Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas: social … · kan bahwa kesenjangan yang ada...

14
Melampaui Keberhasilan Retorikal: Memajukan Potensi Program Hutan Komunitas di Nepal untuk Mengatasi Masalah Kesetaraan 239 BAB 10 MELAMPAUI KEBERHASILAN RETORIKAL: MEMAJUKAN POTENSI PROGRAM HUTAN KOMUNITAS DI NEPAL UNTUK MENGATASI MASALAH KESETARAAN Bishnu Upreti

Transcript of Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas: social … · kan bahwa kesenjangan yang ada...

Page 1: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas: social … · kan bahwa kesenjangan yang ada sekarang antara retorika dan realitas kesetaraan sosial dalam community forestry

Melampaui Keberhasilan Retorikal:Memajukan Potensi Program Hutan Komunitas

di Nepal untuk Mengatasi Masalah Kesetaraan239

BBAABB 1100

MMEELLAAMMPPAAUUII KKEEBBEERRHHAASSIILLAANNRREETTOORRIIKKAALL:: MMEEMMAAJJUUKKAANN PPOOTTEENNSSIIPPRROOGGRRAAMM HHUUTTAANN KKOOMMUUNNIITTAASS DDII NNEEPPAALL UUNNTTUUKK MMEENNGGAATTAASSIIMMAASSAALLAAHH KKEESSEETTAARRAAAANN

Bishnu Upreti

Page 2: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas: social … · kan bahwa kesenjangan yang ada sekarang antara retorika dan realitas kesetaraan sosial dalam community forestry

Melampaui Keberhasilan Retorikal: Memajukan Potensi Program Hutan Komunitas

di Nepal untuk Mengatasi Masalah Kesetaraan241

MMEELLAAMMPPAAUUII KKEEBBEERRHHAASSIILLAANN RREETTOORRIIKKAALL::MMEEMMAAJJUUKKAANN PPOOTTEENNSSII PPRROOGGRRAAMM

HHUUTTAANN KKOOMMUUNNIITTAASS DDII NNEEPPAALL UUNNTTUUKK MMEENNGGAATTAASSII

MMAASSAALLAAHH KKEESSEETTAARRAAAANN

Bishnu Upreti

AbstrakProgram Hutan Komunitas di perbukitan Nepal mentrans for ma si -

kan cara pengelolaan hutan dan menjadi terlembagakan, karena stra-tegi, kebijakan dan legislasi berkembang maju. Pengelolaan hutan ber-basis komunitas telah menunjukkan keberhasilan dalam hal prestasibiofisik. Meskipun terlihat kemajuan-kemajuan ini, namun belum men-jamin sepenuhnya akan adanya hasil yang setara, yang sensitif jen-der, dan yang berfokus pada kemiskinan. Faktor utama yang ber-tanggungjawab terhadap ketidakmampuan ini adalah kurangnyametode-metode yang layak untuk menerjemahkan ke bijak an ke dalampraktek secara efektif. Dengan menguji karakteristik dan daya terapdari pendekatan pembelajaran sosial terhadap pe ngelolaan hutan ber-basis komunitas di Nepal, bab ini menunjukkan bah wa pembelajaransosial dapat mengisi kesenjangan ini.

Bishnu Upreti240

Page 3: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas: social … · kan bahwa kesenjangan yang ada sekarang antara retorika dan realitas kesetaraan sosial dalam community forestry

Melampaui Keberhasilan Retorikal: Memajukan Potensi Program Hutan Komunitas

di Nepal untuk Mengatasi Masalah Kesetaraan243

beda pengguna-pengguna sumberdaya, yang memiliki status ekono-mi dan sosial, perspektif, sistem pengetahuan, nilai-nilai, pemaha-man dan tujuan yang berbeda (Anderson et al. 1998). Strategipemecahan dan aksi-aksi mereka menentukan keberhasilan ataukegagalan dari pengelolaan hutan berbasis komunitas. Pengelolaanhutan berbasis komunitas yang sukses mempromosikan kesetaraandan membaiknya standar hidup para penggunanya. Sebuah pende-katan pembelajaran sosial yang memfasilitasi pembelajaran kolektifdan aksi kolaboratif antara pengguna yang berbeda pada tingkatkelompok, komunitas, regional dan nasional memiliki potensi yangbesar untuk berkontribusi pada tujuan akhir.

Pembelajaran sosial merupakan pendekatan dalam pem be la jar -an kolaboratif dan aksi-aksi kolektif yang memampukan masyarakatuntuk menilai kejadian-kejadian masa lalu secara bersama-sama,untuk memodifikasi kebiasaan perilaku mereka dan untuk me ngem -bang kan bentuk-bentuk baru dari perilaku yang adaptif. Pem be la jar -an sosial mempromosikan interaksi antara stakeholder yang mung -kin memiliki kepentingan, keyakinan, nilai-nilai, sistem penge ta hu -an, gaya pengelolaan dan perspektif yang berbeda (Röling dan Jiggins1998; Upreti 1998; Wilson dan Morren 1990) untuk membangunpengetahuan bersama, untuk menyepakati tindakan bersama, untukbertindak sebenarnya dan untuk memonitor efek dari tindakanter seb ut terhadap pengetahuan itu (Röling 1992, 1994).

Saya menggunakan sebuah studi kasus dari Distrik Dolakha diPerbukitan Tengah Nepal untuk mengkaji peluang pembelajaransosial dan mengembangkan kesetaraan sosial dalam pengelolaanhutan komunitas di Nepal. Kasus tersebut menyoroti bagaimanahutan komunitas dapat dikelola pada tingkat lokal yang didasarkanpada pembelajaran kolektif dan aksi adaptif. Tulisan ini me nyim pul -kan bahwa kesenjangan yang ada sekarang antara retorika dan re ali taskesetaraan sosial dalam community forestry secara substansial da patdikurangi dengan cara memasukkan pembelajaran sosial se ca ra sis-tematis ke dalam pengelolaan sumberdaya hutan berbasis ko -mu nitas secara berkelanjutan.

LATAR BELAKANG HUTAN KOMUNITAS DI NEPAL

Bishnu Upreti242

PENGANTARPengelolaan hutan komunitas secara meningkat diakui sebagai

pendekatan yang sesuai dalam pengelolaan hutan dan pemanfaatansumberdaya hutan. Pendekatan ini didasarkan pada filosofi tentangpartisipasi oleh pengguna dalam kegiatan pengelolaan yang mem -ben tuk dasar-dasar Program Hutan Komunitas di Nepal saat ini.

Meskipun ada kemajuan dalam program-program kehutanankomunitas oleh pemerintah sejak akhir tahun 1970-an, pengalamanNepal hingga saat ini tidak cukup jauh dalam menjelaskan dinamikasosial yang kompleks yang mendasari pendekatan-pendekatan ber-basis rakyat untuk menjamin adanya hasil yang setara, yang sensi-tif jender dan yang berfokus pada kemiskinan. Argumen ini didukungoleh bukti dari penelitian terbaru. Tingkat partisipasi perempuanpada Komite Pengguna Hutan (FUC) hanya 19% dari total keanggo-taan (Shrestha 1997). Sebuah studi mengenai harapan dari commu-nity forestry yang dilaksanakan pada 7 distrik menunjukkan bahwakaum perempuan dan kaum miskin merasa terpinggirkan dan keku-rangan informasi mengenai hak-hak pengguna terhadap sumberdayahutan (WATCH 1995). Bukti ini muncul bahwa kaum miskin danorang-orang berkasta rendah mulai menarik diri dari KelompokPengguna Hutan (FUG) (Pokharel dan Tumbahamphe 1999).

