifat eksperimental
laboratoris dengan metode Post-test Only
Design yang dilakukan di ruang Skill’s
Laboratorium Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Syiah Kuala dan Laboratorium
FKIP Biologi Universitas Syiah Kuala pada
bulan September 2016. Spesimen yang
digunakan adalah gigi premolar rahang atas
yang memenuhi kriteria yaitu gigi premolar
rahang atas yang memiliki pit dan fisura
dalam dan sempit serta tidak terdapat karies.13
Gigi kemudian direndam dalam larutan saline
sampai saat dilakukan penelitian. Jumlah
spesimen penelitian dihitung dengan
menggunakan rumus Eksperimental
Laboratoris menurut Federer. Spesimen
berjumlah 16 gigi yang dibagi menjadi dua
kelompok yaitu kelompok 1 (resin komposit)
dan kelompok 2 (GIC) dengan masing-masing
kelompok terdiri dari 8 gigi.
Gigi premolar rahang atas dibersihkan
dengan air dan direndam dalam larutan saline.
Gigi kemudian diperiksa dengan menggunakan
sonde untuk menentukan kedalaman pit dan
fisuranya. Gigi yang memiliki pit dan fisura
yang dangkal dan lebar tidak akan menyangkut
Cakradonya Dent J; 10(2): 121-128
123 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
apabila sonde dijalankan disepanjang pit dan
fisura gigi, namun pada gigi yang memiliki pit
dan fisura gigi yang dalam dan sempit sonde
akan menyangkut saat dijalankan.
Gigi kemudian dibersihkan dengan
polishing brush low speed. Gigi dibagi
menjadi dua kelompok dengan 8 gigi pada tiap
kelompoknya. Kelompok 1 diaplikasikan
bahan penutupan fisura resin komposit. Gigi
dietsa dengan menggunakan asam phosphat
37% selama 20 detik.1,14
Gigi yang telah dietsa
selanjutnya dibersihkan dengan menggunakan
semprotan air dan dikeringkan dengan
menggunakan semprotan angin selama 10
detik.28
Gigi yang telah bersih kemudian
diaplikasikan resin komposit dan disinari
selama 20 detik dengan alat curing.1,15
Kelompok 2 diaplikasikan bahan
penutupan fisura GIC. Gigi diberi aplikasi
dentin conditioner (polyacrilic acid 10%) dan
dibiarkan selama 20 detik.1,16
Gigi yang telah
diaplikasikan dentin conditioner dibersihkan
dengan semprotan air dan dikeringkan dengan
kapas selama 20 detik.17
Bahan GIC dengan
merek Fuji VII dimanipulasi pada paper pad
yang diletakkan diatas mixing slab dengan
komposisi pengadukan powder dan liquid 1:1
selama 25 detik, waktu kerja selama 2 menit
10 detik dan waktu pengerasan selama 3
menit. Bahan GIC diaplikasikan menggunakan
semen spatula plastik, lalu dioleskan selapis
tipis GC Fuji varnish.12,16
Gigi yang telah diaplikasikan bahan
penutupan fisura diletakkan dalam wadah
plastik diatas kapas basah dan disimpan dalam
inkubator selama satu bulan pada suhu 37oC
dipertahankan kelembabannya agar tetap
seperti keadaan dalam rongga mulut.
Kelembaban dapat dijaga dengan
mempertahankan keadaan kapas agar tetap
dalam keadaan basah. Kapas basah diganti
pada hari ke-15. Isolasi daerah kerja dilakukan
setelah satu bulan pengkondisian spesimen
dalam inkubator pada suhu 370C. Gigi diisolasi
dengan cara diolesi varnish kuku diseluruh
permukaan gigi kecuali pada bahan penutupan
fisura lebih kurang 1 mm disekelilingnya.2,18
Gigi selanjutnya direndam dalam larutan
methylene blue 5% selama 24 jam.1Gigi
kemudian dicuci dan dikeringkan. Gigi dibelah
menggunakan carborundum disc dengan arah
buko-lingual melewati penutupan fisura
menjadi dua bagian.18
Pemeriksaan spesimen dilakukan dengan
melihat tingkat kebocoran mikro pada kedua
sisi gigi yang telah dibelah menggunakan
stereo mikroskop.19
Hasil pengujian diukur
berdasarkan penetrasi dye menurut Hevinga
dkk. sit Christiono S. (2011) skor penetrasi dye
dikriteriakan menjadi tiga yaitu; 18
skor 0 : Tidak ada penetrasi dari larutan
pewarna, skor 1 : Penetrasi larutan pada bagian
setengah dari bagian permukaan antara
penutupan fisura dan struktur gigi, dan skor 2 :
Penetrasi larutan pewarna lebih dari setengah
dari seluruh permukaan penutupan fisura.
Hasil pengujian tingkat kebocoran
mikro pada bahan penutupan fisura dianalisis
menggunakan Statistical Package for Social
Sciences (SPSS) dengan uji Mann-Whitney.
HASIL
Hasil pengukuran rerata skor kebocoran
mikro pada kelompok 1 yaitu penutupan fisura
dengan bahan resin komposit (3M ESPE
Clinpro) dan kelompok 2 yaitu penutupan
fisura dengan bahan GIC (Fuji VII). (Tabel 1)
Tabel 1. Hasil pengukuran skor kebocoran mikro
tiap spesimen setelah satu bulan pengkondisian di
dalam inkubator pada temperatur 370C
No Spesimen Kelompok 1
( Resin Komposit)
Kelompok 2
(GIC)
1A 0 2
1B 0 2
2A 0 2
2B 0 2
3A 0 2
3B 0 2
4A 0 2
4B 0 2
5A 0 2
5B 2 2
6A 0 2
6B 0 2
7A 0 2
7B 2 2
8A 0 1
8B 0 1
Hasil analisis uji Mann-Whitney
menunjukkan bahwa adanya perbedaan skor
kebocoran mikro yang signifikan antara
penutupan fisura dengan bahan resin komposit
dan bahan GIC dengan nilai p=0,000 (p<0,05).
Cakradonya Dent J; 10(2): 121-128
124 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Kelompok penutupan fisura dengan resin
komposit memiliki rerata skor kebocoran
mikro lebih kecil yaitu 0,25 sedangkan
kelompok penutupan fisura dengan GIC
memiliki rerata skor kebocoran mikro lebih
besar yaitu 1,875 (Tabel 2). Data tersebut
menunjukkan bahwa skor kebocoran mikro
pada kelompok penutupan fisura dengan resin
komposit lebih kecil daripada kelompok
penutupan fisura dengan GIC.
