Uas jawaban no. 2 sulistyowati

10
SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER TEORI KEBUDAYAAN 2010 Soal no. 2 KEBUDAYAAN SEBAGAI SISTEM NORMATIF (Soal dari Prof. Dr. Sulistyowati Irianto) oleh: Juniato Sidauruk 0906655282 PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM LINGUISTIK 0 Juniato Sidauruk 0906655282 Teori Kebudayaan Soal dari Prof. Dr. Sulistyowati Irianto

Transcript of Uas jawaban no. 2 sulistyowati

Page 1: Uas jawaban no. 2 sulistyowati

SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER

TEORI KEBUDAYAAN 2010

Soal no. 2

KEBUDAYAAN SEBAGAI SISTEM NORMATIF

(Soal dari Prof. Dr. Sulistyowati Irianto)

oleh:

Juniato Sidauruk

0906655282

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM LINGUISTIK

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

UNIVERSITAS INDONESIA

Desember 2010

2. Kebudayaan sebagai Sistem Normatif (Soal dari Prof. Dr. Sulistyowati Irianto)

0 Juniato Sidauruk 0906655282 Teori Kebudayaan Soal dari Prof. Dr. Sulistyowati Irianto

Page 2: Uas jawaban no. 2 sulistyowati

Uraian Soal: Dalam proses pembuatan hukum, sering sekali pengalaman perempuan dan orang miskin tidak diperhitungkan oleh para pembuat hukum. Demikianlah menurut aliran pemikiran Critical Legal Studies dan Feminist Legal Studies. Cobalah Sdr beri contoh dalam hal apa para pembuat hukum dan kebijakan mengabaikan pengalaman perempuan dan orang miskin tersebut?

Untuk dapat memahami kebudayaan sebagai sistem normatif khususnya dalam

proses pembuatan hukum, maka perlu diketahui dulu tentang hukum itu sendiri. Hal yang

digarisbawahi Irianto dalam perkuliahan bahwa kebudayaan merupakan sistem

pengetahuan, sistem norma, untuk memahami kebutuhan dasar hidup manusia. Artinya,

kebudayaan itu ada pada masyarakat, mengandung aturan atau pedoman dalam kehidupan

saling berdampingan dengan orang lain. Disini, budaya dipandang sebagai sistem

pengetahuan.

Kebudayaan suatu masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui atau dipercayai seseorang agar dia dapat berperilaku dalam cara yang dapat diterima oleh anggota-anggota masyarakat tersebut. … Budaya adalah bentuk hal-hal yang ada dalam pikiran (mind) manusia, model-model yang dipunyai manusia untuk menerima, menghubungkan, dan kemudian menafsirkan penomena material di atas (Goodenough, 1971: 167).

Artinya, kebudayaan itu menjadi pedoman yang sifatnya baik bagi masyarakat.

Untuk dapat melakukan kajian yang holistik terhadap budaya hukum, maka diperlukan

suatu pendekatan dari aspek hukum empiris yang memungkinkan dapat berlakunya hukum

di masyarakat. Kultur hukum atau budaya hukum (Legal Culture) adalah suasana pikiran

sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari, atau disalahgunakan

(Irianto, 1999: 31). Dalam kaitan dengan budaya hukum Lawrence M. Friedman (1969:

225) membedakannya menjadi dua bagian, yaitu:

1. Budaya hukum eksternal yaitu budaya hukum dari warga masyarakat secara umum

2. Budaya hukum internal budaya hukum dari kelompok orang-orang yang mempunyai

profesi di bidang hukum seperti hakim, birokrat dan lain-lainnya. Irianto (2006: 27)

mengemukakan bahwa ada tiga poin utama dalam hukum yakni netralitas, objektifitas dan

kepastian hukum.