Lokakarya kedua nasional untuk pejabat kehutanan pe me rin tah,yang dilaksanakan pada bulan Agustus 1999, secara jelas me -nyimpul kan bahwa pengelolaan hutan saat ini tidak mempedulikanmasalah-masalah kesetaraan (Koran Harian Kantipur 1999).Lampiran 1 menggambarkan beberapa masalah yang dihadapi olehpengguna hutan yang miskin dan tidak beruntung. Kelemahan inimenunjukkan adanya kebutuhan akan pendekatan alternatif un tukmenjembatani antara kebijakan dan paraktek. Inilah yang men jaditesis dari bab ini, bahwa pencapaian hasil sosial yang diinginkanmensyaratkan adanya pemahaman dan penghargaan mendalamter hadap saling ketergantungan ekologi, tekanan-tekanan sosial,kom pleksitas dan ketidakpastian (Röling 1997) yang mencirikankegiatan dan wacana yang berhubungan dengan sumberdaya hutanberbasis komunitas.

Dalam kehutanan berbasis komunitas, ada tipe-tipe yang ber-

Page 4: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas: social … · kan bahwa kesenjangan yang ada sekarang antara retorika dan realitas kesetaraan sosial dalam community forestry

Melampaui Keberhasilan Retorikal: Memajukan Potensi Program Hutan Komunitas

di Nepal untuk Mengatasi Masalah Kesetaraan245

berfokus pada desentralisasi, partisipasi masyarakat lokal dalampengambilan keputusan, pemenuhan kebutuhan-kebutuhandasar, pemanfaatan sumberdaya hutan secara berkelanjutan danmendorong kesetaraan jender dan kedamaian sosial (NSCFP 1997).

Program Hutan Komunitas yang dihasilkan secara jelas meng -akui kesetaraan sosial dan pengentasan kemiskinan sebagai tujuanutama. Namun demikian, penerjemahan kebijakan ke dalam praktek-

Bishnu Upreti244

Nepal menjadi salah satu pionir dalam mempromosikan pe -ngelolaan hutan-hutan komunitas. Menyadari ketidakmampuanpengelolaan dari pengguna lokal, pemerintah Kerajaan Nepal padatahun 1978 mengamandemen Undang-Undang Kehutanan tahun1961 untuk memberikan hutan yang rusak kepada panchayat1,dalam bentuk Hutan Panchayat dan Hutan Lindung Panchayat.Hutan-hutan ini disebut sebagai “hutan komunitas” (Tuladhar 1998).Duapuluh tahun kemudian, kebijakan, peraturan, hukum dan pedo-man-pedoman operasional kehutanan direvisi, partisipasi peng gunadan organisasi-organisasi non-pemerintah sangat didorong dandonor-donor mengubah prioritas pendanaan mereka. Pada tahun1989, Master Plan untuk Sektor Kehutanan memberikan prioritasutama kepada program-program masyarakat dan pribadi dan men-gatur kerangka kerja legal dan organisasi untuk meningkatkan par-tisipasi masyarakat lokal. Rencana ini didukung oleh Undang-Undang Kehutanan tahun 1993 dan Peraturan Kehutanan tahun1995 (Belbase dan Regmi 1998), dan juga Komite Koordinasi SektorKehutanan yang diciptakan pada tingkat pusat. Pedoman kebijakan

Tabel 10.1 Tinjauan Umum mengenai Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Tantanganterhadap Hutan Komunitas di Nepal

KELEMAHAN

l Masalah kesetaraan sosial masih di perta -nya kan (kesenjangan antara kebijakandan praktek)

l Fokus pada target kuantitatifl Dominasi Kelompok Pengguna Hutan olehElit

l Meningkatnya kesenjangan antara kayadan miskin

l Kewenangan untuk memberikan ataumen cabut status hutan komunitas terletakpada birokrasi

l Kurangnya transparansil Disetir donorl Kurangnya keterwakilan oleh kelompokyang tidak beruntung dalam proses peren-canaan

l Sulit untuk memperluas dari perbukitanke Terai

l Kurangnya pengetahuan teknis di antarFUG

l Pendekatan yang berorientasi pada perlin-dungan

l Lemahnya dukungan setelah pemben-tukan FUG

l Kebijakan yang tidak memadai dan kon-tradiktif

l Kurangnya komitmen politikl Birokrat yang otokratis

TANTANGAN

l Globalisasi dan privatisasil Resistensi birokratisl Korporasi Kayu Nepal memiliki hak tung-gal atas pemanenan kayu pada 33 distrik

l Resistensi terhadap perubahanl Banyaknya kepentingan dari stakeholderyang berkuasa

l Jaringan korupsi dan korupsi

KEKUATAN

l Timbulnya kesadaran dan didapatkannyapengalaman

l Meningkatnya akses pengguna pada sum-berdaya hutan

l Berkembangnya keahlian dalam pengelo-laan konflik

l Munculnya dan diakuinya kelembagaandan platform lokal

l Berkurangnya beban pekerjaan perem-puan

l Meningkatnya regenerasi alamil Menurunnya kejadian kebakaran hutanl Berkembangnya kepemimpinan padatingkat akar-rumput

l Meningkatnya rasa memilikil Meningkatnya praktek penanaman pribadil Dimulainya desentralisasil Meningkatnya areal hutan komunitasl Meningkatnya tanggungjawab para peng-guna

l Menurunnya tingkat kerusakan hutan diperbukitan

PELUANG

l Undang-Undang Dasar Kerajaan Nepall Pemerintah yang demokratisl Kepentingan/dukungan dari donorl Kepentingan para penggunal Kebijakan, hukum, undang-undang danperaturan yang progresif

l Kepedulian dan kepentingan global

Sumber: Shrestha 1999; Poudel 1997; Shresta et al. 1995; Sinha et al. 1996; Poudel et al. 1998; Shrestha 1997a,1997b; Balbase dan Regmi 1998; Joshi 1997; dan observasi penulis.

1) Panchayat adalah badan pemerintahan lokal. Setelah pemberlakuan kembali demokrasi padatahun 1990, nama 'panchayat' diganti dengan Komite Pembangunan Desa (VDC), yang meru-pakan unit politik terkecil.

Gambar 10.1 Lokasi daerah penelitian

Page 5: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas: social … · kan bahwa kesenjangan yang ada sekarang antara retorika dan realitas kesetaraan sosial dalam community forestry

Melampaui Keberhasilan Retorikal: Memajukan Potensi Program Hutan Komunitas

di Nepal untuk Mengatasi Masalah Kesetaraan247

merupakan hutan yang dikelola secara unik di daerah ini dan meng-gambarkan bagaimana komunitas lokal belajar untuk memberikanrespons terhadap perubahan situasi dan meng adaptasikan sistempengelolaan mereka untuk masa depan yang lebih baik.