Tabel 2.Persentase dan rerata skor kebocoran
mikro pada kelompok 1 Resin Komposit dan 2
GIC setelah satu bulan pengkondisian di dalam
inkubator pada temperatur 370C.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil uji statistik non
parametrik Mann-Whitney untuk melihat
perbandingan tingkat kebocoran mikro antara
bahan penutupan fisura berbasis resin dan GIC
setelah satu bulan aplikasi bahan penutupan
fisura melalui evaluasi in vitro didapatkan
hasil yang menunjukkan adanya perbedaan
kebocoran mikro yang signifikan antara
kelompok 1 yang menggunakan bahan
penutupan fisura resin komposit dan kelompok
2 yang menggunakan GIC sebagai bahan
penutupan fisura dengan p<0,05.
Penutupan fisura dengan bahan resin
komposit memiliki tingkat kebocoran mikro
yang lebih rendah dibandingkan GIC setelah
satu bulan pengkondisian. Rerata kebocoran
mikro resin komposit yaitu 0,25 dan rerata
kebocoran mikro GIC yaitu 1,875. Perbedaan
rerata skor kebocoran mikro yang signifikan
diduga karena perbedaan sifat kedua bahan
penutupan fisura tersebut. Penelitian
sebelumnya telah dilakukan Jayadi (2015)
mengenai evaluasi in-vitro kebocoran mikro
pada bahan penutupan fisura berbasis resin
komposit dan GIC setelah aplikasi selama 24
jam, menunjukkan bahwa skor kebocoran
mikro bahan penutupan fisura resin komposit
yaitu 0,13 sedangkan GIC yaitu
1,63.10
Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat
bahwa nilai kebocoran mikro bahan penutupan
fisura resin komposit dan GIC mengalami
peningkatan setelah satu bulan. Bahan
penutupan fisura resin komposit mengalami
peningkatan hampir dua kali lipat sebesar 0,12
sedangkan bahan penutupan fisura GIC
mengalami sedikit peningkatan sebesar 0,245.
Peningkatan nilai kebocoran mikro GIC
yang kecil diduga karena GIC terus menerus
melepaskan fluor dan proses maturasi GIC
yang terus berlanjut hingga beberapa bulan.
Pertukaran ion bahan penutupan fisura GIC
yang terus berlanjut selama satu bulan
menyebabkan terjadinya difusi ion secara terus
menerus antara permukaan gigi dengan bahan
penutupan fisura GIC sehingga peningkatan
kekuatan ikatan setelah satu bulan aplikasi
bahan penutupan fisura lebih baik
dibandingkan setelah 24 jam.
Peningkatan ikatan antara struktur gigi
dengan bahan penutupan fisura GIC tidak
dapat dilihat menggunakan stereomikroskop.
Berdasarkan hasil penelitian ini peningkatan
kekuatan ikatan GIC dengan struktur gigi
diduga tidak begitu berperan menurunkan nilai
kebocoran mikro GIC. Hal ini menyebabkan
skor kebocoran mikro GIC lebih besar
dibandingkan dengan resin komposit.
Peningkatan nilai kebocoran mikro resin
komposit lebih besar dibandingkan kebocoran
mikro setelah 24 jam, disebabkan karena resin
komposit 3M ESPE Clinpro mengalami
penurunan retensi setelah satu bulan. Hal ini
diduga dapat meningkatkan nilai kebocoran
mikro bahan penutupan fisura resin komposit.
Nilai kebocoran mikro resin komposit tersebut
tetap memiliki nilai yang lebih kecil
dibandingkan dengan nilai kebocoran mikro
GIC. Persentase skor kebocoran mikro bahan
penutupan fisura setelah satu bulan aplikasi
fisura dapat dilihat pada bar diagram. Skor
kebocoran mikro resin komposit (3M ESPE
Clinpro) yaitu skor 0 sebesar 87,5% dan skor 2
sebesar 12,5%. Skor kebocoran mikro GIC
(Fuji VII) yaitu skor 1 sebesar 12,5% dan skor
2 sebesar 87,5%.
Kelompok Skor Kebocoran Mikro
n
Rerata
skor
kebocoran
mikro
0 1 2 x ± SD
Kelompok 1
RK (%) 87,5 0 12,5 16
0,25 ±
0,68313
Kelompok 2
GIC (%) 0 12,5 87,5 16
1,875 ±
0,34157
Total 87,5 12,5 100 32
Cakradonya Dent J; 10(2): 121-128
125 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Gambar 1. Diagram Persentase Skor Kebocoran
Mikro Resin Komposit dan Glass Ionomer Cement
(GIC)
Bahan penutupan fisura resin komposit
(3M ESPE Clinpro) bersifat lebih flowable
atau mudah mengalir dibandingkan dengan
bahan penutupan fisura GIC (Fuji VII).
Perbedaan sifat ini jelas menyebabkan tingkat
kebocoran mikro bahan penutupan fisura resin
komposit (3M ESPE Clinpro) lebih rendah
dibandingkan dengan GIC (Fuji VII). Hal ini
menyebabkan resin komposit memiliki retensi
dan resistensi yang baik karena dapat mengalir
dengan mudah ke pit dan fisura yang dalam
dan sempit. Resin komposit (3M ESPE
Clinpro) berisi Bis-GMA (Bisphenol A
Diglycidyl methacrylate) dan TEGDMA
(Triethylene glycol dimethacrylate) serta tanpa
bahan pengisi. Kandungan TEGDMA
(Triethylene glycol dimethacrylate) yang lebih
banyak menyebabkan resin komposit ini
bersifat lebih encer dan mudah mengalir.5
Retensi dan resistensi bahan penutupan fisura
resin komposit membuat resin komposit
memiliki ketahanan untuk tetap berada di
permukaan pit dan fisura gigi dengan
membentuk perlekatan di antara bahan
penutupan fisura dan permukaan gigi, di sisi
lain morfologi pit dan fisura gigi yang dalam
dan sempit memungkinkan resin komposit
tetap berada di permukaan pit dan fisura gigi
walaupun terkena beban kunyah. Penelitian
Joshi K (2013) mengatakan bahwa bahan
penutupan fisura berbasis resin komposit
(Helioseal) yang tidak memiliki bahan pengisi
merupakan material paling baik sebagai bahan
penutupan fisura dibandingkan dengan yang
lainnya yaitu compomer (Compoglass flow)
yang mengandung bahan pengisi dan GIC.5
Resin komposit (3M ESPE Clinpro)
berikatan secara kimia dan mikromekanik
dengan struktur gigi. Baik atau tidaknya ikatan
yang dibentuk oleh bahan penutupan fisura
terhadap struktur gigi menentukan efisiensi
penutupan pit dan fisura. Resin komposit (3M
ESPE Clinpro) yang digunakan pada penelitian
ini telah mengandung molekul sodium
monofluoro phosphate (Na2P03F). Menurut
Veiga dkk., (2014) kandungan sodium
monofluoro phosphate (Na2P03F) pada resin
komposit menyebabkan ikatan kimia resin
komposit lebih baik dibandingkan resin
komposit yang tidak mengandung fluor.1
Kandungan sodium monofluoro
phosphate (Na2P03F) pada polimer matriks
resin komposit diduga dapat meningkatkan
ikatan kimia antara resin komposit dan
permukaan gigi karena dapat melepaskan ion
fluor (F-). Ion fluor yang dilepaskan akan
berikatan dengan hidroksi apatit
(Ca10(PO4)6(OH)2) pada permukaan gigi
dengan cara ion F- yang dilepaskan dari
sodium monofluoro phosphate membentuk
ikatan ionik dengan (Ca10(PO4)6(OH)2) yang
telah melepaskan molekul (OH)2 sehingga
terbentuk molekul baru yang disebut fluoro
apatit (Ca10(PO4)6F2).5
Resin komposit yang digunakan pada
penelitian ini diduga berikatan secara
mikromekanik. Ikatan mikromekanik
diperoleh setelah pengaplikasian etsa asam
pada permukaan email gigi. Etsa asam dengan
menggunakan asam phosphate 37% akan
menyebabkan hidroksiapatit larut. Hal tersebut
berpengaruh terhadap hilangnya prisma email
dibagian tepi, inti prisma dan menghasilkan
bentuk yang tidak spesifik dari struktur prisma.