Hukum menurut Friedman (1969) harus dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri

atas unsur struktur, substansi dan kultur atau budaya, dimana unsur-unsur yang satu

dengan yang lainnya saling mempengaruhi dalam bekerjanya hukum pada kehidupan

sehari-hari. Lapian dalam Ihromi (2007: 18) mengutip Apeldoorn (1954), menyatakan

“Tujuan hukum adalah mengatur masyarakat agar berkeadilan dan damai. Mengeluarkan

ide keadilan dari hukum akan mengakibatkan hukum sama dengan kekuasaan”

1 Juniato Sidauruk 0906655282 Teori Kebudayaan Soal dari Prof. Dr. Sulistyowati Irianto

Page 3: Uas jawaban no. 2 sulistyowati

Pada prakteknya, proses pembuatan hukum hingga pada pelaksanaannya seringkali

tidak memandang hukum sebagaimana adanya. Kaum perempuan seringkali menjadi

“obyek” yang tertindas oleh hukum dan aparat penegak hukum. Untuk melihat hal ini, ada

baiknya memahami teori gender yang bertolak pada paradigma feminisme yang mengikuti

dua teori yaitu; fungsionalisme struktural dan konflik. Misalnya; perempuan dikenal

dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat,

rasional, jantan dan perkasa. Friedrich Engels memandang perempuan memiliki peran dan

kontribusi yang sama dengan laki-laki. Marxisme memandang secara berbeda, bahwa

penindasan perempuan dalam dunia kapitalis karena mendatangkan keuntungan.

Dari perbincangan hangat tentang gender inilah kemudian berkembang aliran-aliran

Feminisme berikut ini: Feminisme Liberal, Feminisme Marxis, Feminisme Radikal,

Feminisme Sosialis, Feminisme Teologis. Tentu, aliran ini muncul sebagai tanggapan atas

perlakuan tidak menurut hukum dan kalaupun menurut hukum seringkali hukum itu

sebetulnya tidak memandang sistem persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.

Saya mengambil contoh dari Nandari (2010: 1) tentang penanggulangan pelacuran

ditinjau dari perspektif hukum dan gender di Bali. Para pembuat dan aparat penegakan

hukum dan kebijakan mengabaikan pengalaman perempuan. Saya setuju dengan fakta

yang dikemukakan Nandari bahwa pelacuran merupakan masalah yang tidak hanya

melibatkan pelacurnya saja, tetapi lebih dari itu yaitu merupakan suatu kegiatan yang

melibatkan banyak orang seperti germo, para calo, serta konsumen-konsumen yang

sebagian besar pelakunya merupakan laki -laki yang sering luput dari perhatian aparat

penegak hukum.

…Di Indonesia pemerintah tidak secara tegas melarang adanya praktek-praktek pelacuran. Ketidak tegasan sikap pemerintah ini dapat dilihat pada Pasal 296, 297 dan 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun dalam Rancangan KUHP 2006, khususnya Pasal 487 Bab XVI. Pasal-pasal tersebut dalam KUHP hanya melarang mereka yang membantu dan menyediakan pelayanan seks secara illegal, artinya larangan hanya diberikan untuk mucikari atau germo, sedangkan pelacurnya sendiri sama sekali tidak ada pasal yang mengaturnya. Kegiatan seperti itupun tidak dikelompokkan sebagai tindakan kriminal. Di Bali masalah pelacuran sangat diutamakan karena perbuatan tersebut bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesopanan maupun norma kesusilaan Nandari (2010: 1-2).

Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 7 Tahun 1993 tentang “Pemberantasan

Pelacuran” jo Perda Nomor 2 Tahun 2000 sebagai dasar hukum untuk menanggulangi

pelacuran di wilayah Kota Denpasar. Dalam pelaksanaannya, penanggulangan pelacuran

lebih banyak dilakukan dengan menertibkan dan menangkap perempuan pelacur yang di

2 Juniato Sidauruk 0906655282 Teori Kebudayaan Soal dari Prof. Dr. Sulistyowati Irianto

Page 4: Uas jawaban no. 2 sulistyowati

lakukan oleh aparat penegak hukum, sedangkan laki-laki para pelanggan atau

konsumennya jarang dan bahkan tidak pernah ditangkap atau luput dari perhatian aparat

penegak hukum. Cara penertiban seperti ini menunjukkan adanya ketidakadilan gender,

karena terdapat diskriminasi terhadap perempuan. Adanya ketidakadilan gender dapat

menyebabkan sulitnya penanggulangan pelacuran, karena pelacur merupakan paradigma

interaksi antara perempuan dan laki-laki diluar perkawinan.