Gambar 10.2 Hutan yang dikelola komunitas: harapan di masa depan

Pengembangan Inisiatif Pengelolaan LokalPada sekitar tahun 1910 seorang tuan tanah yang sangat ber-

kuasa merambah untuk pertama kalinya ke dalam kawasan hutanalam yang sangat rapat di Matarkopakho. Tahun berikutnya, karenaadanya mimpi3 buruk, tuan tanah tersebut meninggalkan daerah itudan daerah tersebut menjadi milik masyarakat. Kemudian,Matarkopakho digunakan hanya untuk penggembalaan, mencaripakan hewan, pendirian kanal-kanal untuk irigasi publik dan kegia-tan sembahyang. Pada akhir tahun 1960-an, Matarko pakho dirambahlagi, kali ini oleh politisi yang berkuasa dan Mukhiya4. Para penggu-na memutuskan untuk memprotes invasi tersebut. Tanpa menilairesiko secara kritis dan dampak negatif yang mungkin, merekamenuntut kasus tersebut dengan bantuan hakim keliling(Badahakim) untuk melawan invasi tersebut. Karena hubungan

Bishnu Upreti246

praktek yang menangani masalah-masalah ini masih tetap lemah.Tabel 10.1 menujukkan status terkini dari Program HutanKomunitas di Nepal, berdasarkan review mendetail oleh akademisidan ORNOP yang bekerja di negara tersebut.

BELAJAR DARI HUTAN KOMUNITAS DI PERBUKITAN TENGAH NEPAL

MetodologiInformasi untuk studi kasus yang disajikan di sini di -

kembangkan melalui Focus Group Discussion (FGD), diskusi kelompokterfokus, sejarah kehidupan, data sekunder, diskusi-diskusiinformal, observasi peneliti dan wawancara2 semi-terstruktur daninforman-informan kunci.

Wilayah StudiGambar 10.2 mengilustrasikan kawasan studi kasus. Distrik

Dolakha terletak pada jalur pegunungan, 160 km arah NortheastKathmandu. Secara geografis kawasan itu berada pada ketinggianantara 763 m hingga 7183 meter di atas permukaan air laut dengantotal luas sebesar 2143 km². Dalam daerah ini, 94400 hektar tertu-tup oleh hutan. Total penduduk distrik tersebut adalah 173836(NSCFP 1998). Prevalensi pengelolaan hutan adat merupakan fituryang unik dari kawasan ini. Program Hutan Komunitas merupakansalah satu proyek pembangunan utama pada distrik Dolakha terse-but.

Hutan Khahare-Katunje, dengan luas sekitar 800 hektar, ter-letak pada Komite Pembangunan Desa Pawoti dalam jalur sungaiTamakosi. Hutan tersebut telah menjadi sistem hutan utama yangtelah digunakan oleh lebih dari 650 keluarga dalam kawasan ini sela-ma 700 tahun. Matarkopakho merupakan bagian yang terfragmenta-si dari sistem hutan yang lebih luas dan terdiri dari 50 hektar yangsekarang ini digunakan oleh sekitar 50 keluarga. Kawasan ini

2) Dalam penelitian ini, saya memiliki peran ganda: sebagai peneliti independen, dan sebagai pen-duduk dan pengguna hutan dari salah satu distrik di mana proyek tersebut dilaksanakan, seba-gai sasaran dari proyek tersebut.

3) seekor sapi putih menendang wajahnya dalam mimpi. Menurut legenda lokal, jika seekor sapimenendang wajah seseorang dalam mimpi, sesuatu yang buruk akan terjadi. Untuk mencegahkesialan ini, sebagian dari lahannya harus diperuntukkan sebagai kawasan penggembalaansapi.

4) penagih pajak lahan lokal yang ditunjuk oleh Kantor Pendapatan Lahan. Hanya sedikit orangyang berkuasa yang memiliki hubungan baik dengan pemerintah yang mempunyai posisi ini.

Page 6: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas: social … · kan bahwa kesenjangan yang ada sekarang antara retorika dan realitas kesetaraan sosial dalam community forestry

Melampaui Keberhasilan Retorikal: Memajukan Potensi Program Hutan Komunitas

di Nepal untuk Mengatasi Masalah Kesetaraan249

dari hutan di masa depan. Pada tahun 1984, Proyek PengembanganBukit Terpadu (IHDP) yang didanai oleh Swiss menyetujui untukmendukung inisiatif mereka. Selain itu, Panchayat (dewan desa)memberikan dukungan legal dan organisasi pada usaha kolaboratifitu untuk mengembangkan dan mengelola kawasan hutan tersebut.Mengikuti IHDP, sebuah lembaga non-pemerintah yang dikenal seba-gai Program Kesadaran Lingkungan Hidup dan Kependudukan(ENAP) mendukung para penduduk desa dalam melaksanakan kegi-atan pengembangan masyarakat.

Berikutnya, pada tahun 1990 Komite Perlindungan dire -organisasi menjadi Komite5 Konservasi Hutan Matarkopakho.Anggota komite ini dipilih melalui pertemuan massal dari para peng -guna yang mewakili kaum perempuan, orang yang tidak beruntung danmiskin dan pekerja sosial. Para tetua dan kepada Komite PembangunanDesa terpilih dinominasikan melalui konsensus sebagai penasihat.Dengan dukungan dana dari ENAP, Komite Konservasi Hutan bisa ber-partisipasi dalam kegiatan-kegiatan pelatihan, pertemuan dan diskusi-diskusi yang diselenggarakan di ibu kota distrik dan di mana pun dalamrangka mendapatkan pengetahu an dan pengalaman menge nai pen-dekatan pengelolaan sumberdaya dan proses peren ca na an partisipatif(Gambar 10.3). Anggota komite mengamati adanya kegiatan untukmenghasilkan pendapatan dan pengembangan ma syarakat yang efektifyang dilakukan oleh kelompok dan organisasi lain. Belajar dari kasusini, mereka memutuskan untuk memulai kegiatan pemanfaatan danpengelolaan sumberdaya, seperti penyediaan air minum bagi masyara-kat, pendidikan non-formal, proses pasca panen, warung hidup dankegiatan-kegiatan lain untuk menghasilkan pendapatan. Berlanjutnyamonitoring kemajuan oleh anggota komite dan para pengguna, diga-bungkan de ngan review dan refleksi bersama, membantu merekauntuk mencapai keberhasilan. Dengan proses belajar dan aksi ini ma -sya ra kat menunjukkan kemampuan pengelolaan mereka dan kapasitasbelajar mereka.

Saat ini, Komite Konservasi Hutan membagi informasinya deng-

Bishnu Upreti248

kekuasaan yang tidak menguntungkan, mereka men curigai bahwakeputusan yang akan mereka terima pasti akan menguntungkanbagi tuan tanah tersebut. Saat inilah menjadi titik kejadian di manapara pengguna menginginkan negosiasi informal.

Perambah itu mulai memanfaatkan lahan dan bereaksi negatifatas protes-protes itu, yang menyebabkan konflik semakin membe-sar. Para pemprotes itu menghadapi masalah buruk tentang pakanhewan dan daerah penggembalaan selama lebih dari dua tahun.Maka mereka mulai mencari alternatif lain. Mereka mendiskusikanburuknya masalah mereka, menganalisis situasi, mereview pendeka-tan perlindungan di masa lalu dan akhirnya pada tahun 1968 mere-ka membentuk Komite Perlindungan untuk bernegosiasi atas konflikitu. Komite tersebut mendiskusikan masalah dengan masyarakatlokal. Juga memobilisasi orang tua dan saudara-saudara yang laindari perambah tersebut, pimpinan agama (purohit) dan pekerja sosi-al untuk mendapatkan tekanan sosial yang kuat, daripada menerus-kan usaha mereka dengan aksi-aksi hukum. Keluarga dari peram-bah tersebut menyambut negosiasi itu sebagai cara untuk memper-tahankan hubungan dengan masyarakat yang lebih luas. Akhirnya,konflik tersebut diselesaikan melalui negosiasi informal. Peran fasili-tasi oleh seorang tua sebagai pimpinan pen dapat sangat pentingdalam membawa pihak-pihak yang berkonflik ke dalam negosiasi.Dalam proses ini, para pengguna hutan harus berpikir, memikirkankembali, menyatakan pendapat, ide-ide mereka dan mengem-bangkan pemahaman bersama dan mengarahkan kembali rencanaaksi mereka. Komite Perlindungan mengadakan pertemuan berkalauntuk semua pengguna hutan, termasuk kaum perempuan dan pen-duduk desa yang miskin, untuk mereview ke giat an mereka danmenarik pelajaran untuk perbaikan selanjutnya. Para penggunamemberikan tanggapan balik kepada komite tersebut untuk mem-perbaiki proses-proses aksi. Dengan cara ini mereka belajar darikesalahan mereka. Munculnya proses fasilitasi sendiri merupakankarakter yang unik dari kasus ini.