Kondisi tersebut menghasilkan pori-pori kecil
pada permukaan email yaitu tempat resin
komposit akan mengalir bila ditempatkan pada
permukaan gigi. Resin komposit akan mengisi
mikroporositas yang terbentuk setelah
pengaplikasian etsa asam membentuk resin tag
sehingga membuat resin komposit memiliki
retensi dan ikatan sangat kuat pada permukaan
gigi yang dalam dan sempit.5Resin komposit
(3M ESPE Clinpro) dipolimerisasi dengan alat
visible light cure (VLC) dengan sinar LED.
Proses polimerisasi resin komposit
dengan aktivasi cahaya terjadi selama
penyinaran (light reaction) dan setelah
penyinaran (dark reaction). Light reaction
terjadi ketika unit penyinaran berpenetrasi
pada permukaan resin komposit sedangkan
dark reaction atau post-polimerization dimulai
Cakradonya Dent J; 10(2): 121-128
126 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
segera setelah penyinaran dan terus berlanjut
hingga 24 jam. Dark reaction sebagian besar
terjadi selama 10-15 menit setelah penyinaran.
Hasil penelitian Lange dkk., (1980)
menyatakan bahwa dark reaction dapat
meningkatkan kekerasan resin komposit yang
diaktivasi oleh cahaya antara waktu 1 dan 24
jam. Kekerasan maksimum resin komposit
didapat dalam waktu 24 jam karena
polimerisasi maksimum resin komposit terjadi
selama 24 jam menurut Lange dkk Cit.
Mohammad dkk (2007).19
Polimerisasi cahaya
resin komposit (3M ESPE Clinpro) memiliki
keuntungan yaitu proses pengerasan yang
cepat dan dapat dikontrol sehingga dapat
menyebabkan peningkatan sifat fisik dan
mekanik resin komposit dibandingkan GIC.
Hal ini diduga dapat menyebabkan kebocoran
mikro resin komposit lebih rendah
dibandingkan GIC yang mengalami maturasi
sempurna setelah beberapa bulan. Polimerisasi
cahaya resin komposit dapat menyebabkan
pengkerutan (shrinkage) yang dapat memicu
kebocoran mikro pada penutupan fisura
menurut Santos dkk (2006), namun
berdasarkan penelitian ini hanya sedikit yang
mengalami kebocoran mikro.20
Resin komposit 3M ESPE Clinpro
merupakan resin komposit yang tidak
mengandung bahan pengisi (unfilled). Bahan
pengisi pada resin komposit berfungsi untuk
menurunkan penyerapan air dan koefisien
termal ekspansi resin komposit. Tidak adanya
bahan pengisi pada resin komposit ini
menyebabkan penyerapan air dan koefisien
termal ekspansi resin komposit lebih tinggi
sehingga kemungkinan terjadinya kebocoran
mikro, namun berdasarkan hasil penelitian ini
kebocoran mikro bahan penutupan fisura resin
komposit 3M ESPE Clinpro hanya sedikit.
GIC juga dapat digunakan sebagai
bahan penutupan fisura walaupun pada uji
kebocoran mikro GIC memperoleh nilai
kebocoran mikro lebih tinggi.
Bahan penutupan fisura GIC dapat
melepaskan fluor secara terus menerus
sehingga memiliki sifat biokompatibilitas
sangat baik dibandingkan dengan bahan
penutupan fisura resin komposit. Fluor yang
dilepaskan bahan penutupan fisura GIC
menyebabkan bahan penutupan fisura GIC
sangat baik dalam mencegah terjadinya karies
gigi. Bahan penutupan fisura GIC juga dapat
membentuk ikatan kimia dengan struktur gigi
seperti resin komposit. Hal tersebut karena
GIC juga memiliki kandungan fluor-oalumino
silicateglass sehingga GIC juga dapat
melepaskan ion fluor yang akan berikatan
dengan hidroksi apatit (Ca10(PO4)6(OH)2) pada
permukaan gigi. Ion fluor (F-) yang dilepaskan
dari fluoro-alumino silicateglass membentuk
ikatan ionik dengan (Ca10(PO4)6(OH)2) yang
telah melepaskan molekul (OH)2 sehingga
terbentuk molekul baru yang disebut fluor-
apatit (Ca10(PO4)6F2).
Ikatan antara struktur gigi dan GIC
dikondisikan dengan bantuan dentin
conditioner. Komposisi dentin conditioner
yang digunakan pada penelitian ini adalah
polyacriylc acid 10%. Dentin conditioner
diaplikasikan selama 20 detik sesuai petunjuk
penggunaan dan kemudian dibilas dengan air.