Secara normatif diskriminasi terhadap perempuan telah dihapuskan berdasarkan

Konvensi Wanita (CEDAW) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang No.7 Tahun

1984. Namun dalam kenyataannya masih tampak adanya nilai-nilai budaya masyarakat

yang bersifat diskriminatif. Hal tersebut dapat menghambat terwujudnya kesetaraan dan

keadilan gender dalam penegakkan hukum terkait dengan penanggulangan pelacuran

(Nandari, 2010: 2). Yang menjadi harapan kita bersama yaitu …Penanggulangan

pelacuran diharapkan berkeadilan gender baik dalam aturan hukum, penegakan hukum

maupun dalam budaya hukum masyarakat Irianto (2003: 19).

Contoh terkait diungkap oleh Irianto (2003: 68) dengan terlebih dahulu

mengemukakan:

…Beroperasinya berbagai macam aturan hukum dapat dilihat dari bagaimana aturan-aturan tersebut mempengaruhi perilaku orang. Dengan kata lain, konsepsi normative (tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh) …akan mempengaruhi perilakunya…

Dalam hal pengabaian hak perempuan, beliau mengangkat masalah hukum waris

masyarakat Batak Toba. Saya tertarik dengan contoh ini, karena saya sendiri berasal dari

daerah ini. Perihal hukum waris masyarakat Batak Toba. Irianto (2003: 73-74) mengutip

pendapat Vergouwen (1986) ada tiga pokok hukum waris Batak Toba,…yaitu 1. …

Suksesi dalam alur laki-laki, 2. Pertumbuhan atau percabangan hak ke alur laki-laki yang

sejajar, 3. Pembagian untuk anak perempuan…berlainan dengan anak laki-laki, anak

perempuan tidak mempunyai hak tertentu dalam warisan orang tuanya. Tetapi jika dengan

baik-baik meminta bagian dari harta itu, maka ahli waris laki-laki, putra atau kolateral,

harus menyetujui permintaan itu. Bagian harta yang diminta oleh anak perempuan ini bisa

juga diberikan ketika ayahnya masih hidup.

Kemudian beliau (Irianto, 2003: 77) menegaskan bahwa: …peraturan adat yang menyatakan bahwa perempuan bukan ahli waris, akan berdampak tidak menguntungkan bagi perempuan tertentu. Misalnya, bila seorang perempuan kawin dengan seorang laki-laki yang tidak memiliki harta (tergolong miskin) dan dia dikatakan tidak boleh mendapatkan bagian dari harta ayahnya, maka ia berada pada posisi yang tidak diuntungkan.

3 Juniato Sidauruk 0906655282 Teori Kebudayaan Soal dari Prof. Dr. Sulistyowati Irianto

Page 5: Uas jawaban no. 2 sulistyowati

Artinya, …bahkan hukum negara yang sudah bersifat emansifatif pun, hanya

terbatas pada tataran normatif saja dan tidak dalam kenyataan empirik. Hal itu disebabkan

oleh 1. Hukum Negara bersifat ambigu dan kontradiktif, 2. Pengelolaan administrasi

hukum yang kacau…, 3. Masih kuatnya hukum adat dan budaya hukum masyarakat yang

tidak menempatkan perempuan sebagai ahli waris (Irianto, 2003: 301).

Maka sementara dipahami bahwa sebetulnya dalam hukum itu ada ketidakadilan.

Ini dapat saja terjadi karena berbagai faktor. Ini merujuk pada Soerjono (2000: 15)

menyatakan untuk dapat terlaksananya suatu peraturan perundang-undangan secara efektif, dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum (pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum), faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum, faktor masyarakat (yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, dan faktor kebudayaan (yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup).