Menyusul keberhasilan negosiasi, para penduduk desa meng -inginkan kolaborasi dengan lembaga-lembaga untuk mengadakanperemajaan hutan dalam rangka menjamin pemenuhan kebutuhan

5) di distrik Dolakha, komite perlindungan hutan merupakan struktur manajemen yang biasa yangdiciptakan untuk mengembangkan dan mengkonservasi hutan yang tidak secara formaldiberikan oleh pemerintah kepada pengguna (NCSFP 1997: 10).

Page 7: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas: social … · kan bahwa kesenjangan yang ada sekarang antara retorika dan realitas kesetaraan sosial dalam community forestry

Melampaui Keberhasilan Retorikal: Memajukan Potensi Program Hutan Komunitas

di Nepal untuk Mengatasi Masalah Kesetaraan251

kandang dan pemanenan hasil hutan sampingan. Pada tahun-tahunberikutnya, Komite tersebut mengawali kegiatan riset aksi mengenaihasil hutan non-kayu yang bernilai tinggi (NTFP). Pemeriksaan hutansecara bergantian yang terorganisir oleh anggota komite menjaminpencegahan kegiatan-kegiatan ilegal.

Pendekatan pengelolaan hutan ini memiliki beberapa unsurpembelajaran sosial dan merupakan contoh dari pengelolaan berba-sis komunitas yang adaptif yang didasarkan pada inisiatif lokal. Paraperempuan merupakan anggota Komite Konservasi Hutan dan ber-partisipasi dalam pelatihan, pertemuan, dan pengambilan keputusan(ENAP 1998). Peran jender dalam masyarakat sedang berubah dankepekaan terhadap jender semakin meningkat. Hutan tersebut men-jadi simbol dari perubahan budaya dan sosial dalam kawasan perbu-kitan yang terletak di pedalaman ini. Belajar dari pendekatan ini,masyarakat dari kawasan sekitarnya juga membuat hutan padalahan-lahan publik yang gundul. Limabelas hektar dari lahan publikyang gundul ini dikenal sebagai Masanedanda dan duapuluh hektarlainnya dinamakan Rukhinikopakho yang juga sedang dikonversimenjadi hutan yang sangat rapat. Dalam banyak hal, ENAP secarastrategis telah memfasilitasi proses peningkatan kesadaran untukmengembangkan kapasitas para pengguna dalam mengkonservasihutan mereka.

Analisis dan RefleksiBukti dari studi kasus ini menunjukkan bahwa jender dan per-

masalahan kesetaraan lainnya secara substansial dapat ditanganidengan memasukkan ukuran-ukuran, seperti berikut ini ke dalamsistem pengelolaan: 1) fasilitasi proses perencanaan yang meliputimasyarakat yang berpotensi menjadi terpinggirkan, agar terlibatdalam pengambilan keputusan sejak awal; 2) manfaat KomitePerlindungan sebagai lembaga untuk menegosiasikan secara infor-mal atas nama masyarakat; 3) keterwakilan dari kaum miskin,perempuan dan kelompok yang tidak beruntung lainnya dalamKelompok Pengguna Hutan dan menjamin bahwa mereka diberiinformasi tentang peran mereka, tanggungjawab, dan kewenang anmengenai sumberdaya hutan komunitas; 4) penilaian atas keterbu-

Bishnu Upreti250

an Kelompok Pengguna Hutan, organisasi pemerintah dan non-pemerintah, serta masyarakat yang lain. Diagnosis masalah secarapartisipatif merupakan unsur yang sangat penting dalam gaya peng-elolaan mereka. Kegiatan penggembalaan, sebagai contoh, menjadimasalah yang sangat serius ketika kegiatan tersebut dilarang untukmelindungi pohon yang sudah ditanam. Masyarakat miskin khusus-nya yang menderita, karena ukuran-ukuran perlindungan ini. Untukmengatasi masalah tersebut, Komite membuka beberapa bagianhutan pada satu waktu sebagai padang rumput rotasional.Hubungan dibuat dengan stakeholder lain untuk membantu menge-lola dan memonitor rencana tersebut. Peraturan dan tata tertib dilak-sanakan, diperbaiki kembali dan selalu diperbaiki kembali serta dia-mandemen oleh para pengguna sendiri dan kemudian dilaksanakandan oleh karenanya, meningkatkan sifat yang adaptif pada pembela-jaran dan aksi yang mereka lakukan.

Gambar 10.3 Anggota masyarakat sedang merencanakan kegiatan Hutan Komunitas

Selama periode antara 1984 dan 199, Komite Konservasi HutanMatarkopakho, dalam kerjasamanya dengan stakeholder lain, meng -gunakan pendekatan adaptif ini untuk mengembangkan praktek-praktek yang inovatif. Praktek-praktek ini meliputi pemanenan pa -kan hewan secara bergantian, pengelolaan padang rumput, pupuk

Page 8: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas: social … · kan bahwa kesenjangan yang ada sekarang antara retorika dan realitas kesetaraan sosial dalam community forestry

Melampaui Keberhasilan Retorikal: Memajukan Potensi Program Hutan Komunitas

di Nepal untuk Mengatasi Masalah Kesetaraan253

kan proses “menemukan” dan “melaksanakan aksi”. Kasus tersebutjuga menunjukkan bahwa pembelajaran merupakan proses reflektifdari penyesuaian dengan perubahan situasi di mana masyarakatmulai menerima, menginterpretasi dan bereaksi dan bertindak ber-dasar kepentingan mereka. Stakeholder akhirnya bisa belajar mela-lui aksi-aksi dan pengalaman dan mengembangkan cara baru dalamberpikir.

Akses yang setara bagi kelompok masyarakat yang kurangberuntung atau yang miskin terhadap sumberdaya hutan dan peng-aruhnya pada perumusan kebijakan dapat ditingkatkan melalui fasi-litasi pembelajaran sosial. Proses ini membawa masyarakat dari ber-bagai status dan budaya yang berbeda bersama-sama pada platformbersama untuk menegosiasikan permasalahan akses dan akhirnya,bisa menurunkan dominasi elit atas pengambilan ke pu tus an dalamKelompok Pengguna Hutan. Proses ini juga menciptakan kesadarandi antara pengguna itu sendiri mengenai hak-hak dan tanggung-jawab mereka dalam hal sumberdaya hutan komunitas. Melalui fasi-litasi komunikasi yang efektif, monitoring yang ter or ga ni sir, pembela-jaran kolektif dan aksi kolaboratif, mekanisme pem bagi an keuntung-an yang ada sekarang dapat diubah untuk mengatasi ke butuhanmereka yang secara keseluruhan hidupnya tergantung pada sumber-daya hutan untuk keberlangsungan mereka dan yang terlalu miskinuntuk membayar iuran akses.