Hal itu diduga dapat membantu meningkatkan
kekuatan ikatan GIC pada gigi. Dentin
conditioner berperan menghilangkan smear
layer dan kontaminasi permukaan (kotoran)
tanpa membuka tubulus dentin sehingga dapat
meningkatkan ikatan atau adhesi ke
permukaan gigi, terutama permukaan dentin
berdasarkan penelitian Mazaheri dkk (2015).21
Bahan penutupan fisura juga dilindungi dari
kontaminasi cairan rongga mulut dengan
aplikasi varnish setelah ditumpatkan pada pit
dan fisura gigi. Varnish juga berperan menjaga
GIC agar tidak mengalami dehidrasi selama
proses pengerasan sehingga GIC tetap
memiliki sifat fisik yang baik.
GIC Fuji VII yang digunakan pada
penelitian ini secara fisik terlihat lebih kental
jika dibandingkan dengan resin komposit.
Bahan penutupan fisura GIC yang kental sulit
mengalir pada pit dan fisura gigi yang dalam
dan sempit karena semakin kental suatu bahan
maka semakin sulit untuk mengalir.
Kemampuan mengalir bahan penutupan fisura
GIC pada permukaan pit dan fisura gigi yang
dalam dan sempit menjadi kurang baik karena
sifatnya yang lebih kental. Hal ini dapat
mempengaruhi perlekatan GIC dengan
permukaan gigi. Semakin kental bahan
penutupan fisura semakin tidak baik
perlekatannya.
SIMPULAN
Terdapat perbedaan tingkat kebocoran
mikro yang signifikan antara resin komposit
Cakradonya Dent J; 10(2): 121-128
127 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
dan GIC sebagai bahan penutupan fisura yaitu
rerata skor kebocoran mikro pada resin
komposit lebih rendah dan GIC memiliki
rerata skor kebocoran mikro yang lebih tinggi
setelah dilakukan aplikasi bahan penutupan
fisura selama satu bulan. Pada penelitian ini
bahan penutupan fisura berbasis resin
menunjukkan retensi lebih baik dibandingkan
dengan bahan penutupan fisura GIC.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kristina G. Fissure Sealing In Occlusal
Caries Preventionin. INTECH. 2015.
p.1-28.
2. Markovic D, dkk. Mikroleakage,
adaptation ability and clinical efficacy
of two fluoride releasing fissure
sealants. Vojnosanit Pregl
Journal.2012;69(4):320-5.
3. Khodadadi E, Esmaeili B, Karimian N,
Khafri S. Evaluation of microleakage of
ionoseal filling material as a fissure
sealant agent. Caspian J of Dent
Res.2014;3:39-45.
4. Fernandes KS, Chalakkal P, Ataide I N,
Pavaskar R, Fernandes PP, and Soni H.
A comparison between three different
pit and fissure sealants with regard to
marginal integrity.J Conserv
Dent.2012;15(2):146–50.
5. Ninawe N, Ullal NA, and Khandelwal
V. A 1-year clinical evaluation of
fissure sealant on permanent first
molars.ContempClin Dent J.
2012;3(1):54–9.
6. Deshpande, A, Urvashi S, Seema B,
Poonacha KS, Manoj K, Neelam J. Six
months clinical performance of self
etch-self adhesiveflowable composite
and conventional pit-and-fissure
sealants in 7 to 10 year old children. J of
Advance Mel and Dent Sci Res.
2016;4(2):96-101.
7. El-Yazeed AM., Zeid AW, Zaazou M.
Effect of different enamel pretreatment
techniques for pit and fissure sealing in
primary and permanent teeth. Aust J of
Basic and Applied Sci. 2013;7(2):895-9.
8. Veiga NJ, Ferreira PC, Correia PI,
Carlos M. Fissure sealants:a review of
their importance in preventive dentistry.
Health Sciences Department
Universidade Católica Portuguesa J.
2014;13(4):987-93.
9. El- Din MK, El Motayam, Fouad WA,
and Youssef R. Assessment and
comparison of nanoleakage and resin
tag length of three different pit and
fissure sealants: an in-vitro scanning
electron microscope study. J of
American Sci. 2013;9(5):329-37.
10. Jayadi D. Perbandingan tingkat
kebocoran mikro antara resin komposit
dan glass ionomer cement sebagai bahan
penutupan fisura. Banda Aceh: Unsyiah,
2015. 21-2. Skripsi.
11. Khoroushi M dan Fateme K. A review
of glass-ionomers: from conventional
glass-ionomer to bioactive glass-
ionomer. Dent res J. 2013;10(4):411-20.
12. Baygin O, Fatih MK, Tamer T,
Mehmet T. The effect of different
enamel surface treatments on the
microleakage of fissure
sealants.Springer. 2011;27(1):153-60.
13. Mehran M, Hojjati ST, Bahal NS.
Comparative evaluation of microleakage
of resin sealant after conventional acid-
etch tehnique, two component self-etch
and one-component total-etch adhesives
an in-vitro study. Int. Dent. Clin J.
2014;7(2):1-3
14. Mount, GJ; Hume,WR. Preservation
and Restoration of Tooth Structure. 2nd
Ed. Queensland : Knowledge Books and
Software; 2005. p. 164-6, 184-8.
15. Sakaguchi RD, Power JM. Craig's
Restorative Dental Material. 13stEd.
United State: Mosby Elsevier; 2012. p.
148-52,162-80,259,340.
16. Cabe JFM, Walls AWG. Applied Dental
Material. 9thEd. UK: Blackwell
Munksgaard; 2008.p197-8,200,206-
9,212,248-52,285,303.
17. Spiller, Martin S. Dental Composites: A
Comprehensive Review Updated 2015.
Academy-Dental Learning & OSHA
Training is an ADA CERP Recognized
provider; 2015. p. 19-22.
18. Christiono S. Efektivitas resin bis-
gmasebegaibahan fissure sealant pada
perubahan suhu dalam mengurangi
kebocoran tepi. Unissula Sultan Agung
J. 2011;49(124):1-9.
19. D, Mohamad, Young RJ, Mann AB,
Watts DC. Original article post-
polymerization of dental resin
composite evaluated with
Cakradonya Dent J; 10(2): 121-128
128 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
nanoindentation and micro-raman
spectroscopy. Archives of Orofacial Sci.
2007;2: 26-31.
20. Santos GO, Poskus LT, Jose GAG,
Eduaro MS. Influence of light-curing
mode on the sealing of resin composite
restorations. Revista de odontologia da
USEP. 2006:35(4):269-73.
21. Mazaheri R, Leila P, Ava VS, Sanas G.
Original article: effect of different
cavity conditioners on microleakage of
glass ionomer cement with a high
viscosity in primary teeth. Dent Res J.
2015;12(4):337-41.