Faktor-faktor tersebut saling berkaitan erat satu sama lain, sebab merupakan esensi

dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari efektivitas berlakunya undang-

undang atau peraturan yang dapat dikaji berdasarkan Teori Sistem Hukum dari Lawrence

M. Friedman (1969:16) yakni substansi, struktur, dan budaya hukum.

Irianto (2003: 7) dengan merujuk pada Teori hukum berspektif feminis dari D.

Kelly Weisberg (1997:18) menyatakan teori tersebut menginginkan adanya kesetaraan

antara laki-laki dan perempuan yang ingin mencari peluang kebebasan atau kemerdekaan

untuk perempuan. Mungkin tepat jika saya merujuk pada Danardono dalam Irianto (2006

: 4) menguraikan bahwa konsep netralitas atau objektifitas hukum … berkeyakinan bahwa

kepastian hukum hanya akan terwujud bila hukum dianggap sistem yang tertutup dan

otonom dari persoalan moral, agama, filasafat, politik, sejarah dan semacamnya. Artinya

bahwa objektifitas hukum selayaknya menjauhkan diri dari hal-hal yang otonom tersebut.

Akhirnya, saya mencermati bahwa dalam hukum ada aturan main yang sudah cukup

jelas dengan harapan dapat diimplementasikan dengan basis pemikiran tentang martabat

setiap insan khususnya perempuan. Namun pada kenyataannya, sangat jauh berbeda antara

apa yang tersurat sebagai wujud hukum materiil-formil dan yang tersirat. Hakikat

pelaksanaan hukum sering terlupakan atau “sengaja dilupakan” -- untuk menata kehidupan

bermasyarakat sedapat mungkin lebih baik. Artinya hukum telah memberikan batasan

yang lebih jelas tentang apa yang dapat diperbuat; di lain sisi juga membatasi ruang gerak

perempuan. Menjadi tantangan bagi saya dan pembaca untuk mengimplementasikan dan

mengangkat derajat, harkat, dan martabat perempuan Indonesia.

4 Juniato Sidauruk 0906655282 Teori Kebudayaan Soal dari Prof. Dr. Sulistyowati Irianto

Page 6: Uas jawaban no. 2 sulistyowati

Daftar Acuan

Apeldoorn, L. J. van. 1954. Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Recht. Cet. Ke-12, NV Uitgevers-maatschappij W. E. J. Tjeenk Willink, Zwolle.

Friedman, Lawrence M. 1969. The Legal System: A Sosial Science Perspective. Russel Soge Foundation. New York.

Goodenough, W.H. 1971 Culture, Language, and Society. McCaleb Module in Anthropology. Reading, Mass: Addison- Wesley.

Ihromi, Tapi Omas; Sulistyowati Irian to & Achie Sudiarti Luhulima. 2000. Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita. Alumni Bandung.

Irianto, Sulistyowati, 2003, Perempuan di antara berbagai pilihan hukum: studi mengenai strategi perempuan Batak Toba untuk mendapatkan akses kepada harta waris melalui proses penyelesaian sengketa. Yayasan Obor Indonesia.

Irianto, Sulistyowati, 2006, Perempuan & Hukum (Menuju Hukum Yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan), Bekerjasama dengan The Convention Watch, Universitas Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia.

Lapian, L.M. Gandhi tentang “Gender dan Hukum” dalam Luhulima (2007) Bahan Ajar tentang Hak Perempuan: UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Ed. 1. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Nandari, Ni Putu Sawitri. Penanggulangan Pelacuran Ditinjau Dari Perspektif Hukum Dan Gender. Fakultas Hukum Undiknas Denpasar. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/ pelacuran%20sawitri.pdf. Diunduh pada 18 Des 2010 Pukul 20:50

Soerjono, Soekanto, 2002, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Weisberg, D.Kelly. 1997, Feminist Legal Theory, Foundations. Philadelphia, Temple University Press.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor…..Tahun-----Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Departemen Hukum dan HAM RI, 2006.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.

Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 7 Tahun 1993 tentang Pembrantasan Pelacuran di Kota Denpasar.

5 Juniato Sidauruk 0906655282 Teori Kebudayaan Soal dari Prof. Dr. Sulistyowati Irianto