Fasilitasi yang efektif dari keempat fase6 Program Kehutanantersebut harus menjamin proses yang sensitif dan setara, tidak seke-dar proses yang netral atau “sama derajat”. Untuk mencapai keseta-raan yang lebih baik bagi kaum miskin, pengelolaan hutan berbasiskomunitas mungkin mensyaratkan adanya trade-offs (Grimble et al.1995). Proses membuat trade-offs itu sendiri pun sebenarnyamerupakan proses yang sensitif secara politis yang membutuhkanpendekatan induktif (Gunderson et al. 1995; Lee 1993) untuk mem-bawa observasi dan pengalaman bersama-sama dalam memahamirespons dari stakeholder yang berbeda.

Kepemilikan dan tanggungjawab merupakan variabel penting

Bishnu Upreti252

kaan dan keadilan serta efisiensidi mana sumberdaya hu tan ter-distribusi (Gambar 10.4).

Kasus tersebut men cer min -kan kondisi yang mirip dengankasus yang dianalisis oleh Maar -leveld dan Dagbénon (1998), dimana pembelajaran melaluipeng alaman, observasi daninter aksi dalam konteks sosialtertentu se pan jang waktu akanmenyebabkan terjadinya plat -form sosial yang dapat diakuiuntuk aksi-aksi kolaboratif.Pembelajaran sosial sebagai pen-dekatan metodologi memberikancara-cara alternatif untuk mend-apatkan pandangan baru dan memprediksi aksi yang mempengaru-hi pengelolaan hu tan berbasis komunitas. Bagian ini bertujuanuntuk menunjuk kan bagaimana pembelajaran so sial dapat mem-bantu mengisi kesenjangan antara retorika dan realitas dari ProgramHutan Komunitas.

PEMBELAJARAN KOLEKTIF DAN AKSI KOLABORATIFPembelajaran kolektif akan mempromosikan aksi kolaboratif.

Karakteristik yang diamati dalam kasus tersebut yang meningkatkanpembelajaran dan kemudian kolaborasi meliputi: 1) keinginan paraaktor untuk bekerja sama; 2) pengaruh positif dari elit lokal, sepertisesepuh atau pimpinan agama; 3) komunikasi yang efektif di antaraktor; 4) nilai penting praktis bagi masyarakat mengenai permasala-han yang sedang dipertimbangkan; 5) partisipasi fasilitator yang ahlidan 6) peran pelengkap dari organisasi-organisasi pendukung.

Kasus tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran kolektif bisamemperbaiki pengelolaan hutan berbasis komunitas. Pembelajaranseperti ini tidak terbatas pada pengetahuan akademik ilmiah, namunterjadi dengan sendirinya di antara para aktor tersebut dan melibat-

Gambar 10.4 Perempuan merupakanpengguna utama dari sumberdaya hutan.Oleh karena itu, keterlibatan merekamerupakan hal yang sangat penting

6) Program Community Forestry meliputi empat fase: investigasi, negosiasi, pelaksanaan danreview.

Page 9: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas: social … · kan bahwa kesenjangan yang ada sekarang antara retorika dan realitas kesetaraan sosial dalam community forestry

Melampaui Keberhasilan Retorikal: Memajukan Potensi Program Hutan Komunitas

di Nepal untuk Mengatasi Masalah Kesetaraan255

Informasi dan KomunikasiMemahami pengembangan, transformasi dan pemanfaatan

pengetahuan membantu memfasilitasi pembelajaran kolektif dan ak -si bersama. Pelembagaan umpan-balik dan mekanisme komu nikasiserta penghargaan pada kegiatan “belajar sambil bekerja” (Lee 1993)meningkatkan efektivitas pengelolaan hutan multistakeholder. Se bu ahpelajaran dari kasus ini adalah bukan untuk mengendalikan alir aninformasi, namun untuk memonitor, beradaptasi dan belajar seca rakontinu melalui pertukaran informasi dan pengembangan ke -per cayaan yang terus-menerus berlangsung (Gilmour dan Fisher1997).

Pada kasus Matarkopakho, riset aksi (contohnya adalah pakanrumput rotasional) menghasilkan pengetahuan dan informasi yangberfungsi sebagai titik awal dasar untuk perencanaan dan adaptasidari kegiatan kolaboratif selanjutnya. Informasi yang sah valid danyang dapat diandalkan merupakan hal penting untuk mengambilkeputusan. Strategi komunikasi yang digunakan dalam kasus inisangat efektif dalam mengembangkan platform untuk membawa mul-tistakeholder ke dalam proses pengambilan keputusan.

Platform untuk NegosiasiKetergantungan sebuah kelompok masyarakat pada satu sum-

berdaya merupakan kondisi di mana platform bersama untuk nego-siasi penggunaan sumberdaya dapat diciptakan. Platform seperti inimemberikan peluang yang penting untuk bekerja sama dalam meny-epakati rencana aksi bersama dan pelaksanaan secara kolektif.Komite Konservasi Hutan Matarkopakho merupakan contoh konkretdari suatu platform. Penggunaan platform sebenarnya ditentukanoleh isi, struktur kekuasaan, konteks lokal dan budaya dari sebuahmasyarakat. Platform, sebagaimana tempat-tempat untuk pem -belajar an sosial, membantu mengembangkan jaringan antara individudan lembaga untuk aksi kolaboratif. Kasus tersebut menunjukkanbahwa jaringan sosial bisa menjadi cara yang kuat untuk mencapaitujuan bersama, khususnya jika para aktor dipersatukan melaluimasalah yang sama dan budaya yang sama. Pengembangan jaringan

Bishnu Upreti254

lainnya untuk pembelajaran dan aksi kolaboratif. Partisipasi yangdipaksa dan kurangnya keterlibatan semua pengguna dalam peng-ambilan keputusan tidak dapat menghasilkan rasa memiliki dan ber-tanggungjawab. Pengelolaan hutan berbasis komunitas hanya dapatberhasil jika semua pengguna berpartisipasi dalam proses peng -ambilan keputusan (Shrestha 1997a), sebagaimana ditunjuk kandalam studi kasus ini. Proses pengambilan keputusan yang demo-kratis membantu mengembangkan rasa percaya, memiliki dan per-caya diri. Jika kelompok masyarakat yang tidak beruntung tidakmengembangkan keyakinan diri mereka untuk menegaskan hak-hakmereka terhadap sumberdaya hutan, maka anggota kelompok peng-guna yang berkuasa akan mendominasi proses keseluruhan, yangkemudian menjadi feodalisme (Sinha et al. 1996). Cara terbaik untukkeluar dari jalan buntu seperti ini adalah dengan me ngem bangkanpemahaman dan kesepakatan bersama melalui komunikasi yangefektif di antar aktor.

Nilai-nilai, keyakinan dan kepercayaan yang mirip akan mem -pe ngaruhi pembelajaran. Nilai-nilai yang tergabung denganstra tifikasi sosial vertikal yang diciptakan oleh sistem kasta Hindu diNepal sangat membebani pengaruh pada hutan komunitas, commu-nity forestry dan menghambat sensitivitas terhadap per masalah ankesetaraan sosial. Dalam kasus ini, proses interaktif dan dukunganfasilitasi jangka panjang membantu meningkatkan kesadaran danmemperlemah intensitas resistensi budaya. Dalam kasus ini, peker-jaan-pekerjaan kolaboratif dimungkinkan karena adanya rasa per-caya, identitas kelompok dan tujuan positif yang terjadi di antara sta-keholder meskipun ada perbedaan kasta.