Cakradonya Dent J; 10(2): 129-133
129 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
PENGARUH TEKNIK PENCETAKAN FISIOLOGIS TERHADAP
CACAT PERMUKAAN CETAKAN
THE EFFECT OF PHYSIOLOGICAL IMPRESSION TECHNIQUES
ON SURFACE DEFECT OF IMPRESSION
Putri Welda Utami Ritonga, Nafsani Fauzia
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara
Correspondence email to: nafsanifauzia@gmail.com
Abstrak
Prosedur penting yang harus dilakukan untuk mendapatkan cetakan dan membuat model kerja yang
akurat adalah pemilihan dan penggunaan teknik pencetakan dan bahan cetak yang tepat. Pada
pembuatan model kerja gigi tiruan cekat perlu diperhatikan kualitas permukaannya untuk
mendapatkan model yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh teknik pencetakan
fisiologis terhadap cacat permukaan cetakan. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental
laboratoris. Sampel pada penelitian ini adalah hasil pencetakan model induk dengan bahan elastomer,
model induk berukuran 6,33 mm untuk ukuran mesiodistal, 8,02 mm untuk ukuran oklusogingival dan
28,25 mm untuk ukuran interabutment berjumlah 30 buah pada masing-masing teknik dan diperiksa
cacat permukaan cetakannya dengan menggunakan kaca pembesar. Setelah itu, hasil dari cacat
permukaan diuji menggunakan chi-square. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan antara
teknik pencetakan putty wash one-step dan two-step terhadap cacat permukaan. Dapat disimpulkan,
kedua teknik pencetakan putty wash one-step dan two-step dapat digunakan untuk mendapatkan
cetakan yang baik.
Kata kunci: Pencetakan fisiologis, gigi tiruan cekat
Abstract
Critical procedures which must be followed to obtain an impression and to make accurate dental stone
cast are correct choice and use of impression techniques and materials. In order to make a fixed
denture cast, surface quality of impression must be evaluated to obtain a good cast. The aim of this
study was to find the effect of physiological impression techniques on surface defect of impression.
The design of this study was a laboratory experimental. The samples of this research were the
impressions from master model using elastomer material which measurement of mesiodistal was 6.02
mm, occlusogingival was 8.02 mm and interabutment was 28.25 mm with each technique consist of
30 samples and are examined for its’ surface defect using magnifying glass. The result of the
examined samples were tested using chi-square test. The result of the study showed that there was no
difference of the putty wash one-step and two-step impression techniques on surface defect. In
conclusion, both techniques can be applied to obtain a good impression’s quality.
Keywords: Physiological impressions, fixed denture
Cakradonya Dent J; 10(2): 129-133
130 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
PENDAHULUAN
Kehilangan gigi sebagian adalah
hilangnya satu atau beberapa gigi dalam satu
lengkung rahang.1 Penggantian gigi yang
hilang dapat dilakukan dengan pembuatan gigi
tiruan lepasan atau gigi tiruan cekat.2 Faktor
utama keberhasilan perawatan jangka panjang
prostodonsia adalah keakuratan dari gigi
tiruan, untuk menghindari kegagalan maka
seluruh prosedur klinis maupun laboratoris
harus diikuti, diantaranya dalam pemilihan dan
penggunaan teknik pencetakan dan bahan
cetak yang tepat.3
Bahan cetak elastomer dapat mencetak
jaringan keras dan lunak rongga mulut dengan
akurat, termasuk undercut dan daerah
interproksimal. Secara kimiawi, ada tiga jenis
elastomer yang digunakan sebagai bahan cetak
yaitu polisulfid, polieter, dan silikon
(kondensasi dan adisi).4
Bahan cetak silikon
tersedia dalam beberapa viskositas, membuat
bahan tersebut dapat digunakan dalam
beberapa teknik pencetakan yang adekuat
untuk meningkatkan akurasi pencetakan,
seperti teknik putty wash one-step, putty wash
two-step.3
Teknik pencetakan putty wash one-step
adalah pencetakan dengan bahan cetak putty
dan bahan wash diaduk secara bersamaan.5-8
Bahan putty dimasukkan ke dalam sendok
cetak dan bahan wash secara bersamaan juga
diletakkan di gigi penyangga. Keuntungan dari
teknik ini adalah waktu kerja dapat dikurangi
dan menghemat bahan cetak.6 Kerugiannya
adalah ketebalan bahan wash cenderung tidak
terkontrol yang dapat menghasilkan perubahan
dimensi.7 Teknik pencetakan putty wash two-
step adalah pencetakan dengan bahan putty
dibuat terlebih dahulu dan dibiarkan setting
kemudian bahan wash ditambahkan dan
cetakan dimasukkan kembali.5 Keuntungan
teknik ini adalah dapat memberikan akurasi
yang baik. Kerugian dari teknik ini adalah
lebih banyak waktu kerja yang dibutuhkan dan
lebih banyak bahan cetak yang digunakan.6
Tujuan pencetakan adalah mendapatkan
cetakan yang bebas dari cacat sehingga
menghasilkan cetakan yang akurat dari gigi
yang dipreparasi dan daerah sekitarnya.7
Pada
hasil penelitian Saifudin dkk9
ditemukan
banyaknya kesalahan pada hasil cetakan sepeti
detail yang buruk pada gigi yang dipreparasi
dan adanya lubang pada daerah gigi yang
dipreparasi, sehingga kualitas cetakan yang
dikirim ke laboratorium tidak dapat diterima.
Kualitas cetakan dapat dievaluasi
dengan kriteria seperti merekam detail penting,
daya alir dari bahan cetak, ada atau tidaknya
robek pada akhiran servikal, ada atau tidaknya
gelembung udara. Banyak faktor yang dapat
mempengaruhi masuknya gelembung udara di
hasil cetakan, khususnya teknik klinis dan
keahlian dari operator. Hasil cetakan yang
bebas dari lubang dapat berpengaruh penting
pada pembuatan restorasi yang akurat. 5,7,10
Cacat permukaan dapat dievaluasi
dengan menghitung jumlah gelembung udara
yang terlihat dengan mata pada jarak kerja
sekitar 150 mm dan hanya gelembung udara
pada permukaan abutment yang dihitung.7,10
Beberapa teknik sudah dideskripsikan di
literatur tetapi jumlah penelitian klinis yang
mengevaluasi keberhasilan klinis dalam
pencetakan cukup terbatas.11
Penelitian yang
melaporkan kualitas dari pencetakan yang
dibuat secara klinis hanya ada sedikit.9
Penelitian Millar dkk10
menyatakan tidak ada
perbedaan yang signifikan antara teknik
monophase dan teknik two-phase, namun
lubang pada teknik two-phase lebih sedikit
dibandingkan dengan monophase. Pada
penelitian Caputi dkk7
diperoleh hasil cacat
permukaan pada teknik putty wash one-step
dan two-step tidak memiliki perbedaaan yang
signifikan secara statistik. Penelitian Shresta
dkk11
menunjukkan pada teknik putty wash
one-step terdapat cacat yang lebih sedikit
dibandingkan dengan teknik putty wash two-
step. Hasil penelitian yang berbeda-beda
mengenai ada atau tidaknya pengaruh teknik
pencetakan terhadap cacat permukaan cetakan
merupakan alasan peneliti merasa perlu
melakukan penelitian tentang hal tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh teknik pencetakan
fisiologis terhadap cacat permukaan cetakan.
Manfaat penelitian adalah memberikan
informasi mengenai pengaruh teknik
pencetakan putty wash one-step dan two-step
terhadap cacat permukaan cetakan sehingga
dapat membantu dalam memilih teknik
pencetakan yang tepat.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimental laboratoris. Pembuatan sampel
Cakradonya Dent J; 10(2): 129-133
131 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
hasil cetakan dilakukan dengan mencetak
model induk stainless steel berbentuk 2
mahkota yang telah dipreparasi dengan ukuran
mesiodistal 6,33 mm, oklusogingival 8,02 mm,
dan interabutment 28,25 mm dengan dua
teknik pencetakan, yaitu putty wash one-step
dan putty wash two-step. Jumlah sampel pada
masing-masing teknik adalah 30 buah
sehingga total sampel adalah 60 buah.
Pada teknik putty wash one-step, bahan
cetak putty dan wash diaduk secara bersamaan
dan diletakkan di gigi penyangga secara
bersamaan. Kedua bahan tersebut kemudian
dicetakkan ke model induk. Setelah bahan
cetak setting, model induk dilepaskan dari
cetakan dan cacat permukaan hasil cetakan
diperiksa dengan kaca pembesar dengan jarak
150 mm. Pada teknik putty wash two-step,
bahan cetak putty diaduk terlebih dahulu dan
dicetakkan pada model induk dengan selapis
spacer polietilen sebagai spacer untuk bahan
wash. Setelah bahan cetak putty setting, spacer
dan model induk dilepaskan. Bahan wash lalu
diaduk memakai spatula dan diletakkan diatas
bahan cetak putty dan kembali dicetakkan ke
model induk. Setelah setting, model induk
dilepaskan dari cetakan dan cacat permukaan
hasil cetakan diperiksa dengan kaca pembesar
dengan jarak 150 mm. Hasil dari pemeriksaan
cacat permukaan digolongkan sesuai tipe cacat
yakni7 Tipe 0, tidak ada cacat; Tipe 1, 1-2
gelembung udara; Tipe 2, >2 gelembung
udara; Tipe 3, adanya lubang.
Uji chi-square digunakan untuk
menganalisis pengaruh teknik pencetakan
terhadap cacat permukaan cetakan.
HASIL
Pada teknik putty wash one-step, jumlah
tipe cacat yang paling banyak adalah tipe 0
dengan jumlah 14 dan jumlah tipe yang paling
sedikit adalah tipe 3 dengan jumlah 3; pada
teknik putty wash two-step, jumlah tipe cacat
yang paling banyak adalah tipe 0 dengan
jumlah 17 dan jumlah tipe yang paling sedikit
adalah tipe 3 dengan jumlah 2.
Uji Chi-Square digunakan untuk
menganalisis pengaruh teknik pencetakan
terhadap cacat permukaan. Hasil statistik uji
Chi-Square menunjukkan p=0,804 (p>0,05).
Hal ini berarti tidak ada pengaruh antara kedua
teknik pencetakan putty wash one-step dan
putty wash two-step terhadap cacat permukaan
cetakan (Tabel 3).
Tabel 3. Pengaruh Teknik Pencetakan dengan
Teknik putty wash one-step dan Teknik Pencetakan
Putty wash two-step terhadap Cacat Permukaan
Teknik
Pencetakan
Tipe Cacat Jumlah
(n)
Persen
tase
p
Putty wash
One-Step
0 14 46,7%
0,804
1 8 26,7%
2 5 16,7%
3 3 10%
Putty wash
Two-Step
0 17 56,7%
1 8 26,7%
2 3 10,0%
3 2 6,7%
Pada Tabel 3 terlihat persentase dari
jumlah tipe cacat dari masing-masing teknik
pencetakan. Pada teknik putty wash two-step,
didapati hasil cetakan dengan tipe cacat 0
(tidak ada cacat) berjumlah 17 lebih banyak
dibandingkan teknik putty wash one-step.
PEMBAHASAN
Hasil pemeriksaan permukaan cetakan
engan teknik putty wash one-step didapatkan
jumlah tipe cacat yang paling banyak adalah
tipe 0 dengan jumlah 14 dan jumlah tipe yang
paling sedikit adalah tipe 3 dengan jumlah 3;
pada teknik putty wash two-step, jumlah tipe
cacat yang paling banyak adalah tipe 0 dengan
jumlah 17 dan jumlah tipe yang paling sedikit
adalah tipe 3 dengan jumlah 2. Hasil ini sesuai
dengan hasil penelitian Caputi dkk7 yang
menunjukkan pada teknik putty wash one-step
dan two-step, jumlah tipe cacat yang paling
banyak adalah tipe 0 dan paling sedikit tipe 3.
Hasil penelitian Samet12
menunjukkan bahwa
dari 193 sampel dengan teknik pencetakan dan
bahan cetak yang berbeda menunjukkan
beberapa kesalahan banyak terjadi pada hasil
cetakan, yakni adanya lubang atau robekan
pada akhiran servikal sebanyak 50,7% dan
adanya gelembung udara pada akhiran servikal
sebanyak 40,4%. Kemungkinan terjadinya
gelembung udara pada penelitian ini karena
digunakannya pengadukan elastomer secara
manual yaitu pada saat operator mengaduk
bahan wash, jika gerakan yang dilakukan
kurang tepat maka udara yang seharusnya
tidak ada dapat terjebak sehingga membentuk
gelembung udara atau bahkan lubang pada
hasil cetakan.
Cakradonya Dent J; 10(2): 129-133
132 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
Kemungkinan lain yang dapat terjadi
adalah saat peletakan bahan wash, udara dapat
terjebak pada abutment gigi yang akan dicetak,
menyebabkan terbentuknya gelembung udara
atau lubang pada hasil cetakan. Penelitian
Shresta dkk11
menyatakan bahwa lubang dan
gelembung udara adalah cacat yang sering
terjadi (59% dan 30% untuk masing-masing
kategori cacat) pada pengadukan elastomer
manual.