Kasus tersebut menunjukkan adanya pembelajaran “doubleloop”, di mana orang merefleksikan dan mengubah tidak saja aksimereka, namun juga strategi aksi mereka. Pembelajaran “double loop”mensyaratkan adanya informasi yang sah, pilihan yang bebas dandiinformasikan serta komitmen internal (Hamilton 1998). Dalam studikasus ini, stakeholder mendapatkan informasi yang sah melalui aksi-aksi mereka dan mengetahui pilihan-pilihan untuk beradaptasi.Menurut waktu, orang-orang juga belajar untuk mempelajari, yangmungkin bisa disebut sebagai pembelajaran “triple loop”.

Page 10: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas: social … · kan bahwa kesenjangan yang ada sekarang antara retorika dan realitas kesetaraan sosial dalam community forestry

Melampaui Keberhasilan Retorikal: Memajukan Potensi Program Hutan Komunitas

di Nepal untuk Mengatasi Masalah Kesetaraan257

1984). Dalam studi kasus ini, sebagai contoh, sensitivitas jendermerupakan konsep luar yang berlawanan dengan norma-norma adatbagi sebagian besar para pengguna (Upreti 1995). Meskipun begitu,kasus tersebut menunjukkan bahwa perempuan se cara bertahapmuncul sebagai anggota yang aktif dalam pengelolaan hutan dankegiatan-kegiatan pembangunan lainnya dan berpartisipasi dalampertemuan-pertemuan, diskusi-diskusi dan proses-proses pembela-jaran, sebagian besar karena adanya fasilitasi yang terkoordinasi.Fasilitasi tidak selalu harus dari luar. Fasilitasi dapat muncul daridalam masyarakat, yang pandangannya dan keahlian adaptifnya ter-hadap pemanfaatan sumberdaya timbul karena pengalaman berta-hun-tahun dan tradisi budaya yang berkembang bersamaan dengansituasi lokal.

PELAJARAN YANG DAPAT DIPELAJARI DAN IMPLIKASINYABAGI COMMUNITY FORESTRY DI NEPAL

Ketersediaan aksi-aksi dan peraturan progresif merupakan halpenting, namun bukan merupakan kondisi yang cukup untuk men-jamin daya tanggap community forestry terhadap permasalahankesetara an sosial. Studi kasus dalam tulisan ini menunjukkanbahwa struktur sosial internal dan disposisi kekuasaan untukmemanipulasi aksi dan peraturan, sistem pengetahuan lokal, perandonor dan prosedur serta pengaturan kelembagaan semuanyamemainkan peran yang berpengaruh juga. Studi kasus tersebut jugamenunjukkan bahwa pendekatan pembelajaran sosial mendukungpengembangan kelembagaan dan dapat membuat dampak yang posi-tif pada Program Community Forestry di Nepal.

Kasus tersebut menunjukkan bahwa masyarakat lokal mampumembuat penilaian yang baik dalam mengelola sumberdaya hutanyang tersedia bagi masyarakat mereka. Oleh karena itu, pengelolaanhutan berbasis komunitas harus dibangun berdasar kemampuanmereka. Namun, sangat penting untuk mengembangkan kapasitasmasyarakat lokal dan kelembagaan mereka (seperti KomiteKonservasi Hutan Matarkopakho) melalui kegiatan-kegiatan pe -nyadar an. Kasus tersebut menunjukkan bahwa konflik dan negosia-si merupakan bagian integral dari proses pengelolaan komunitas.

Bishnu Upreti256

sosial melalui fasilitasi meningkatkan komitmen bersama (Ramirez1999) dan membantu mengembangkan kapasitas kelembagaan bagiaksi-aksi kolaboratif, di mana tanpa hal ini pengelolaan hutan berba-sis komunitas akan sulit dicapai (Gilmour dan Fisher 1997).

Monitoring dan AdaptasiKerangka kerja monitoring dalam pengelolaan hutan yang adap-

tif membantu para peserta untuk belajar dari proses yang se dang ber-langsung dan beradaptasi jika perlu. Dalam hal ini, mo nitoringmemainkan peran yang sangat penting dalam memperbaiki prosespengelolaan. Sebagai contoh, ukuran bagian-bagian yang dialokasi -kan untuk rumput ternak di musim kemarau meningkat setelahkomite menyadari adanya tekanan yang tinggi dari hewan padalahan hutan. Sistem monitoring yang terorganisir secara efektifsangat penting untuk menelusuri keterwakilan dan distribusi man-faat yang setara bagi kaum miskin dan kurang beruntung.

FasilitasiFasilitasi dapat meningkatkan kinerja implementasi, monitoring

dan evaluasi dari setiap perkembangan intervensi (Engel 1995).Fasilitasi berfokus pada proses membuat sesuatu menjadi terlibatdan sangat penting dalam hal mengarahkan kesadaran dan kegiatanmenuju kepedulian kesetaraan sosial. Fasilitasi meminimalkanpotensi konflik ke depan dengan menjamin bahwa proses pe ren ca na -an berlangsung efektif dalam mengidentifikasi pengguna sesungguh -nya, peran, komitmen serta kewenangan mereka terhadap sumber -daya hutan.

Salah satu dari tantangan utama dalam community forestryadalah bagaimana menciptakan mekanisme dan prosedur untukmelibatkan kelompok masyarakat yang kurang beruntung dalampengambilan keputusan dan meminimalkan pengaruh dari elit yangberkuasa. Fasilitasi dapat membantu memenuhi tantangan ini mela-lui peningkatan kesadaran sebagai alat yang non-koersif bagi peru-bahan. Namun demikian, perubahan ini tidak terjadi dengan segera;usaha-usaha yang kontinu sangat penting untuk mem promo sikanpembelajaran sosial yang efektif, efisien dan dapat diperluas (Korten

Page 11: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas: social … · kan bahwa kesenjangan yang ada sekarang antara retorika dan realitas kesetaraan sosial dalam community forestry

Melampaui Keberhasilan Retorikal: Memajukan Potensi Program Hutan Komunitas

di Nepal untuk Mengatasi Masalah Kesetaraan259

yang valid, umpan-balik yang efektif dan rasa memiliki dan percayadi antara aktor-aktor tersebut. Kebijakan Community Forestry bangsaNepal bersifat progresif dan komprehensif dibandingkan dengankebijakan-kebijakan mengenai program pembangunan lainnya.Namun demikian, penerjemahan kebijakan tersebut ke dalam pelak-sanaan (praktek-praktek), khu sus nya dalam mengatasi permasala-han kesetaraan sosial, seharusnya bisa lebih kuat. Jika kita belajardari pengalaman kita dan mem be ri kan respons sewajarnya, kitaakan begitu dekat dengan pencapaian tujuan dari kebijakan terse-but.