Penggunaan alat automixing dapat
meminimalisir terbentuknya gelembung udara
daripada pengadukan secara manual.
Gelembung udara juga dapat terbentuk karena
tekanan yang berlebihan saat mencetak.3 Cacat
permukaan pada hasil cetakan juga dapat
disebabkan karena kesalahan manipulasi
pencetakan saat meletakkannya pada gigi yang
dipreparasi atau terlalu cepat mengangkat
cetakan dari mulut.12
Hasil statistik uji Chi-Square (Tabel 3)
yang menunjukkan p=0,804 (p>0,05), artinya
tidak ada perbedaan antara kedua teknik
pencetakan putty wash one-step dan putty
wash two-step terhadap cacat permukaan hasil
cetakan. Hasil ini sesuai dengan penelitian
Caputi dkk7 yang menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan yang ditemukan antara kedua
teknik putty wash one-step dan putty wash
two-step pada jumlah cacat pada hasil cetakan.
Sesuai dengan literatur, kedua teknik yaitu
putty wash one-step dan putty wash two-step,
menunjukkan insidensi yang rendah terjadinya
lubang dan gelembung udara. Hal ini
dihubungkan dengan tekanan yang
diaplikasikan oleh bahan cetak dengan
viskositas mayor (putty) pada bahan cetak
dengan viskositas minor (wash), yang
meningkatkan laju alir dan membantu dalam
menghasilkan cetakan dengan detail yang lebih
tepat. Tidak terdapatnya perbedaan antara
kedua teknik ini kemungkinan karena bahan
cetak yang digunakan pada kedua teknik
adalah sama-sama bahan putty dan bahan
wash. Pada bahan cetak yang memiliki
viskositas yang tinggi dan daya alir yang
rendah seperti monophase mengakibatkan
injeksi ke gigi yang dipreparasi akan lebih sulit
dikontrol dan pengisian bahan monophase
dalam jumlah besar akan mengakibatkan
peletakan dari bahan cetak kurang tepat dan
udara dapat terjebak.10,12
Kemungkinan hal-hal
diatas tidak terjadi pada penelitian ini karena
pada penelitian ini kedua teknik pencetakan
putty wash yang diteliti menggunakan dua
jenis bahan yang sama yaitu putty dan wash,
dan bahan wash memiliki daya alir yang lebih
tinggi sehingga memiliki kemungkinan untuk
mereproduksi permukaan cetakan dengan lebih
baik.7 Menurut hasil penelitian Samet dkk
12
menyatakan bahwa ada korelasi yang
signifikan antara tipe bahan cetak dengan
lubang dan robekan pada akhiran servikal,
sehingga cacat permukaan cetakan mungkin
lebih dipengaruhi dari bahan cetak daripada
teknik pencetakan.
Hasil ini tidak sesuai
dengan hasil penelitian Shresta11
yang
menyatakan bahwa teknik putty wash one-step
memiliki jumlah cacat permukaan lebih sedikit
dari teknik putty wash two-step.11
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh antara
kedua teknik pencetakan dalam hal cacat
permukaan cetakan sehingga kedua teknik
pencetakan putty wash one-step dan putty
wash two-step dapat digunakan untuk
mendapatkan cetakan yang baik.
Penelitian lebih lanjut diperlukan
dengan menggunakan alat yang lebih baik
seperti pistol pengaduk (mixing gun) ataupun
mesin pengaduk agar bahan cetak elastomer
dapat diaduk dengan lebih baik untuk
mencegah terjadinya kesalahan operator.
DAFTAR PUSTAKA
1. Jeyapalan V, Krishnan CS. Partial
edentulism and its correlation to age,
gender, socio-economic status and
incidence of various Kennedy’s classes–A
Literature Review. J Clin Diag Res.
2015;9(6):ZE14.
2. Rahmayani L, Herwanda H, Idawani M.
Perilaku pemakai gigi tiruan terhadap
pemeliharaan kebersihan gigi tiruan
lepasan. Jurnal PDGI. 2013;6(3):83-88.
3. Vitti RP, Silva MABd, Consani RLX,
Sinhoreti MAC. Dimensional accuracy of
stone casts made from silicone-based
impression materials and three impression
techniques. Braz Dent J. 2013;24(5):498-
502.
4. Anusavice KJ. Phillips' science of dental
materials: 12th ed. Missouri: Saunder
Elsevier, 2013.h. 55, 154-169, 186-187.
5. Caputi S, Varvara G. Dimensional
accuracy of resultant casts made by a
monophase, one-step and two-step, and a
Cakradonya Dent J; 10(2): 129-133
133 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.
Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
novel two-step putty/light-body
impression technique: an in vitro study.
The J Prost Dent. 2008;99(4):274-81.
6. Franco EB, da Cunha LF, Herrera FS,
Benetti AR. Accuracy of single-step
versus 2-step double-mix impression
technique. ISRN Dentistry. 2011;1-5.
7. Varvara G, Murmura G, Sinjari B,
Cardelli P, Caputi S. Evaluation of
defects in surface detail for monophase,
2-phase, and 3-phase impression
techniques: An in vitro study. J Prosthet
Dent. 2015;113(2):108-13.
8. Nissan J, Laufer B-Z, Brosh T, Assif D,
Maurice T. Accuracy of three polyvinyl
siloxane putty-wash impression
techniques. J Prosthet Dent.
2000;83(2):161-5.
9. Zu Saifudin ASA, Kamaruddin F, Ab
Ghani SM. The quality of working
impressions for the fabrication of fixed
prosthodontics prostheses (crown and
bridgework). Eur J of Gen Dent.
2014;3(2):100.
10. Millar BJ, Dunne SM, Robinson PB. In
vitro study of the number of surface
defects in monophase and two-phase
addition silicone impressions. J Prosthet
Dent. 1998;80(1):32-5.
11. Shrestha P, Poudel S, Shrestha K. A
clinical comparison of polyvinyl siloxane
impressions for fixed partial dentures
using three different techniques. J of Adv
Med and Dent Scie Res. 2015;3(2):6.
12. Samet N, Shohat M, Livny A, Weiss EI.
A clinical evaluation of fixed partial
denture impressions. J Prosthet Dent.
2005;94(2):112-7.
pISSN: 2085-546X eISSN: 2622-4720
Petunjuk Bagi Penulis
Cakradonya Dental Journal (CDJ) adalah jurnal ilmiah yang
terbit dua kali setahun, Februari dan Agustus. Artikel yang
diterima CDJ akan dibahas para pakar dalam bidang keilmuan
yang sesuai (peer-review) bersama redaksi. Sekiranya peer-
review menyarankan adanya perubahan, maka penulis diberi
kesempatan untuk memperbaikinya.
CDJ menerima artikel konseptual dari hasil penelitian original
yang relevan dengan bidang kesehatan, kedokteran gigi dan
kedokteran. CDJ juga menerima literature review, dan
laporan kasus.
Artikel yang dikirim adalah artikel yang belum pernah
dipublikasi, untuk menghindari duplikasi CDJ tidak menerima
artikel yang juga dikirim pada jurnal lain pada waktu
bersamaan untuk publikasi. Penulis memastikan bahwa seluruh
penulis pembantu telah membaca dan menyetujui isi artikel.
1. Artikel Penelitian
Tatacara penulisan:
Judul dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
Abstrak dibuat dalam bahasa Indonesia & Inggris,
dalam bentuk tidak terstruktur dengan jumlah
maksimal 200 kata, harus mencerminkan isi artikel,
ringkas dan jelas, sehingga memungkinkan pembaca
memahami tentang aspek baru atau penting tanpa
harus membaca seluruh isi artikel. Diketik dengan
spasi tunggal satu kolom.
Kata Kunci dicantumkan pada halaman yang sama
dengan abstrak. Pilih 3-5 buah kata yang dapat
membantu penyusunan indeks.
Artikel utama ditulis dengan huruf jenis Times New
Roman ukuran 11 poin, spasi satu.
Artikel termasuk tabel, daftar pustaka, dan gambar
harus diketik 1 spasi pada kertas dengan ukuran 21,5
x 28 cm (kertas A4) dengan jarak dari tepi 2,5 cm,
jumlah halaman maksimum 12. Setiap halaman diberi
nomor secara berurutan dimulai dari halaman judul
sampai halaman terakhir.
Laporan tentang penelitian pada manusia/hewan coba
harus memperoleh persetujuan tertulis (signed
informed consent) dan lolos etik (Ethical clearance)
Sistematika penulisan artikel hasil penelitian, adalah
sebagai berikut:
Judul
Nama dan alamat penulis disertai pas photo
Abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris
Kata kunci
Pendahuluan (tanpa subjudul, memuat latar
belakang masalah dan sedikit tinjauan pustaka, dan
masalah/tujuan penelitian).
Bahan dan Metode
Hasil
Pembahasan
Kesimpulan dan Saran
Daftar Pustaka.
2. Tinjauan pustaka/artikel konseptual (setara hasil
penelitian) merupakan artikel review dari jurnal dan atau
buku mengenai ilmu kedokteran gigi, kedokteran dan
kesehatan mutakhir memuat:
Judul
Nama penulis
Abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris
Pendahuluan (tanpa subjudul)
Subjudul-subjudul sesuai kebutuhan
Penutup (kesimpulan dan saran)
Daftar pustaka
3. Laporan Kasus. Berisi artikel tentang kasus di klinik yang
cukup menarik, dan baik untuk disebarluaskan di kalangan
sejawat lainnya. Formatnya terdiri atas: Pendahuluan,
Laporan kasus, Pembahasan dan Daftar pustaka.
4. Gambar dan tabel. Kirimkan gambar yang dibutuhkan
bersama makalah. Tabel harus diketik 1 spasi.
5. Metode statistik. Jelaskan tentang metode statistik secara
rinci pada bagian “metode”. Metode yang tidak lazim,
ditulis secara rinci berikut rujukan metode tersebut.
6. Judul ditulis dengan huruf besar 11 point, baik judul
singkat dengan jumlah maksimal 40 karakter termasuk
huruf dan spasi. Diletakkan di bagian tengah atas dari
halaman pertama. Subjudul dengan huruf 11 point dengan
huruf kapital.
7. Nama dan alamat penulis disertai pas photo. Nama penulis
tanpa gelar dan alamat atau lembaga tempat bekerja ditulis
lengkap dan jelas. Alamat korespondensi, nomor telepon,
nomor facsimile, dan alamat e-mail. Pas photo terbaru
ukuran 3x4.
8. Ucapan terima kasih. Ucapan terima kasih hanya untuk
para profesional yang membantu penyusunan naskah,
termasuk pemberi dukungan teknis, dana dan dukungan
umum dari suatu institusi.
9. Daftar pustaka. Daftar pustaka ditulis sesuai dengan
aturan penulisan Vancouver, yaitu diberi nomor urut
sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks dan
ditulis secara super script. Jumlah refernsi dalam Daftar
pustaka minimal 10 referensi. Disebutkan 6 nama
pengarang kemudian at al.
Contoh
- Jurnal: Hendarto H, Gray S. Surgical and non surgical
intervation for speech rehabilitation in Parkinson
disease. Med J Indonesia 2000; 9 (3): 168-74.
- Buku: Lavelle CLB. Dental placque In Applied Oral
Physiology,2nd
ed. London: Wright. 1988:93-5.
- Book Section: Shklar G, Carranza FA. The Historical
Background of Periodontology. In: Carranza's Clinical
Periodontology (Newman MG, Takei HH, Klokkevold
PR, Carranza FA, (Eds), 10th
ed. St. Louis: Saunders
Elsevier, 2006: 1-32.
- Website : Almas K. The antimicrobial effects of seven
different types of Asian chewing sticks. Available in
http://www.santetropicale.com/resume/49604.pdf
Accessed on April, 2004.
10. Artikel dikirim sebanyak 1 (satu) eksemplar, dalam
bentuk hard dan soft copy, tuliskan nama file dan program
yang digunakan, kirimkan paling lambat 2 (dua) bulan
sebelum bulan penerbitan kepada:
Ketua Dewan Penyunting
Cakradonya Dental Journal (CDJ)
Fakultas Kedokteran Gigi-Unsyiah
Darussalam Banda Aceh 23211
Telp/fax. 0651-7551843
11. Kepastian pemuatan atau penolakan artikel akan
diberitahukan secara tertulis. Penulis yang artikelnya
dimuat mendapat imbalan berupa nomor bukti pemuatan
sebanyak 1 (satu) eksemplar. Artikel yang tidak dimuat
tidak akan dikembalikan kecuali atas permintaan penulis.
Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh
Aceh-IndonesiaTelp.Fax/0651 7555183
E-mail: cdj.fkg@unsyiah.ac.id
pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720