UCAPAN TERIMA KASIHSaya ingin mengucapkan terima kasih kepada East West Center

dan CIFOR, khususnya kepada Kune Kuramoto, Louise Buck,Jefferson Fox, David Edmunds, Sonja Brodt, dan Glen Dolcemascolo.Dalam proses menyiapkan tulisan ini saya mendapatkan bahan-bahan referensi, ide-ide dan dorongan dari K.P. Siktel dan BrahmaDhoj Gurung (NSCFP), Laxman Gautam dan Narayan Shrestha (DFO,Dolakha), Sita Ram Basnet dan Apsara Chapagin (FECOFUN), SarojUpreti (ENAP), Bikram Raj Tuladhar (DOF), Balaram Kandel-HillLeasehold Forestry Project, Bimala Poudel Rai dan Ramesh Khadka(Action Aid-Nepal), Ghandendra Kafle (NUKCFP), Kalpana Neupane,Bishnu Prasad Pokharel, Raju Raj Pande, Kabi Raj Neupane, KhemSharma dan Lini Wollenberg. Hormat saya untuk mereka semua.Juga untuk Yamuna Ghale Upreti, Natural Resource ManagementSpecialist, Asmita dan Aaiyush untuk melaksanakan studi ini. Yangterakhir namun bukan paling akhir, saya berterima kasih untuksemua peserta dalam lokakarya tentang Berbagi Inovasi: Metode-metode Pengelolaan Hutan Rakyat oleh Multistakeholder, untukkomentar dan saran-saran mereka.

BAHAN RUJUKANAnderson, J., Clement, J. and crowder, L. V. 1998. “Accommodating conflicting inter-

ests in forestry: concepts emerging from pluralism.” Unasylva 194 (49):3-10.Belbase N. and Regmi, D. C. 1998. Comparative analysis of decentralization and

Bishnu Upreti258

Konflik tidak selalu disfungsional, karena konflik bisa membawapada inovasi dan oleh karena itu memiliki potensi transformasi yangbesar. Sangat penting untuk menciptakan mekanisme strukturalyang menguntungkan, seperti keterlibatan kaum miskin, kaum yangkurang beruntung dan perempuan dalam proses-proses perencana -an dan pengambilan keputusan untuk menjamin keterwakilan mere-ka dan untuk mewujudkan otoritasnya, tanggungjawabnya dantanggungjawab dalam community forestry. Mekanisme seperti inidapat ditemukan dalam proses pembelajaran yang baik. Khususnya,fasilitasi dan pengembangan platformmendorong keterlibatan kelom-pok yang terpinggirkan.

Pendekatan dan metodologi yang inovatif dan berhasil yangdikembangkan oleh proyek-proyek individu dan lembaga-lembagaperlu disebarkan kepada organisasi-organisasi lain yang bekerjadalam bidang pengelolaan sumberdaya berbasis komunitas. Forum-forum yang terlembagakan sangat penting untuk menyebarkan danmemperluas pengalaman ini. Jika tidak, akan ada resiko dalammembuat efek pulau, dengan perbedaan besar antara distrik di manaproyek-proyek pengelolaan oleh masyarakat telah dilaksanakan dandistrik yang tidak memiliki proyek-proyek seperti ini.

KESIMPULAN Tulisan ini menegaskan bahwa pelaksanaan Program Com mu nity

Forestry di Nepal belum memadai mengatasi permasalahan keseta-raan sosial, namun bahwa situasi tersebut dapat diperbaiki denganmemasukkan kegiatan pembelajaran sosial ke dalam program terse-but. Pembelajaran kolektif dan aksi kolaboratif dapat membawakepada transparansi yang lebih besar mengenai kesetaraan danmembantu memobilisasi stakeholder yang kurang beruntung.Plaform untuk komunikasi dan negosiasi memainkan peran yangsangat penting dalam mempromosikan proses-proses pembelajarandan aksi-aksi ini. Dari studi kasus ini, sangat jelas bahwa aspek-aspek lainnya dari pembelajaran sosial ini yang merupakan kuncidalam membuat Program Community Forestry ini berhasil adalah:kebutuhan dan keinginan stakeholder untuk mempelajari fasilitasiyang efektif, monitoring reguler, berbagi pengetahuan dan informasi

Page 12: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas: social … · kan bahwa kesenjangan yang ada sekarang antara retorika dan realitas kesetaraan sosial dalam community forestry

Melampaui Keberhasilan Retorikal: Memajukan Potensi Program Hutan Komunitas

di Nepal untuk Mengatasi Masalah Kesetaraan261

Bank, Ottawa, Canada, Washington, USA..Röling, N. 1992. “The emergence of knowledge systems thinking: a changing per-

ception of relationships among innovation, knowledge process and configuration.”Knowledge and Policy: The International Journal of Knowledge Transfer and UtilisationSpring 5(1): 42-64.Röling, N. 1994. “Creating human platforms to manage natural resources: first

results of research program.” In: Proceeding of the International Symposium onSystems Oriented Research in Agriculture and Development, 391-395. Montpellier,France.Röling, N. 1997. “The soft side of land: socio-economic sustainability of land use sys-

tems.” Paper presented at the conference on Geo-Information for Sustainable LandManagement. Enschede 17-21 Aug. 1997. International Institute for Aerospace Surveyand Earth Science (ITC), The Netherlands.Röling, N. and Jiggins, J. 1998. “The Ecological Knowledge System. In: Röling, N.

and Wagemakers, A. (eds.) Facilitating Sustainable Agriculture. Participatory Learningand Adaptive Management in Times of Environmental Uncertainty, 283-311.Cambridge University Press, Cambridge, UK.Shrestha, N. K. 1999. “Community forest in danger in Nepal. Forest, Trees and

People” Newsletter 38, March. Food and Agriculture Organization and University ofAgricultural Sciences, Sweden, Uppsala.Shrestha, K. B. 1997a. “Community forestry: policy, lesgislation and issues.” First

national workshop on community forestry and rural development: potential role ofI/NGOs. 24-26 July, 1997. Godawori, Lalitpur, p.9-16.

Shrestha, K. B. 1997b. “Policy implementation lecture notes. International trainingcourse: Participatory process, tools and techniques in community forestry field-testedinnovation.” 15 Sept.-5 Oct. 1997. Regional Community Forestry TrainingCenter/HMG/Nepal, Kathmandu.Shrestha, M. L., Joshi, S. P., Bhuju, U. R., Joshi, D. B. and Gautam, M. 1995.

“Community Forestry Manual.” DANIDA and International Center for IntegratedMountain Development, Kathmandu.Sinha S., Shrestha, N. K., Kuechli, C. and Shrestha, M. L. 1996. “Of trees, careers,

and capacity development: evaluation of the Dolakha Ramechhap Community ForestryDevelopment Project.” HMG/N and Swiss Development Corporation. Kathmandu.Tuladhar, B. R. 1998. “Community Forestry in integrated participatory watershed

management.” Paper presented in People and Resources Dymanic Project workshop.March, 1998, Almora.Upreti, B. R. 1998. “Searching for an alternate approach for community level natu-

ral resource management in Nepal: a case study on natural resource use negotiation– a knowledge systems perspective.” M.Sc. thesis submitted to the WageningenAgricultural University, The Netherlands.Upreti, B. R. 1995. “Women’s participation in development activities: a case study

of Mechi Hill Development Program in Ilam Distric.” M.A. Thesis submitted to theDepartment of Sociology/Anthropology, Tribhuvan University, Kathmandu, Nepal.Wilson, K. and Morren, G. E. B. 1990. Systems Approaches for Improvement in

Agriculture and Resource Management. Macmillan Publishing Company, New York.WATCH 1995. “Developing an Understanding on Users’ Expectations from

Community Forestry.” Nepal-UK Community Forestry Project, Kathmandu.

LAMPIRAN 1. Bukti dari kebutuhan akan pendekatan alter-natif untuk menangani masalah-masalah kesetaraan sosialdalam community forestry

Bishnu Upreti260

(community) forestry legislation. International Center for Integrated Mountain devel-opment, Kathmandu.ENAP 1998. Annual report 1997-98. Charikot, Nepal. (Nepali version).Engel, P. G. H. 1995. “Faciclitatinginnovation: an action-oriented approach and par-

ticipatory methodology to improve innovative social practice in agriculture.” Ph.D.Dissertation. Wageningen Agricultural University, Wageningen, The Netherlands.Gilmour, D. and Fisher, B. 1997. “A project or process.” In; G. Borrini-Feyerabend

(ed.) Beyond Fences: seeking social sustainability in conservation, 103-106. IUCN,Gland, Switzerland.Grimble, R., Chan, M, K. Aglionby, J. and Quan, J. 1995. “Trees and trade-offs: a

stakeholder approach to natural resource management.” Gatekeeper series #52.International Institute for Environment and Development, U.K.Gunderson, L.H. Holling, C. S. and Light, S.S. (eds.) 1995. Barriers and bridges to

the renewal of ecosystems and institutions, 428-460. Columbia Press, New York.Hamilton, G. 1998. “Co-learning tools: powerful instruments of change in South

Queensland, Australia.” In: Röling, N. and Wagemakers, A. (eds.) FacilitatingSustainable Agriculture. Participatory Learning and Adaptive Management in Times ofEnvironmental Uuncertainty, 172-188. Cambridge University Press, Cambridge, UK.His Majesty’s Government of Nepal 1989. Master Plan for the Forestry Sector.

Ministry of Forest and Soil Conservation, Kathmandu.Kandel, P. N. 1999. “Dveopment Community Forest: Diminishing Livestock.”

Sahabhagita 12:2055. (Nepali version)Kantipur Daily National Newspaper 1999. 4 August.Korten, D. C. 1984. “Rural Development Programming: the Learning Process

Approach.” In: Korten, D.C. and Klauss, R. (eds.) People-centred development: contri-butions toward theory and planning frameworks, 176-188. Kumarian Press, WestHartford, Connecticut, USA.Joshi, A. L. 1997. ”Community forestry evolution, concept and policy. International

Training Course (15 Sept.-5 Oct. 1997)”. Participatory Process, Tolls and Techniques inCommunity Forestry Field Tested Innovations. Regional Community Forestry TrainingCenter/HMG Nepal, Kathmandu.Lee, K. N. 1993. Compass and Gyroscope: Integrating Science and Politics for the

Environment. Island Press, Washington, D.C.Maarleveld, M., and Dangbégnon, C. 1998. “Managing Natural Resources in Face of

Evolving Conditions: a Social Learning Perspective.” Paper presented at the seventhconference of the International Association for the Study of Common Property, 10-14June, 1998. Vancouver, Canada.Nepal-Swiss Community Forestry Project (NSCFP) 1997. “Nepal-Swiss Community

Forestry Project Document Phase III July 1996-June 2000.” HMG/N and SwissDevelopment Corporation, Kathmandu.Nepal-Swiss Community Forestry Project (NSCFP) 1998. “Nepal-Swiss Community

Forestry Project Annual Report 1998.” HMG/N and Swiss Development Corporation,Kathmandu.Poudel, B.R., Siktel, K.P. and Bhattarai, U.R. 1998. “Proceeding of the community

forestry strategy development workshop.” Action Aid Nepal, Kathmandu.Poudel, D. 1997. “Impact assessment of Nepal-Swiss Community Forestry Project

NSCFP, Kathmandu.”Pokharel B. and Tumbahamphe, N. 1999. “Community forestry development action:

a synthesis of NUKCFP reports and publications.” Nepal-UK Community ForestryProject, Kathmandu.Ramirez, R. 1999. “Stakeholder Analysis and Conflict Management.” In: Buckles, D.

(ed.) Conflict and collaboration in natural resource management, 101-126. IDRC/World

Page 13: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas: social … · kan bahwa kesenjangan yang ada sekarang antara retorika dan realitas kesetaraan sosial dalam community forestry

Melampaui Keberhasilan Retorikal: Memajukan Potensi Program Hutan Komunitas

di Nepal untuk Mengatasi Masalah Kesetaraan263

Contoh 4. Sumberdaya hutan dieksploitasi oleh kaum elit.Di Suspa, 558 hektar dari kawasan hutan yang rapat dikelola olehFUG selama 6 tahun. Tahun ini, beberapa anggota mendapatkankeuntungan pribadi dari hutan itu. Mereka merencanakan untukmenjual kayu dan mendapatkan persetujuan dari Komite penggunahutan. Kemudian mereka menjual kayu senilai 2 jutan rupee Nepal(sekitar USD 29,400 dengan kurs USD 1 = 68 rupee) kepada peda-gang dari Kathmandu. Pada saat yang sama mereka membuat doku-mentasi legal untuk pengeluaran sejumlah angka tersebut, sehinggatotal pengeluaran yang ditunjukkan sama dengan total pendapatan.Dalam hal ini, uang itu telah diselewengkan oleh sedikit orang deng-an mengorbankan pengguna yang lain (Sumber: data primer yangdikumpulkan dari diskusi informal).

Bishnu Upreti262

Contoh 1. Rumahtangga berkepala keluarga perempuan.Pada satu desa, ada rumahtangga yang sangat miskin yang kepalakeluarganya adalah perempuan. Keluarga ini tergantung padapemeliharaan kambing untuk kehidupannya. Kepala keluargaperempuan itu mendapatkan pakan dari hutan di dekatnya. Setelahmasyarakat lokal menerima kontrol atas hutan itu, FUG memutus -kan untuk menutup semua akses pada hutan itu selama beberapatahun. Akhirnya, perempuan itu tidak bisa lagi mendapatkan pakanyang cukup untuk kambingnya dan usahanya bangkrut, yangkemudian mengancam kehidupannya (Sumber: Poudel et al.1998:10).

Contoh 2. Community forestry mengganggu peternakan diHumla. Pada tahun 1995, FUG di kabupaten tetangga memutuskanuntuk memblokir jalur kambing yang dimiliki oleh masyarakat Humlimelalui kawasan hutan komunitasnya. Kambing merupakan alattransportasi utama untuk mengangkut barang-barang dan bahan-bahan di zona Karnali. Untuk memprotes keputusan FUG ini, masy-arakat Humli menuntut ke pengadilan kabupaten dan mendapatkankeputusan untuk membuka kembali jalur ini. FUG tidak menghor-mati keputusan pengadilan. Perwakilan dari semua partai politik danmasyarakat Humla kemudian datang ke Kathmandu untuk mendaf-tarkan gugatan pada Departemen Kehutanan dan Konservasi Tanah.Departemen tersebut tidak menanggapi masalah itu dengan seriusdan akhirnya, masyarakat Humli menghentikan peternakan kam-bing mereka. Saat ini populasi kambing di Humli menurun sangatcepat dan kehidupan para peternak kambing ini terancam. (Sumber:Kandel 1999: 16-19).

Contoh 3. Masyarakat miskin termarjinalisasi. Beberapakeluarga Mushahar yang paling miskin tidak mampu menutupi ataprumah mereka dengan jerami karena kurangnya bahan-bahan jera-mi (thakal/khar), karena FUG yang mengontrol hutan berorientasipada perlindungan dan tidak mengijinkan pengambilan bahan-bahan jerami itu. (Sumber: Poudel et al. 1998:10).

Page 14: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas: social … · kan bahwa kesenjangan yang ada sekarang antara retorika dan realitas kesetaraan sosial dalam community forestry

Bishnu Upreti264